Malam lagi santai-santainya Henan di kamar. Hari yang tidak ada kelas sama sekali, hari yang paling dinanti-nanti. Bangun jam 10 pagi, cuman mandi sore, makan, tidur, lepas itu nge-game. Malamnya ngemil jajanan ringan dan tugas baru dikerjakan. Siklus yang setiap hari dilakukan di hari bebas tanpa masuk kelas. Jari yang bergerak lincah di atas keyboard bersama mulut juga sibuk mengunyah. Telinganya disumbat sama hetset dan pintu kamar ditutup. Benar-benar waktu yang dinikmati untuk dirinya sendiri.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat malam. Tugas yang dia tumpuk akhirnya sudah diselesaikan melebihi setengahnya. Memilih mengeluarkan layar jendela yang menampilkan kumpulan kewajiban yang belum selesai dan beralih pada file spesial yang dia beri nama Chan-Chan.
Dari banyaknya deretan episode video yang ditampilkan, jari telunjukkan melakukan peluncuran hingga berhenti pada barisan akhir. Menekan salah satu video di sana dan menunggu untuk mulai ditontoni.
Sebelumnya, Henan menekan tombol pause pada detik ke-10. Dirinya beranjak dari kursi untuk memungut beberapa bungkusan makan ringan yang telah habis. Tiga kaleng minuman soda yang semuanya ditaruh dalam tempat sampah. Berlalu keluar kamar indekos turun menuju dapur.
"Thilo, lo masak?" tanya Delio.
"Hooh. Capek perut gue makan delivery terus. Kebetulan ada uang sedikit ya, gue beli sesuatu buat dimasak," jawab lelaki yang bernama Thilo itu. "Kenapa? Lo mau?" tanyanya.
"Kalau boleh, sih. Buatkan gue juga sekalian." Dan Delio hanya mendapat anggukan tanpa ditatap.
Henan yang sampai di bawah lantas membuka kulkas. Mengambil dua kaleng soda lagi dan satu bungkus jajanan ringan. Delio yang duduk di kursi meja makan hanya bisa menatap anak itu dalam diam sedangkan Thilo masih sibuk bertarung dengan kompor.
"Kebiasaan lo, Hen. Pantasan berat badan naik terus kalau kerjaan lo doyan ngemil," sahut Delio.
"Penting gue bahagia, Bang," jawab Henan. Sudah membuka satu kaleng minuman soda dan meneguknya nikmat. Mengundang decakan malas dari Delio.
Pandangannya beralih pada Thilo yang tengah memasukkan berbagai macam makanan ke dalam panci rebusannya. "Bang Thilo tumben masak? Biasanya juga pesan lewat ojek makanan," ujarnya.
"Sakit perut gue pesan makan melulu," jawab Thilo tanpa menoleh ke arahnya.
Henan mendaratkan pantatnya pada kursi tepat di samping Delio. "Gue juga lapar, Bang. Sekalian boleh gak, nih?"
"Yailah, budak. Bilang saja duit lo habis karena kepakai beli boneka-boneka lo, kan?" sungut Delio.
"Abang sewot saja sama gue, dih!" balas Henan.
Ingin rasanya Delio memukul wajah songongnya dengan spatula panas bekas menggoreng telur. Biar muka anak di sampingnya ini jadi tambah gelap.
"Yaudah, ini kebetulan juga gue masak banyak. Sekalian saja kita makan rama-ramai. Panggil Mavi juga biar ikut makan." Thilo berbalik dengan semangkuk sup yang ditaruh di atas meja. Asap yang masih mengepul menandakan makanan itu baru selesai dimasak, Henan meneguk ludahnya cepat.
"Panggil Mavi, Hen," suruh Delio.
"Dia masih sibuk ber-lovely-dovley sama gebetannya, Bang. Malas ganggu," tolaknya. Bahkan tangannya sudah lebih dulu meraih piring dan sepasang sendok garpu untuk makan.
Plak!
Henan mendesis. "Gue bilang panggil, panggil," titah Thilo.
Henan hanya bisa mendengkus dan turun dari kursinya. "Sepasang sepupu hobinya emosi mulu. Heran," gumamnya.
Dengan langkah yang tidak ikhlas Henan menaiki tangga menuju kamar Mavi di lantai dua yang berhadapan dengan kamarnya. Mengetuk pintu itu tiga kali sebelum dirinya menarik knok dan membukanya.
Tampang Mavi dengan rambut acakan yang berbalut kaos hitam dan celana pendek. Tidak ada bedanya dengan modelan Henan sekarang. Posisi yang bersandar pada sisi pintu, Henan bersilang dada.
"Dipanggil ke bawah sama Angry Bird siblings," sahutnya.
Mavi menoleh. "Kenapa?"
"Diajak makan. Bang Thilo habis masak banyak buat makan sama-sama," jelas Henan. Dirinya beralih berdiri tegak. "Buruan, sih! Gue sudah lapar. Perkara lo minta dipanggil jadi ketunda, ck!" keluhnya. Kentara sekali memang dirinya tidak ikhlas sama sekali memanggil anak itu turun.
Mavi cuman melepas kekehan kecilnya. Menyempatkan diri untuk pamit pada panggilan video yang terpampang pada layar laptop sebelum mereka berdua akhirnya berjalan turun menuju dapur.
"Sudah ditembak belum?" tanya Henan.
"Kepo lo. Nanti lo mengomel gak jelas lagi, berisik," jawab Mavi.
"Gue cuman tanya jawabnya malah sewot. Lagian gue mengomel itu buat kebaikan lo juga. Gue kasih arahan biar lo gampang jalinnya. Malah bilang gue berisik," ucap Henan. "Gue doakan lo ditolak baru tahu rasa,"
"Jahat lo," Mavi menyenggol lengan Henan dengan bahunya. Henan hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Berjalan lebih dulu mendahului anak lelaki itu karena dirinya benar-benar sudah lapar lebih dulu. Lupakan untuk menonton kartunnya sejenak, mengisi perut lebih penting.
🎗
Henan masuk ke kamarnya dengan wajah masam, bahkan menutup pintu dengan sedikit bantingan. Bahkan saat dirinya duduk di kursi belajar yang menampilkan laptop dengan layar hitam pun mendarat dengan sangat kasarnya. Sampai membuat kursinya sedikit berdecit karena gesekan yang terjadi.
"Bilang saja gak ikhlas kasih gue makan, dih! Pakai alibi yang muda cuci piring segala," kesalnya.
Memang sehabis makan tadi, Henan yang sudah selesai lantas hendak berbalik menuju kamarnya untuk menonton. Namun, tiba-tiba Delio menarik tangannya untuk duduk kembali. Dari raut wajah yang lelaki itu tampilkan Henan sudah menebak kalau sesuatu yang tidak enak akan terjadi. Dan benar saja, kalimat yang paling dibencinya meluncur mulus dengan seenak jidat.
"Cuci piring, Hen."
Tiga kata tapi sukses membuat Henan naik darah. Bahkan saat dirinya hendak membuka mulut untuk memberi penolakan malah dicegah langsung sama yang masak, Thilo. Meminta tolong sama Mavi namun pria itu malah memberinya wajah menahan tawa.
"Lain kali gue yang masak sendiri, gak gue panggil lo semua," kesalnya lagi. Masih kentara kalau dirinya merasa dendam.
Pintu kamar indekosnya terbuka. Membiarkan seorang lelaki layaknya seumuran masuk dengan sangat santai. Duduk di tepi kasur yang berdampingan dengan posisi Henan tengah duduk di kursi belajar.
Dari ujung matanya, Henan bisa lihat kalau Mavi dengan kacamata bulatnya tengah duduk di sana sembari menahan tawa. Ketika dirinya menoleh dengan wajah masam, baru saat itu Mavi melepas tawanya yang terdengar renyah memenuhi kamar indekosnya.
"Berisik! Kalau mau ketawa di bawah pohon pisang saja sana. Tandingan sama Mba kunti," sahutnya. Mavi berhenti tertawa dengan pelan dan berakhir dengan gelengan kepala.
"Ngapain di sini? Kalau cuman mau ketawa mending keluar. Gue mau nonton," titahnya. Beralih untuk menyalakan laptopnya kembali.
Mavi berdeham sejenak. Menaikkan kedua kakinya dan duduk bersila di atas kasur Henan. Henan kembali menoleh hanya untuk menatap kegiatan yang anak itu lakukan. Bahkan membuatnya mengerut alis karena Mavi sedari tadi hanya sibuk menatapnya dalam diam.
"Lo kenapa, sih? Kesambet atau apa? Datang ke kamar orang cuman buat melamun gak jelas," ujar Henan.
"Hen."
"Apa?"
Mavi kembali diam, membuat Henan mendesah berat. Kalau Henan tidak berpikir Mavi lebih tua darinya, sudah dia tendang wajahnya sedari tadi.
"Kenapa?" tanyanya ulang.
"Abey baik, kan?"
Henan menatap Mavi lama setelah mendengar pertanyaan Mavi. Dia benar-benar berpikir kalau lelaki itu sepertinya sedang bermasalah pada jaringan otak.
"Abey cocok kan, kalau sama gue?" tanya Mavi sekali lagi.
"Lo minta jawaban apa dari gue?"
Mavi menggaruk lehernya layaknya seekor kucing. Dirinya sendiri saja bingung mengapa mengajukan pertanyaan yang sangat mengherankan ini.
"Gue ragu saja, sih. Apa kata orang kalau gue jadian sama Abey."
"Idih! Nembak saja belum sok yakin banget kalau jadian," cibir Henan.
"Lo mah, bikin gue pesimis."
Henan berdecak singkat. Kalau begini modelnya, kegiatan nontonnya pasti bakal tertunda lagi. Cuman perkara melayani rasa gundah Mavi persoalan tembak-menembak.
"Lo suka kan, sama Mba Abey?" Mavi mengangguk. "Cinta, kan?" Dan mengangguk lagi. "Terus kenapa harus pikirkan masalah ucapan orang lain? Kan, situ yang menjalin hubungan," ucap Henan.
"Sebenarnya lo ragu di mana untuk tembak Mba Abey? Gak ada niatan buat meng-ghosting kan, lo?"
"Ya, kali. Lo kira gue cowok apaan?" elak Mavi mantap.
"Nah, itu. Lo sudah yakin suka, cinta, sayang, apalah-apalah. Buat apa ragu lagi untuk tembak? Tunggu keduluan orang lainkah?"
Mavi menggigit kuku jarinya. "Tembak saja, ya?"
Henan meramas rambutnya. "Aduh, anjir! Kok, gue pengen buang lo dari jendela! Perkara nembak saja lo tunda-tunda begini ya, Tuhan," dramatisnya. "Kalau gak mau, yaudah. Sini gue yang ganti peran lo."
Mavi mememelotot seketika. "Sembarangan! Gak boleh!"
"Yaudah, tembak buru sialan! Bosan gue dengar lo tanya beginian mulu. Untung ingat umur gue, begini gue sepak juga kepala lo, Vi."
Henan sudah stres dibuat dengan kelakuan Mavi. Tidak tahu kenapa tapi anak itu seperti membawanya juga untuk ikut pusing dengan masalah percintaannya.
"Kalau lo masih lama buat ambil keputusan kayak begini, makin besar harapan lo kasih ke dia buat terus berharap sama lo," sahut Henan. Sudah menyerah untuk menatap wajah tolol Mavi. Kutu buku yang malah kelihatan bodoh perkara cinta.
"Abey maksudnya?"
"Dua-dua."
"Dua?"
Henan merutuki dirinya seketika. Saking lelahnya memikirkan masalah Mavi sampai akhirnya keceplosan.
"Kok, dua, Hen? Siapa satu?" Mavi penasaran.
Henan mendesah berat. Sudah terlanjur mau dibagaimanakan lagi. Terpaksa dirinya harus membocorkan semuanya di sini.
"Gue gak mau kasih tahu siapa dengan jelas. Lo cari sendiri satunya siapa. Yang gue tahu, kayaknya dia sudah lama suka sama lo bahkan sebelum lo suka sama Mba Abey. Entahlah, cuman firasat gue," jelasnya.
"Ada yang suka gue?"
Henan menaikkan satu alisnya. "Lo gak tahu?"
Mavi menggeleng dengan wajah polosnya. Henan meraup wajahnya dengan kasar. Percuma muka Mavi tampan bak anak raja kalau soal kepekaan saja dia lambat.
"Haduh, Mavi. Sudahlah, capek gue. Lo pikir saja sendiri siapa yang gue maksud. Muka doang ganteng, tapi gak peka," ucap Henan. Membiarkan Mavi diam dalam pikirannya untuk mencari tahu siapa yang dimaksud oleh Henan.