"Dicari nyatanya ada di sini." Henan mendudukkan diri pada bangku panjang di samping Gina. "Mang, bubur ayam satu, ya. Kayak biasa."
Gadis itu hanya menatap Henan sekilas tanpa niatan. Ponselnya lebih menarik perhatian ketimbang kedatangan lelaki maniak Shin-chan itu. Pagi tadi yang memang sempat mendapat pesan menanyakan pasal waktu keberangkatannya ke kampus namun diabaikan.
Henan yang mendapat balasan abai hanya diam menatap. Sedikit bertanya-tanya pasal sebab Gina nampak tidak mengambil pusing kedatangannya.
"Silahkan Mas, Neng." Semangkuk bubur yang hadir di depan keduanya membuat Henan mengalihkan perhatian.
Sejenak mencuri pandang pada sebotol bumbu kecil yang dekat dengan bubur Gina. Dirinya lantas memasang senyum penuh ejek. "Gulanya awas tertukar sama garam."
Gina mendengar sahutan Henan sejenak memandang dan beralih menunduk. Decihan halus terlontar dari mulutnya. Ponsel dalam genggaman di lepas dan ditaruh agak jauh dari buburnya. Mengaduk sarapan pagi untuk memulai makan dengan gula yang tidak boleh dilupa.
Lagi-lagi Henan mendapat pertanyaan aneh dalam kepalanya pasal acuh tak acuh yang Gina berikan. Tidak seperti hari kemarin. Padahal mereka tidak memiliki masalah baik kecil maupun besar. Jalan bersama, damai, makan makanan pinggir jalan, dan menikmati langit malam. Lantas, apa kesalahan Henan yang membuat anak itu kini terlilhat tidak menunjukkan kepeduliannya?
Memilih untuk tidak terlalu mengambil pusing, Henan menyusul Gina untuk menikmati sarapan. Walaupun sesekali masih mencuri perhatian dari sudut matanya. Gina nampak makan dengan begitu tenang. Meksi agak aneh baginya sebab beberapa kali gadis itu menuangkan gula yang kemudian di aduk dan masuk ke mulut.
Gina menoleh dengan mulut yang mengunyah. Saling betukar pandang pada Henan yang juga menatapnya diam. "Apa?" tanyanya.
"Gak ada apa-apa," jawab Henan. Gina melanjutkan kembali makanannya dan tidak peduli. Henan menghela napas. "Lo kenapa? Ada masalah pagi?"
"Gak ada apa-apa," gantian kini Gina menjawab dengan kalimat yang sama. Kepalanya masih enggan untuk menoleh pada lelaki itu.
"Terus ada salah sama gue?"
"Gak."
Henan melepas sendoknya. "Gak usah pakai acara ngambek segala. Kalau gue punya salah sama lo langsung bilang, kasih tahu. Gue bukan dukun bisa tahu isi pikiran lo," pukasnya.
"Dibilang gak. Berisik lo, mending diam. Pamali bicara sambil makan," ketus Gina.
"Ck!" Henan membuang muka. Menyuapi diri dengan sedikit kasar. "Cewek memang selalu begitu. Minta dimengerti tapi gak mau kasih tau hal apa yang mau dimengerti. Maunya harus cowok yang cari tahu sendiri."
Gina menoleh merasa tersindir. "Maksud lo?"
"Ya, begitu. Lo ngambek sama gue, sok gak peduli, jutek kayak gue ada salah besar sama lo. Sekalinya ditanya ada apa jawabnya malah gak ada, baik-baik saja. Kiranya gue langsung paham di balik kata gak apa-apa begitu? Sama dukun saja sana yang tahu segalanya," jelasnya setengah kesal.
Tawa singkat itu keluar seraya menatap Henan penuh kejengkelan. "Memang gue ada ngomong kalau lo salah? Kok lo marah sama gue?"
“Gue gak marah, cuman tanya. Justru sikap lo yang kayak lagi marah ke gue.”
"Kan, gue sudah jawab gak ada apa-apa. Kenapa malah ungkit pasal cowok cewek? Gak jelas lo. Anak-anak banget pakai main sindir segala," cibir Gina.
Tukang bubur yang tengah melayani beberapa pelanggan lain hanya bisa mendengar dengan senyum penuh paksa. Yang lain, entah tengah membungkus maupun makan di tempat pun nampak tidak begitu peduli. Malah mereka menjadikan sepasang anak itu sebagai hiburan pagi.
Baik Gina maupun Henan sudah tidak ada yang melanjutkan perdebatan. Keduanya sibuk menghabiskan bubur ayam yang sempat dibiarkan demi meladeni kekesalan.
Gina sudah selesai lebih dulu menghabiskan buburnya. Mengambil ponsel dan di simpan dalam kantung jaket. "Gue sudah kesal sama lo dari kemarin malah dibikin tambah kesal," celetuknya sebelum beranjak dari tempat.
Henan memalingkan kepalanya. "Tuh, kan? Memang cewek itu sikapnya labil gak jelas. Tadi ditanya jawabnya gak ada apa-apa.” Gina membalasnya dengan dengkusan. "Kenapa? Lo kesal sama gue karena apa?"
Helm yang hendak Gina dipakai terhenti. "Gara-gara lo tahu gak? Gue sampai didatangi Abey perkara lo yang bocor ke Kak Mavi pasal ada cewek yang suka sama dia," jawabnya ketus. Tatapannya sinis menajam ke Henan.
Dua alis lelaki itu menukik ke atas bersamaan. "Mba Abey datang temui lo? Kapan?" Mangkuk kekosong Henan kini didorong menjauh di depan. "Dia ngomong apa ke lo?"
"Banyak!" Wajah Gina kembali di tekuk penuh kesal. Mendadak lupa soal dirinya yang hendak beranjak. "Gue dijadikan pendengar dongeng kisah dia sama Kak Mavi. Dua jam di kafe samping kampus cuman habis bahas pasal Mavi, Abey, Mavi, Abey. Biar apa, sih? Iya, gue tahu dia dekat sama kak Mavi pakai banget. Tanpa dia cerita gue juga sudah tahu," curhatnya menggebu.
"Katanya gak kenal sama Abey?" sela Henan.
"Lo diam dulu!" tegur Gina. Henan membalasnya dengan dehaman dengan mata yang terpejam. "Pokoknya semuanya karena lo! Abey minta tolong sama gue buat bantu cari cewek yang suka sama Kak Mavi, alias gue. Kok lo bocor pasal itu, sih? Harga diri gue terluka tahu gak?"
Henan hanya diam mendengarkan segala kekesalan Gina yang ditumpahkan padanya. Awalnya terkejut kala gadis itu mengatakan Abey menemuninya. Ternyata, Mavi benar-benar tidak berbohong pasal penundaan yang ingin membuat gadis cantik itu menjadi pacarnya. Dan kalau ingin jujur, memang semua berawal dari ucapannya. Keceplosannya malam itu malah makin merambat hingga sampai pada Gina. Padahal niatnya Henan ingin menyelesaikan masalah percintaan sialan ini tanpa diketahui oleh gadis itu.
"Lo dengar gak sih, gue ngomong?"
Henan menghela napasnya. "Mau bagaimana lagi? Keceplosan itu manusawi," katanya.
"Manusiawi apanya. Lo sengaja pasti!" Gina yang masih setia dengan persepsinya.
"Serius, gue gak sengaja hari itu. Saking stresnya gue sama Mavi makanya sampai keceplosan," ujar Henan membela diri.
Gina berdecih kasar. "Lagian lo tahu dari mana gue suka sama Kak Mavi?"
"Gue sama Mavi tuh, sama-sama cowok. Cuman bedanya, Mavi paling gak peka soal yang namanya tatapan suka. Makanya dia gak tahu pasal pandangan memuja lo itu. Beda sama gue. Mata melebar kayak filter Instagram keluar lope-lope sangat jelas gue tahu kalau lo suka sama dia," jelas lelaki penggemar Shin-chan itu.
Henan sedikit sakit hati pasal fakta Gina yang masih menyukai Mavi. Maka dengan membenah diri bersiap ke kempus menjadi pengambilan alih. "Kalau Abey sudah minta tolong sama lo, kenapa gak langsung jujur saja biar semuanya langsung selesai?"
"Gue gak mau," tolak Gina kuat. Gadis itu ikut berdiri dari tempatnya dan memakai Helm.
Henan menyerit. "Kenapa? Mau tunggu Mavi peka soal lo suka sama dia? Yang ada berlumut lo nanti." Berakhir dengan senyum sinis yang terukir.
Bibir Gina malah mengerucut mendengar panutan Henan. "Gue juga gak tahu, Hen. Gue bingung sama diri gue sendiri. Satu sisi gue kesal sama si Abey-Abey itu. Iya, gue akui dia memang lebih cantik dari gue. Awal ketemu saja gue langsung insecure drastis lihatnya. Tapi bukan berarti gue yang tampil biasa saja gak punya kesempatan buat disuka sama Kak Mavi, kan?"
Dari balik binar penuh harapan Gina, sejatinya Henan sangat membenci untuk melihatnya. Dirinya merambat kunci motor dan berlalu duluan. Meninggalkan Gina yang diam di tempat dengan pandangan heran.
Henan sudah naik di motornya segera menyalakan mesin. "Buat apa pun yang menurut lo benar. Tapi gue cuman mau kasih tahu satu hal, jangan terlalu banyak berharap," ujarnya yang kemudian menarik pedal gas dan berlalu.
Gina mengerjap sembari menatap kepergian lelaki itu hingga sedikit jauh di depan. Namun, Henan tiba-tiba memelankan motornya dan berbalik. "Bayarin bubur gue, ya!" kemudian berlanjut hingga benar-benar menghilang dari pandangannya.
"Henan—si bangsat!" Mulutnya seketika tertutup karena tanpa sengaja mengumpat. Memasang senyum canggung dan mengeluarkan uang untuk membayar makanannya dengan milik Henan. Sepanjang jalan dirinya menuju kampus dipenuhi dengan umpatan tertuju pada lelaki itu.
🎗
Di perpusatakaan, Gina menyibukkan diri dalam memenuhi tugas di masa absen kemarin. Hanya seorang diri meski tadi sempat mengajak Sela untuk menemani. Tetapi gadis itu malah berlalu mementingkan sang kekasih untuk menemaninya makan siang.
Sepinya ruang perpus memberi ketenangan yang sangat pas untuk fokus dalam tugas. Meski tumpukan buku yang terbilang banyak di depannya membuat sakit kepala tapi bisa dilupakan sejenak.
Terhitung terlewat 20 menit lamanya Gina di sana. Tidak mempermasalahkan pasal kelasnya sebab jadwal terakhir akan berlanjut di pukul 3 sore. Masih tersisa satu jam lebih untuk mengerjakan tugasnya. Gina sangat menghindari pasal menumpuk tugas yang tak selesai. Lebih baik dikerjakan jika punya kesempatan.
"Gina?"
Kepala gadis itu seketika mendongak. Pupil matanya melebar kala mendapat Mavi kini menarik kursi di depannya. Mendudukkan diri dengan senyum penuh ramah. "Hai, Kak," sapanya.
"Sendiri saja. Sela mana?" tanya lelaki berkacamata itu.
"Lagi temani pacarnya makan siang. Biasa, katanya mau memantaskan diri jadi menantu calon dokter." Mendapat kekehan dari Mavi. "Kakak ada urusan apa ke sini? Kerja tugas juga?"
Yang ditanya mengulum bibirnya sejenak. "Gak, sih. Cuman sekadar mau mampir doang."
"Banyak pikiran ya, Kak?"
Mavi terkekeh sejenak dan mengangguk. "Banget. Makanya mau tenangkan diri di sini. Sunyi sepi jadi enak buat istirahatkan kepala."
Gina pun mengangguk menyetujui itu. Lepasnya menyahut izin untuk melanjutkan tugas. Mavi mempersilahkan sementara dirinya duduk diam dengan buku di tangan.
Fokusnya Gina yang mengerjakan tugas, lain Mavi yang sesekali mencuri pandang dari balik bukunya. Pandangannya tertahan pada wajah gadis itu. Pencahayaan jendela perpustakaan yang memberi kesan tenang dan hangat, menngundang senyum simpul yang begitu tipis di wajahnya. Menikmati bagaimana pahatan wajah sang adik tingkat yang nampak begitu manis dipandang. Kepalanya tiba-tiba memutar bagaimana kisah keduanya bertemu karena salah paham. Mavi masih ingat wajah ngotot gadis itu yang justru terlihat menggemaskan menurutnya.
"Biasa saja kalau natap anak orang."
Keduanya seketika menoleh. Mendapati Henan yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping meja dengan sebuah kantung di tangan.
"Henan? Lo ngapain di sini?" tanya Gina.
"Kenapa? Ganggu waktu lo pacaran sama dia?"
Gina menatap Mavi sejenak yang nampak heran seketika menjadi mengerut kala menoleh Henan. Seakan memberi kode untuk menjaga ucapannya namun lelaki itu malah tidak peduli.
Tanpa permisi Henan mengambil tempat duduk di samping Gina. Menaruh kantung yang dibawa di atas meja yang kemudian disorong ke depan gadis itu.
"Apa ini?"
"Sela bilang lo belum makan siang. Langsung ke sini waktu selesai kelas," jawab Henan. Dagunya memberi petunjuk bagi gadis itu untuk melihat isinya. "Makan, jangan sampai maag lo kambuh."
"Well ... makasih."
Mavi yang setia diam menatap interaksi keduanya secara bergantian. Bahkan terfokus pada Henan yang terlihat begitu bebas dalam menyentuh barang milik gadis itu. Memutar pertanyaan akan keduanya yang entah sejak kapan terlihat begitu dekat.
"Kalian dekat, ya?" sahutnya.
Henan dan Gina mendongak menatapnya. Sebuah senyum tipis terpampang dengan mulut terbuka yang ingin menjawab. Namun, Henan dengan lebih cepat memberi jawaban, "Pakai banget." Gina sampai mendelik menatapnya.
Kepala Mavi hanya mengangguk. Hening kembali melanda dengan ketiganya yang tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Henan meraih kantung makanan yang dia bawa. Mengeluarkan isinya dan membuka satu bungkus makanan. Menyodorkan tepat di depan mulut Gina yang masih sibuk menatap bukunya satu persatu yang dengan senang hati diterima sang empu.
Sekali lagi, aksi itu mencuri perhatian Mavi. Ada sekelebat rasa aneh kala melihat Henan yang begitu santai dalam menyuapi Gina. Bahkan ketika dirinya seketika bertemu pandang dengan Henan, ketidaksukaan itu hadir secara tiba-tiba.
"Selesai," sahutan yang membuat kedua lelaki itu menghentikan aksi lempar tatapan. "Lo gak bawa minum, Hen? Gue haus," ucap Gina dengan sedikit merengek.
"Ada, susu doang tapi."
"Kok susu? Gue mau yang segar, dingin banyak es batunya. Kayak le-"
"Gak ada lemonade. Minum susu saja. Itu juga segar karena gue ambil dari lemari es," potong Henan bahkan sebelum Gina menyelesaikan ucapannya.
Decihan kecil keluar namun tetap menuruti perintah Henan. Gina beralih pada Mavi yang masih diam seraya menatapnya. "Kak Mavi sudah makan? Mau gak?" tawarnya.
"Ah, gak usah. Gue sudah makan kok tadi," tolak Mavi. Pandangannya beralih pada jam di tangan. "Gue duluan, ya? Baru ingat kalau ada urusan sama dosen bimbingan," pamitnya.
"Oh, oke. Hati-hati di jalan, Kak." Melambaikan tangan menatap kepergian Mavi dengan bibir menekuk ke bawah.
Henan menatap wajah cemberut anak itu dengan malas. Seketika tangannya menyodor paksa roti yang dia suap tadi ke mulut Gina. Membuat sang empu kaget dan memandangnya marah.
"Muka lo jelek, cemberut malah tambah jelek," ucapnya.
"Berisik lo!"