Gina tidak paham, sedari tadi dirinya hanya berjalan berdampingan dengan Henan untuk memutari mal. Padahal di awal beranjaknya mereka berdua karena lelaki itu ingin meminta ditemani membeli sesuatu. Namun, tehitung hampir 30 menit keduanya hanya sibuk terus dalam berjalan kaki.
Well, setidaknya dia merasa tidak buruk-buruk amat. Masih ada minuman Latte Ice milik Henan yang dia nikmati. Menanyakan di mana Lemonade miliknya, jelas sudah habis lebih dulu saat mereka berjalan keliling. Salahkan Henan yang sampai sekarang belum memutuskan untuk singgah ditujuan.
Minuman milik Henan otomatis diminum Gina menggunakan pipet yang sama. Dia tidak sebodoh itu. Tentu saja arah pipet di balik untuk menukar bekas Henan di bawah. Yang ada nanti Gina merasa berciuman secara tidak langsung dengannya. Meskipun lelaki itu mengatakan tidak apa-apa. Itu mah, dienaknya dia saja.
"Lo mau ke mana sih, Hen? Dari tadi putar-putar mulu. Kiranya gak capek apa," keluh Gina.
"Lah? Gue kira lo yang mau singgah di mana." Henan menoleh.
Gina memasang muka tidak percayanya. "Ini anak. Kan, tadi lo yang bilang mau ditemani? Kok, malah gue?" protesnya.
"Oh, iya. Sorry, lupa gue." Henan hanya membalasnya dengan sebuah cengiran. Membuat Gina hanya berdecak kesal dengan kelakuannya.
"Eh, bentar. Kebetulan lewat sini, mampir di toko aunty gue dulu, ya? Mau tanya buku," pinta Gina. Henan hanya memberinya sebuah anggukan setuju dan mengekori.
Henan ikut masuk ke toko yang lumayan besar dan mulai merasakan bau harum dari buku-buku yang terpajang. Pengunjung yang datang juga lumayan banyak. Terlihat dari beberapa kursi dan meja yang disediakan toko milik Tante Gina nampak terisi hampir semuanya. Henan baru tahu kalau Gina mempunyai toko buku di mal, meskipun bukan seutuhnya miliknya.
"Aunty!"
Tantenya yang tengah sibuk menyusun buku dalam rak lantas menoleh. "Loh? Gina? Datang sendiri?"
Yang ditanya menggeleng. "Sama teman."
Tantenya beralih pada Henan yang berdiri di belakang. Tersenyum manis seraya mengangguk untuk memberi sapa. "Temannya cowok, nih?"
"Hah?" Gina tidak paham maksud dari raut wajah yang tantenya tunjukkan. Tersenyum namun seakan memberikan suatu makna di sana.
"Gak ada," elak tantenya. Dia kembali menatap Henan dengan senyum. "Halo, Sayang. Nama kamu siapa?"
"Henandika Tatum, Tante. Panggilnya Henan," jawab Henan sopan seraya menampilkan senyum menawannya.
"Aduh, Nak Henan. Kok, mau-mau saja direpotin sama Gina? Anaknya memang gak tahu malu."
Gina terkejut. Terlampau bingung maksud dari tantenya ini. Sedangkan Henan, dirinya hanya tertawa kecil mendengar lantunan wanita muda itu.
"Gak, kok, Tan. Saya yang ajak keluar," sahut Henan.
Tantenya Gina mengangguk paham. Gina merasa merinding dengan gelagat saudari ibunya ini. Benar-benar aneh dan baru pertama kali dirinya melihat seperti ini.
"Aunty ngomong apa, sih? Gak mikir yang aneh-aneh, kan?" selidik Gina.
"Apa sih, kamu? Gak usah kepo." Dibalas tawa kecil yang berhasil membuatnya kesal.
Henan hanya diam tak bereaksi. Cukup menatap interaksi antara kedua perempuan di depannya ini. Soal paham maksud yang barusan Tante Gina bilang, Henan bukan orang bodoh untuk pura-pura tidak tahu. Itu sudah terlalu jelas.
"Oh, iya, aunty. Novel yang aku cari itu sudah datang belum?" tanya Gina seraya membuka kardus berisi buku novel. Sepertinya itu buku yang baru saja datang.
"Gak tahu, aunty belum buka semuanya. Nanti kalau memang ada aunty kasih kabar ke kamu," ucap wanita itu. "Sudah, sekarang kamu pergi saja. Kasihan loh, Henan-nya nunggu kamu di situ."
Gina berbalik menatap Henan yang masih senantiasa berdiri tak bergeming. "Gak apa kalau dia, mah," ucapnya. Namun sayang, jawabannya malah mendapat pukulan manis dari sang Tante. Cukup membuatnya sedikit meringis.
"Gak baik ngomong begitu. Sudah sana, kamu juga gak ada kerja kalau kemari."
"Aunty kenapa, sih? Biasanya juga gak peduli Gina datang bermain di sini."
"Itu kalau kamu datangnya sendiri. Ini ada teman kamu. Kasihan tahu," pukas tantenya. "Sudah sana pergi, nanti aunty kasih tahu kalau bukunya sudah ada."
"Aduh, iya-iya." Gina hanya mengerucutkan bibirnya sembari berjalan keluar meninggalkan toko.
"Gina-nya dijaga ya, Nak Henan. Maklum saja kalau dia cerewet, bawaan lahir sensian mulu."
"Iya, Tante. Siap kalau itu. Meskipun rada mau budeg juga dengar dia ngerocos."
Gina berbalik. "Gue dengar ya, kalian ngomong apa," sahutnya sembari bermuka datar.
Henan mengangguk kembali sebelum akhirnya benar-benar berlalu pamit dan meninggalkan toko. Menatap ke arah Gina yang wajahnya masih bercampur antara suntuk dan heran.
"Tante lo lucu kalau gue lihat," sahut Henan.
Gina mendelik curiga. "Apa maksud lo? Jangan bilang lo suka sama aunty gue?"
"Sembarangan banget ngomongnya." Henan hanya menggelengkan kepalanya dengan maksud gadis itu. Benar-benar diluar dugaan.
"Jadi mau ke mana, nih? Sudah jam tiga kalau lo mau tahu," ucap Gina. Meneguk minuman terakhir sebelum gelas plastiknya berlalu di tempat sampah.
"Memang kenapa kalau jam tiga?" tanya Henan.
"Gak kenapa-kenapa. Cuman gue ada rencana mau pulang ke rumah orang tua buat liburan. Kalau jadi, sih."
"Jauh gak? Berapa hari?"
"Gak jauh, cuman seberang kota doang. Besok sorenya gue pulang. Kan, Senin masuk kampus lagi." Gina kembali menatap Henan. "Ngapain lo tanya-tanya soal gue mau pulang?"
Henan membuang muka. "Gak kenapa-kenapa. Cuman mau tahu doang. Gak boleh memang?" baliknya.
"Ya, gak apa. Cuman heran saja lo tanya soal begituan. Atau jangan-jangan ...." Gina menggantungkan ucapannya dengan berdiri di depan Henan. Memajukan sedikit wajahnya untuk mendeteksi maksud raut wajah lelaki itu.
"Ngapain lo?"
Gina menyipitkan matanya. Perlahan mundur kembali sembari menghela napas. Membuat Henan heran menatapnya.
"Kasihan banget, deh. Lo gak punya teman ya, selain gue?"
"Hah?" Bertukar Henan yang kini menyerit.
Gina kembali di posisi kiri Henan. Menyenggol bahu lelaki itu pelan seraya tersenyum simpul. "Gak usah sedih begitu kenapa? Kan, cuman sehari doang gue tinggal."
"Maksud lo?"
Gina mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. "Iya-iya, gue tahu. Kalau lo kangen tinggal chat gue saja. Asalkan tahu waktu, jangan lo chat tengah malam," ucapnya.
Henan mengangkat kedua alisnya. Dia baru paham soal maksud anak gadis ini. Dia tertawa singkat melihat kepedean Gina yang tiada tara. Kangen katanya? Tidak punya teman? Terus saudara kembar itu siapa kalau bukan teman? Namun, Henan membiarkan ucapan Gina melayang tanpa jawaban. Membiarkan gadis itu dengan ucapan terlampau pedenya.
"Ayo, deh, Hen. Mau ke mana? Keburu sore banget," pukas Gina. Henan mengangguk dan lantas bergegas berjalan.
🎗
Berakhir di salah satu toko aksesoris. Berbagai macam kalung, gelang, cincin, ikat rambut, jepit rambut, dan sebagainya. Gina hanya diam seraya mengekori Henan sembari menatap pajangan-pajangan yang lewat. Gina pikir mungkin Henan akan berikan kepada saudaranya, katanya Henan anak bungsu. Kan, mungkin kakaknya adalah perempuan.
Sepanjang jalan, hingga Gina berpisah jalur dengan Henan. Dirinya beralih pada pajangan berbagai macam ikat dan jepitan rambut. Gina sebenarnya tidak begitu tertarik. Lebih memilih mengurai rambutnya daripada harus diikat sana sini. Kecuali di saat memang dirinya harus mengikat rambut, barulah dia lakukan.
Namun, ikat rambut yang dilihatnya saat ini mengundang perhatian Gina untuk melihatnya lebih dekat. Bahkan tanpa segan sudah melepasnya dari tempat benda itu dipajang.
"Lucu," gumamnya.
Henan yang baru menyadari tidak adanya Gina di belakangnya lantas menoleh untuk mencari anak itu. Berakhir dengan pandangannya yang mengunci Gina tengah sibuk menatap satu ikat rambut dalam genggaman. Henan mendekat secara perlahan. Bahkan kehadirannya pun masih belum disadari oleh gadis itu. Terlalu larut dengan kegiatan sampai menyadari Henan sudah di sampingnya saja tidak.
"Lo suka?" tanya Henan.
Gina mendongak. Sedikit terkejut dengan kehadiran Henan.
"Suka gak?" tanya Henan lagi.
"Hm! Ini lucu," jawab Gina tanpa melihatnya.
"Yaudah, ambil," titah Henan. Gina mendongak lagi, "Ambil, gue yang bayar," sahut lelaki itu lagi.
"Benaran, nih?"
Henan mengangguk. "Ambil saja kalau ada yang lo suka. Nanti bilang sama gue."
"Okey!" seru Gina senang. Mengundang senyum merekah Henan yang bersamaan dengan elusan manis pada puncuk kepala gadis itu.
Dengan dua jenis ikat rambut dalam genggamannya, Gina masih sibuk mengsurvei barang lainnya. Henan sendiri hanya berdiri di pojokan kasir menunggu kegiatan Gina selesai. Tujuan awalnya dia memang ingin membeli sesuatu untuk gadis itu. Entahlah, Henan sendiri juga tidak tahu kenapa dia melakukan hal ini. Yang jelas, dirinya hanya merasa tak suka di saat Gina harus murung melihat perkara Mavi. Dia hanya mengikuti alur maksud dari hati dan pikirannya. Tanpa disadari, dirinya malah tertagih dan ingin terus melakukannya lagi.
"Henan!"
Kegiatan melamunnya buyar dengan hentakan sedikit kaget sebab kehadiran Gina yang sudah berdiri di depannya seraya tersenyum lebar.
"Sudah selesai?" Gina mengangguk.
Berselang saat Henan ingin membayar, tangan Gina berhenti tepat di depan wajahnya. Menjatuhkan sebuah gantungan kunci yang menggantung dalam genggamannya.
"Keyring?"
"Ini lucu. Lo satu, gue satu. Jadi sepasang, deh," pukas Gina.
"Couple maksud lo?"
Gina mendadak diam membatu. Uluran tangan itu tiba-tiba merosot ke bawah dengan tampang wajahnya yang terkesan cengo dalam berpikir. Aslinya, gadis itu kembali bingung dengan kelakuannya.
Henan terkekeh lagi, mengambil alih keyring dalam genggaman Gina untuk segera dibayar. Membiarkan gadis itu masih dalam proses mencerna maksud ucapannya.
"Nih, hadiah," sahut Henan. Memberinya totebag yang berisikan dua ikat rambut dan satu gantungan kunci tadi.
"Makasih," jawab Gina terkesan pelan dan menunduk. Tangannya meremat totebag pemberian Henan.
Lelaki manis itu tersenyum dan menyentuh puncuk kepalanya. "Lapar gak? Makan dulu, ya? Lepas itu gue antar pulang."
Dan Gina hanya bisa memberi Henan gerakan kepaa naik turun. Bagaimana pun dirinya masih merasa aneh dengan situasi sekarang. Memilih diam dan kembali mengekori Henan dengan mulut yang terkatup rapat.
'Gue kenapa?'