Loading...
Logo TinLit
Read Story - Campus Love Story
MENU
About Us  

Mempertahankan sikap keras kepala memang akan berakhir buruk, seperti Gina sekarang. Tubuhnya akhirnya menyerah, limbung dan jatuh menghantam lantai kelas sesaat dirinya hendak ingin izin menuju kamar mandi. Dirinya memang ikut kelas kuis, tapi tidak berjalan sampai akhir. Sela menceritakan semuanya kepada Bu Yuni selaku dosen yang mengajar saat itu. Tentu saja wanita itu memberi absen dan memaklumi. Ini sebab perkara sakit, bukan alasan abal-abal buatan.

Henan untungnya memang masih berada di kampus. Setelah adu cekcok kesalahpahaman bersama Mavi di kantin akhirnya memilih pergi daripada harus menguras emosi hingga melayangkan tinjunya nanti. Mavi terlalu bodoh dan Henan benar-benar tidak suka itu. Sekarang lelaki itu seperti memainkan dua hati dengan sebuah harapan. Lebihnya, Henan merasa lebih kasihan terhadap Abey. Gadis yang memang cantik itu dan dirinya memang tahu kalau dia juga menyukai Mavi. Henan rasanya ingin melepas kepala dan berisitirahat. Namun, hal lain yang harus membuatnya terjaga demi menemani Gina.

Di ruang kesehatan Fakultas Sastra Gina diperiksa dan dikatakan baik-baik saja. Hanya demam sebab perkara kelelahan dan butuh istirahat. Meskipun begitu, sebuah vitamin tetap diberikan untuknya. Dititip kepada Henan selaku menjaga ruangan karena beliau ingin keluar untuk membeli stok obat yang mulai habis.

Wajah damai Gina menjadi pandangannya saat ini. "Sok kuat, sih. Sekarang tumbang, kan?" ucap Henan.

Membiarkan ucapannya larut terbawa angin. Duduk di kursi kecil tepi kasur dan hanya menatap Gina tidur. Sela sempat ada tadi namun mengingat hari memang masih ada kelas jadi meninggalkan Henan untuk menjaga Gina. Sebab memang idak ada orang lain lagi selain dirinya.

Pintu ruangan terbuka. Henan mengira akan bertemu dengan dokter kampus yang tengah piket. Namun, alih-alih begitu, dirinya malah bertemu dengan lelaki yang baru saja diajak cek-cok.

"Gina kenapa, Hen?" tanya Mavi.

Dia tidak menoleh untuk menjawabnya. Terlalu malas untuk menatap wajah anak bodoh itu. Bisa jadi emosinya akan naik kembali. "Pingsan. Sakit demam karena capek." Tapi tetap memberi jawaban untuk sekadar sopan.

Tidak ada pembicaraan lagi. Mavi terlalu sibuk membuka kotak obat untuk mencari satu papan vitamin. Dirinya memang biasa kemari untuk sekadar meminta. Saking seringnya, dokter kampus yang piket pun terkadang membiarkan lelaki itu seenaknya mengambil vitamin. Terlebih lagi, siapa yang tidak kenal Mavi di fakultas ini?

"Henㅡ"

"Gak usah bahas di sini. Jangan sampai gue hilang kendali buat sepak betul-betul kepala lo," potong Henan cepat. Dirinya masih terlampau kesal dengan anak itu.

Mavi mendesah. Memberi Henan tepukan pada bahu kanan sebelum akhirnya beranjak keluar dari sana. Henan hanya menatapnya dari ujung mata. Hingga Mavi benar-benar menutup pintu barulah Henan menghela napas lega.

"Mavi sialan," desisnya.

Henan berpikir apa yang akan terjadi di saat Mavi tahu kalau Gina adalah orang yang menyukainya. Mungkin kabar baik untuk gadis itu sebab Mavi mengetahuinya, hanya saja sisi lain dari dirinya menolak. Dia juga takut, kalau Mavi dan Gina benar-benar akan bersama dan mencampakkan Abey. Dia bingung dengan dua sisi yang perlu dia lakukan.

Tentu saja Henan akan melakukan apa pun yang akan membuat Gina senang. Tapi setelah melihat perilaku berengsek Mavi, dirinya menjadi berpikir dua kali. Sebuah kesalahan yang Henan sendiri bahkan tidak tahu apa penyebab Mavi menjadi orang paling bodoh saat ini.

"Henan ...."

Sekian lama Henan menempelkan keningnya pada sisi kasur seketika mendongak cepat. Ditatapnya mata sayu Gina yang kini terbuka.

"Kenapa? Lo haus? Mau minum?" Anggukan dari Gina membuatnya segera beranjak dari tempat untuk mengambil segelas air dengan sedia pipet.

Gina melepas pipet itu dari mulutnya. Berlalu untuk terpejam kembali sembari mendesah berat. Henan melihat semuanya, bagaimana wajah letih dan pucat itu bercucuran keringat dingin. Mengambil selembaran kain yang memang tersedia, melipatnya menjadi ukuran lebih kecil sebelum bergerak menyeka keringat pada pelipis dan kening gadis itu.

"Panas gak? Mau gue kipasin?" Namun, Gina menggeleng.

Satu tangannya menyentuh kening Gina, masih panas dalam batin Henan. Lelaki itu menahan napas sejenak sebelum beranjak dari tempat.

Gina membuka mata kala kegiatan menyeka keringat dari Henan berhenti. Menatap lelaki itu yang ingin berlalu pergi. "Hen, mau ke mana?" Bahkan untuk bersuara saja tenggorokannya terasa kasar.

Henan menoleh. "Keluar sebentar. Lo harus makan, gue pergi beli bubur dulu."

"Gue gak lapar."

"Tapi lo harus minum obat," titah Henan.

Gina menggeleng. "Lo saja di sini."

Tubuh lelaki itu mendadak diam di tempat. Kedua matanya masih saling melempar pandangan. Pendengarannya tidak bermasalah, namun entah kenapa kalimat yang Gina lontarkan terasa samar-samar di telinganya.

"Jangan pergi, Henan ...."

Henan kalah, dia melemah. Sungguh, mentalnya sekarang seperti tengah meleleh. Yang awalnya kokoh kini menjadi jeli.

Senyum simpul itu terukir. Henan kembali duduk mengikuti permintaan. "Gue gak ke mana. Jangan khawatir," ucapnya.

Gina tidak membalas, hanya diam sembari menatap wajah Henan. Entahlah, dia tidak membutuhkan apa pun. Lapar pun tidak mendatanginya saat ini. Dia hanya butuh lelaki itu, hanya Henan.

"Hen."

"Hm?"

"Di sini saja. Jangan ke mana-mana."

"Iya. Gue di sini."

Gadis itu kembali tertidur setelah mengajukan permintaan dengan jawaban pasti. Satu tangannya terbungkus dalam genggaman Henan. Dirinya suka meskipun hawa kulit tangan Gina terasa hangat. Memberi elusan lembut pada punggung tangan untuk memberi kenyamanan penjaga dalam tidurnya.

"Gin, Mavi bisa gak berganti jadi gue?"

Tentu saja pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Henan tersenyum kecut. Memandang bagaimana pecundangnya dirinya hanya mampu mengatakan hal ini di saat Gina tidak bisa mendengarkan.

"Gue gak rela kalau sampai Mavi tahu lo suka sama dia. Gue belum siap," ucapnya. "Mavi itu berengsek, Gin. Dia bilang sama Mba Abey buat cari tahu siapa yang suka sama dia padahal dia sudah yakin kalau suka sama gadis itu. Buruknya, itu terjadi karena kebodohan gue."

Anak rambut Gina diselipkan pada belakang telinga,. "Kasihan Mba Abey, Gin. Bagaimana kalau Mavi lebih milih lo daripada dia? Bukan cuman dia yang sakit, gue juga."

Sepertinya tidak ada waktu lain untuk mengungkapkan semuanya. Meskipun Henan tahu kalau Gina tidak mendengarnya sama sekali.

"Permintaan gue memang jahat buat lo. Tapi ini buat kebaikan lo, buat Mba Abey, dan juga anak bodoh itu. Gue anggap Mavi sudah seperti Abang gue sendiri. Gue gak mau dia dicap buruk perkara percintaan sialannya ini. Gue juga gak mau buat bawa lo lebih dalam, tapi Mavi...," Henan menggantung. "Mavi dengan tololnya malah membuat ini merambat lebih jauh."

Ditatap wajah tenang itu lama. "Gak apa kan, kalau gue pinta lo buat mundur? Gak apa kan, Gina?" Henan rasanya ingin menangis saat ini juga. Dirinya yang meminta tapi kenapa justru dirinya yang merasa sakit.

Menunduk untuk menyatukan keningnya dengan punggung tangan Gina. Memejamkan mata untuk merasakan hangat dan mengambil napas dalam.

"I like you, novel maniac."

🎗

Mavi baru saja pulang dari kampus. Dengan badan lelah dirinya berjalan masuk. Hembusan napas berat senantiasa menggiring di setiap langkah yang terambil. Menemukan Thilo yang tengah asik berkutat di depan laptop dengan televisi yang menyala. Sebuah kebiasaan lelaki itu kala harus mengurung sendiri di indekos.

"Baru puang, Vi?"

"Iya, Bang," jawab Mavi pelan.

Dirinya bukan bermaksud tega meninggalkan lelaki yang lebih tua darinya tetap sendiri di sana. Hanya saja, Mavi saat ini membutuhkan kasur empuknya. Bahkan ketika sampai di kamar pun, tidak ada kegiatan lain yang didahulukan selain membuang dirinya dengan bebas di tempat tidur.

Kedua matanya terpejam.  Pikirannya tengah dilanda banyak kebingungan. Saat dirinya membuka mata, helaan napas berat yang entah keberapa kali lolos menyambut hening kamar yang gelap. Sekelebat kegiatan mengupingnya di ruang kesehatan kampus tadi kini berputar kembali. Dirinya tengah mati-matian memahami maksud Henan yang tengah berbicara sendiri. Mendapat tamparan dengan sebutan dianggap sebagai Abang dan untuk saat ini Mavi merasakan kalau dirinya sudah benar-benar keterlaluan.

"Maaf, Hen."

🎗

Pukul 5 sore Henan sudah sampai di indekos. Setelah mengantar Gina pulang lebih dulu tentu saja. Dirinya masih merasa orang yang bertanggung jawab atas gadis itu sekarang.

Sebelumnya Mavi menjumpai Thilo di ruang depan, lain halnya dengan Henan yang justru mendapati sepupu dari anak Fakultas Teknik itu bertekuk dengan berbagai macam buku tebal di depannya.

Merasa ditatap Delio lantas mendongak. Memperbaiki posisi kacamatanya sejenak sebelum akhirnya membuka mulut. "Baru pulang?" Dan Henan memberi anggukan sebagai jawaban.

Delio kembali menunduk untuk menulis. "Gina bagaimana? Sudah baikan?"

Bertanya bagaimana lelaki ini bisa tahu perkara Gina, tentu saja dari kekasihnya. Alasan Sela yang menolaknya untuk berangkat ke kampus bersama. Meskipun sempat memberi bantuan namun kekasihnya dengan sikap dewasa menolak dan mengatakan dapat melakukannya sendiri.

Henan mendesah dan dengan lunglai mengambil langkah menuju sofa di samping Delio. Menyandarkan punggungnya dengan kepala yang juga ikut bersandar. "Kecapekan. Katanya baru pulang dari rumah orang tuanya jam sebelas malam," jawab Henan.

Matanya terpejam hanya untuk membayangkan bagaimana kondisi Gina melakukan perjalan di tengah malam seperti itu. Yang padahal sebelumnya dikatakan bahwa anak itu akan berangkat pulang di sore hari.

Delio kembali mendongak menatapnya. "Khawatir banget nampaknya. Sudah suka ya, sama doi?" tanya Delio.

Henan tidak menjawab, hanya membuka matanya membalas tatapan lelaki itu. "Memang kelihatannya begitu, ya?" Padahal anak itu baru saja mengungkapkan perasaannya tadi.

Kedua alis Delio bergerak ke atas. "Lah? Gak nyadar? Ckckck, parah." Berakhir gelengan dan Delio lebih memilih untuk menatap bukunya kembali ketimbang melihat wajah bodoh Henan. "Gue sudah prediksi dari awal lihat kalian berdua. Pasti salah satunya bakal suka," lanjut lelaki itu kembali.

Henan mengulum bibirnya. "Cuman satu, nih?"

Delio berhenti dan kembali menoleh. "Jadi, lo sudah suka?" Dan sejenak lelaki itu tertawa meremehkan, Henan berkedut melihatnya. "Yaudah, tinggal lo yang bikin dia nyaman sampai balas perasaan lo. Kenapa mesti dipikir ribet? Kan, lo sudah suka, tinggal berjuang."

"Tapi dia suka sama orang lain."

"Waduh! Kalau begini ralat dong, ribet."

Henan berdecih dan mengganti tempat untuk ikut duduk di lantai. "Bagaimana, nih? Gue merasa kek gak ada harapannya sama sekali," ujarnya.

Delio hanya tersenyum tipis. "Memang sesuka apa dia?"

"Sangat, kayaknya. Sudah lama pula," kata Henan dengan nada lesu di akhir.

Tidak seperti Henan pada umumnya, itu yang ada dibatin Delio sekarang. "Terus, lo tahu siapa orang yang dia suka?" Henan tentu saja mengangguk. Bagaimana dirinya bisa tidak tahu kalau alasan dirinya merasa susah terbalaskan sebab orang yang seindekos dengan dirinya sendiri.

"Terus, cowok yang dia suka tahu gak?"

Henan mengehela napas panjang. "Dia suka sama anak di fakultasnya, kakak tingkat. Bodohnya, dia sudah suka dari lama tapi takut buat kasih tahu. Sampai orang yang dia suka itu nyatanya juga suka sama orang lain. Dia uring-uringan, galau terus, sedih terus, tapi anehnya malah gue yang gak suka," jelas Henan. "Sialnya lagi, orang yang dia suka malah nunda buat tembak doi-nya cuman perkara buat cari tahu siapa yang suka sama dia, alias dia," sambungnya lagi. Tidak lupa untuk menunjukkan rasa kesalnya di akhir.

Delio memutar otaknya. Dia masih dalam proses mencerna penjelasan dari Henan yang rupanya lebih rumit dari yang dikira.

Henan menatapnya hanya untuk menunggu sebuah reaksi. Namun, berkunjung lama akhirnya anak itu menyerah dan berdiri. Membuat Delio mendongak dengan raut tanda tanya.

"Sudahlah, Abang gak usah ikutan mikir. Nanti terganggu sama masalah pendidikan Abang. Belajar saja yang rajin," ucapnya dan berlalu meninggalkan Delio dengan raut yang masih sama.

"Apa-apaan anak itu?"

Baru saat Henan hendak berbelok dan menaiki tangga, malah berpas-pasan dengan Mavi yang baru saja keluar dari arah dapur. Dengan setelan kaos biasa dan menggenggam segelas air dingin, yang tak bisa lelaki itu hilangkan.

"Baru pulang, Hen?" tanyanya. Terkesan seperti sapaan awal keduanya yang bertemu kembali. 

Henan berhenti. "Sepuluh menit yang lalu. Singgah di depan cerita sama Bang Delio."

Mavi hanya diam tidak bereaksi selepas Henan menjawab. Mengundang wajah kerutan pada lelaki itu. "Kalau sudah gak ada lagi, gue mau ke atas mandi," sahut Henan. Berancang-ancang sudah ingin melanjutkan kembali jalannya.

Mavi masih terdiam. Aslinya pikirannya tengah berdiskusi untuk melontarkan kalimat yang ingin dikatakan sekarang. Sayangnya Henan bukanlah orang yang terbilang penyabar. Hingga anak itu beranjak menaiki dua anak tangga, Mavi baru tersadar dan segera memburunya.

"Hen!"

Untungnya Henan berbalik. "Kenapa?"

Mavi menelan ludah dan menjilati bibirnya. Entah kenapa dirinya malah gugup tiba-tiba.

"Gak mau bicara gue tinggal benaran. Lo panggil lagi gue bodoh amat," ancam Henan.

Sayangnya, kegugupan Mavi masih memeluknya saat ini hingga Henan benar-benar menyerah dan hendak meninggalkannya.

"Gue minta maaf," sahut Mavi. Henan yang hampir menyentuh lantai atas lantas berhenti dan berbalik lagi. "Maafin gue, Hen. Gue terlalu egois buat lo sampai buta kalau lo sudah anggap gue sebagai Abang lo," lanjutnya.

Henan mematung di tempat. Kata-kata yang dikeluarkan Mavi terkesan familier baginya.

"Gue minta maaf dan sekarang gue memilih buat mengalah. Gue serahkan semuanya sama lo sekarang. Maafin gue."

"Serahkan apanya?"

"Maaf kalau gue baru peka sama perasaan lo. Lo sudah terlalu lama sakit selama ini dan semuanya karena gue."

Henan beranjak turun beberapa anak tangga. "Maksud lo apa, sih?"

Mavi menatapnya lekat. "Gue bakal menyerah Henan, buat lo. Gue bakal lepas dia. Gue terlalu bodoh saat ini karena selalu bawa lo dalam urusan gue. Tanpa gue sadar, lo malah dibuat sakit."

Otak Henan tengah berproses sekarang. Siapa yang akan dilepas Mavi? Apa maksud dari anak ini?

Mavi tersenyum. "Maafin gue, ya, Hen? Gue belum terlalu becus buat jadi Abang lo," pukasnya.

Henan masih diam tidak bergeming. Bahkan ketika Mavi sudah menaiki tangga dan memberinya tepukan halus pada pundak kiri. Masih mencerna maksud dari semua ucapan yang Mavi lontarkan padanya. Menoleh ke belakang namun, mendapati pintu kamar Mavi yang sudah ditutup oleh anak itu.

"Maksud dia apa, sih? Jadi overthinking-kan gue. Ah, sialan!" ucapnya seraya meramas rambutnya frustrasi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Chloe & Chelsea
7949      1733     1     
Mystery
30 cerita pendek berbentuk dribble (50 kata) atau drabble (100 kata) atau trabble (300 kata) dengan urutan acak, menceritakan kisah hidup tokoh Chloe dan tokoh Chelsea beserta orang-orang tercinta di sekitar mereka. Menjadi spin off Duo Future Detective Series karena bersinggungan dengan dwilogi Cherlones Mysteries, dan juga sekaligus sebagai prekuel cerita A Perfect Clues.
Bajak Darat
643      440     0     
Humor
Setelah mengalami kecelakaan laut hingga kehilangan sebelah tangan dan kakinya, seorang bajak laut pulang kampung demi mendengar kampung halamannya akan dibuat menjadi kota mandiri dengan konsep terakota. Ia mencuri peta kuno, satu-satunya yang dapat menyelesaikan perdebatan batas wilayah antara Pemda Jakarata dengan Pemda Jataraka, dan bernilai fantastis yang cukup untuk membeli sawah dan trakto...
WulanaVSurya
440      306     1     
Romance
Terimakasih, kamu hadir kembali dalam diri manusia lain. Kamu, wanita satu-satunya yang berhasil meruntuhkan kokohnya benteng hatiku. Aku berjanji, tidak akan menyia-nyiakan waktu agar aku tidak kecewa seperti sedia kala, disaat aku selalu melewatkanmu.
When I\'m With You (I Have Fun)
649      375     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.
November Night
367      260     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Flower With(out) Butterfly
417      289     2     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
Bumi yang Dihujani Rindu
6976      2229     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
Archery Lovers
4283      1900     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
Ghea
448      288     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Daniel : A Ruineed Soul
548      318     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...