Jam kelas pagi untuk berangkat kampus hari ini,
Gina bersyukur sebab bisa menggunakan motor scoopy-nya. Setelah kendaraan roda dua itu bermalam dua hari di bengkel, akhirnya sekarang bisa digunakan lagi. Pengeluarannya lumayan boros saat motor itu dalam proses
pembetulan. Ke kampus naik taksi, pulang juga naik taksi, belum uang makan
siang. Benar-benar banyak
pengeluaran.
Kelas pagi yang dimulai
jam 9 Gina putuskan untuk sarapan pagi di
warung bubur ayam langganannya. Hampir tiap pagi dirinya datang di sana, entah
untuk makan di tempat atau sekadar bungkus bawa pulang.
"Mang, bubur ayamnya satu, ya. Kayak
biasa," pesannya. Mendudukkan diri di bangku kayu panjang dengan tenang.
"Siap, Neng."
Sambil menunggu buburnya siap, Gina memilih untuk
memainkan ponselnya. Membuka sosial media untuk melihat ketenaran yang
berlangsung beberapa hari ini. Cukup membuatnya bergumam tidak jelas kala
melihat sesuatu yang menurutnya patut untuk diberi komentar.
"Mang, buburnya satu, ya."
Gina tidak menoleh, terlalu masa bodoh untuk
melihat siapa yang datang dan duduk di sampingnya. Tampilan sosial media lebih
menggugah dibandingkan pelanggan baru yang datang.
"Ini, Neng, buburnya." Gina mendongak
dan mendapatkan satu mangkok bubur hangat di depannya.
"Terima kasih, Mang."
Tangannnya kemudian
sibuk memberi racikan sesuai selera
dan mulai menyantap.
Bersamaan dengan semangkok bubur milik lelaki di
samping. Ikut sibuk meracik bumbu yang berlangsung sebentar sebelum disantap
nikmat.
"Wah, tim bubur diaduk, ya?"
Gina menoleh setelah menyuap satu sendok ke mulutnya.
"Iya. Memang kenapa? Lo bukan tim bubur gak diaduk?" tanyanya.
"Oh, gak dong! Bubur kalau gak diaduk itu gak
ada rasanya," jawab lelaki itu. Gina mengangguk setuju
dan kembali melanjutkan makannya. "Tapi gue kaget liat lo makan bubur tapi
campurnya pakai gula," sahutnya kembali.
Gina berhenti menyuapi dirinya dan lantas menoleh
kembali. Sambil kedua alisnya yang menyerit heran.
"Memangnya kenapa?" tanyanya terdengar sedikit
sungut.
"Ya, aneh. Orang makan bubur itu campurnya
garam, bukan gula," pukasnya.
"Ya, serah gue dong. Racik, racikan gue,
dih!"
"Tetap aneh, lah! Gue baru pertama kali liat
orang makan bubur mintanya gula," balasnya. "Orang sakit saja kalau
makan bubur campurnya garam, bukan gula."
Gina berdecih. Cukup kesal dengan manusia di
sampingnya ini. Datang duduk makan bubur, sok diajak ngobrol, malah sebut dia aneh. Cuman perkara buburnya dia yang dikasih gula. Memang karena Gina
biasanya makan bubur dengan
takaran bumbu manis itu.
"Sewot lo! Kenal juga gak, malah kasih
ceramah," cibir Gina.
"Siapa yang ceramah? Gue cuman bilang lo
aneh."
"Bacot ya, lo! Gak usah urusin gue!"
"Yang urus lo juga siapa, dih? Ge-eran."
Rasanya Gina lagi naik pitam. Dengan cepat
menyelesaikan makan buburnya untuk minggat dari sana. Kacau sekali orang ini,
mengomentari dirinya soal cara meracik bubur.
"Ini, Mang. Makasih, ya," ucap Gina
setelah memberi selembar uang sepuluh ribu pada sang penjual. Menatap sinis
pada lelaki itu sejenak
yang cuman dibalas muka sok tak
berdosanya. Mana
sendok bubur belum keluar dari mulutnya.
Merotasikan mata kemudian Gina berjalan kemotornya. Berlalu dari sana menuju kampus lebih awal. Dari para di
sana diajak ribut sama orang yang tak dikenal. Padahal maunya
duduk enteng sambil sarapan
pelan-pelan malah kacau. Sedangkan
lelaki yang masih setia menghabiskan buburnya itu cuman menatap santai Gina yang berlalu pergi. Mengedikkan bahu tidak tahu dan kembali makan.
"Mang, dia sering makan di sini, ya?"
tanyanya.
"Oh, iya, Mas. Sering banget sarapan pagi di
sini," jawab tukang buburnya.
"Berarti memang sering minta gula kalau
makan?"
Tukang buburnya mengangguk.
"Alasan Saya sering bawa gula cuman karena dia, Mas. Awalnya memang kaget
pas dia minta gula padahal lagi makan bubur. Tapi lama kelamaan sudah
terbiasa," jelasnya.
Lelaki itu duduk tegak setelah meneguk segelas air. "Benarkan, Mang? Aneh. Saya juga baru lihat orang makan bubur campur
gula," ujarnya dengan nada penuh setuju.
🎗
Gina sampai di kampus selepas memarkir motornya lantas bergegas masuk ke fakultasnya. Sambil
misuh-misuh tidak jelas sebab perkara di warung bubur tadi. Masih kesal dia
sebenarnya. Apalagi sampai dirinya dibilang aneh karena makan bubur pakai gula.
"Apa salahnya coba? Kan, selera orang
beda-beda? Gak haruskan makan bubur pakai garam?" gerutunya.
Sekarang Gina bingung mau ke mana. Jam tangannya
masih menunjukkan jarum di angka 8. Masih ada satu jam lagi sebelum masuk kelas. Tapi dia benar-benar kesal sekarang,
keawalan ke kampus tambah bikin dia jadi bosan.
Terpaksa, Gina melarikan diri ke kantin fakultas.
Meskipun habis makan bubur pagi tadi, tapi karena kesal bubur yang masuk
diperutnya jadi tidak berasa, alias dirinya kembali lapar. Mengeluarkan uang sepuluh ribu lagi untuk
membeli satu kotak susu dan sebungkus roti coklat. Lumayan dan bikin dia
kenyang.
"Oh, iya. Laporan analisis gue masih mau
direvisi." Laptop kecil yang lantas dia
keluarkan dari dalam tas jinjing. Ikut dengan lembaran kertas yang sudah
dijepit menjadi satu. Mengeluarkan beberapa stabilo digunakan
untuk mengoreksi nanti.
Adapun di parkir motor kampus. Setelah singgah
sarapan di warung bubur ayam, Henan lantas beranjak ke kampus. Masih dengan
modelan kenyang selepas
sarapan, meskipun masih
terbayang-bayang perihal gadis yang ditemuinya di sana.
"Ckckck. Jaman sekarang, orang pada aneh-aneh
semua," ucapnya.
“Mana gue juga orang.”
Baru setelah dirinya menggantung helm di antara
jok dan sadel motor, tiba-tiba berhenti kala mendapat motor scoopy tak asing yang berjarak dua motor dari tempat dia parkir.
"Lah? Ini bukannya motor anak tadi?"
Kakinya berjalan cuman untuk mendekatkan.
"Benar, ini. Anak sini rupanya? Oh, ya?"
Henan masih sibuk dengan perasaan terkejutnya. Tanpa menyadari Jeon sudah muncul
berdiri di belakangnya diam-diam. Sambil pasang muka herannya melihat kekakuan Henan sibuk menatap motor orang. Mana sambil tersenyum miring.
"Woi! Mau nyuri motor lo?" sahut Jeon.
Henan seketika menoleh lepas
dikejutkan oleh Jeon. "Sialan ini anak. Kaget gue,"
ucapnya sambil mengelus dada.
Jeon terkekeh. "Ngapain lihat motor orang kayak gitu? Mau nyolong?" selidiknya.
"Sembarangan! Gue cuman memastikan ini motor
yang gue lihat tadi," jawab Henan.
Jeon ikutan mendekat kemotor itu. "Memangnya kenapa sama ini motor? Lo kenal pemiliknya?"
"Gak kenal, cuman ketemu doang tadi pas makan
bubur." Henan merangkul Jeon yang sedikit lebih tinggi darinya. "Je, lo kalau makan bubur pakai gula apa garam?"
Yang ditanya menyerit lagi.
"Pertanyaan apa
itu? Yang jelas garam, lah!"
jawabnya. "Memang lo makan bubur kasih gula?"
Pukulan manis mendarat di pundak
Jeon cukup membuatnya meringis. "Benar, kan? Orang makan bubur pakai
garam," sahutnya.
"Ya, memang pakai garam. Siapa yang makan
bubur pakai gula? Ada-ada saja."
"Ada, Je!" seru Henan. Berbalik cuman
buat tunjuk motor scoopy di belakangnya. "Pemiliknya ini
motor makan bubur pakai gula," ucapnya.
Jeon diam di tempat. Berselang beberapa detik, telapak tangannya melayang buat menyentuh jidat Henan. "Gak panas," gumam
Jeon. "Lo semalam tidur jam berapa? Ada
rasa pusing? Mual?"
"Ngapain, sih! Gue gak sakit ya, sialan. Tapi
memang benar yang gue bilang itu!" seru Henan.
Jeon cuman bisa geleng-geleng kepala. Henan memang
tiap hari rada tidak jelas. "Sudah, sudah. Ayo masuk, gue belikan minum
biar lo waras."
Badannya Henan didorong dari belakang buat jalan.
"Gue waras ya, Je! Weh! Dengar gue ngomong dulu! Jeon!" Tapi Jeon tidak peduli dengan teriakan anak itu. Tetap mendorongnya sampai
mereka masuk gedung kampus.
🎗
Kelas kedua akhirnya selesai. Gina yang untung
saja datang cepat dan menyelesaikan revisinya berakhir baik. Lebih cepat diterima sama dosennya.
"Gin, ke kantin? Atau kita ke kafe
sebelah?" ajak Sela, teman satu fakultas dan satu indekos putri dengannya.
"Bentar, gue cek dompet dulu," tahan
Gina.
"Ya, ampun. Sudah, sih. Nanti gue yang bayar.
Ayo!" Tapi Sela berakhir melingkarkan lengannya pada
lengan gadis itu. Mengajaknya keluar kelas dan berjalan menuju kafe
sebelah kampus. Yang memang sudah menjadi langganan anak mahasiswa Universitas Bangsa Nugraha.
"Lo kenapa? Dari pagi gue dapat kecut mulu
mukanya," tanya Sela.
Gina mendesah.
"Pusing gue, Sel. Mana masih rada kesal soal pagi tadi."
Sela menyerit. "Kenapa?"
"Tahu, tuh. Gue makan bubur pakai gula
dijadikan masalah sama itu orang."
"Siapa? Lo kenal?" Tapi Gina hanya memberinya gelengan kepala singkat. Sela lantas mengulum
bibirnya memilih diam. "Eh, bentar. Ada telepon."
Keduanya lantas berhenti di koridor
keluar gedung. Hampir dapat dua meter lagi mereka akan keluar namun terhenti
sebab ponsel Sela yang tiba-tiba mendapat panggilan. Gina hanya bisa mengunggunya sembari menatap ke arah keluar.
Matanya tiba-tiba menyipit dengan alis yang
berkerut. Gina memicingkan matanya untuk memperjelas apa yang dilihat di
depan. Mendapati Sela yang masih sibuk menelepon, Gina memutuskan untuk maju perlahan.
Seketika matanya membulat. Di depan sana, tiga anak lelaki sedang jalan sambil tertawa bersama. Tapi di antaranya Gina kenal
dengan wajahnya. Membuat dirinya menggigit bibir sambil berkacak pinggang
dengan raut wajah yang kesal.
"Anak sini rupanya," desisnya. Dengan
cepat dirinya berjalan untuk menghampiri lelaki itu. Apalagi setelah mendapati mereka
tengah menatap motor scoopy-nya.
"Oke, deh. Iya, aku mau ke kafe sebelah
kampus sama Gina. Iya, dah." Sela mengakhiri panggilan. "Ayo GiㅡLoh? Gina?" Dirinya
malah celingak-celinguk mencari keberadaan temannya itu. Tepat mendapati Gina tengah berjalan cepat meninggalkannya, dirinya lantas berteriak. "Eh! Gin! Gina!! Tunggu, woi!" Namun, tidak dibalas sama sekali. Berakhir Sela yang mengejarnya
dengan buru-buru.
"Woi!!" ketiganya menoleh. Gina sudah
berjalan mendekat. Menghalang tubuh Henan yang menurutnya terlalu dekat sama
motornya. Membuat anak itu sedikit mundur karena gerakannya
yang tiba-tiba.
"Tuh, kan? Benar gue bilang. Motornya punya
lo," sahut Henan.
"Terus kenapa?" sungut Gina.
Anak kembar itu cuman memilih diam dan menonton.
Pasalnya, mereka berdua tidak kenal sama sekali dengan gadis yang tengah beradu
celoteh bersama Henan.
"Dih? Sungut banget nampaknya. Dendam,
ya?"
Gina mendelik.
"Ngapain nunjuk-nunjuk motor gue? Mau nyolong lo?" curiganya.
"Sembarangan! Cowok ganteng begini dibilang
mau nyolong motor. Yang ada kalau iya, gue juga ogah nyolong motor lo," pukas Henan.
"Ganteng kepala lo kotak! Muka pas-pasan saja
belagu, dih!"
"Wah, parah nih, cewek. Belum kenal gue ya,
lo? Pantas saja, sih."
"Ngapain juga gue kenal lo? Gak guna."
Henan berkacak pinggang. Tamperamen gadis di depannya
ini cukup mengundang dirinya kesal. "Lo mending diam, deh. Makan bubur
pakai gula saja belagu lo," sahutnya.
Gigi Gina berdecih lagi menandakan dirinya kesal. Sementara Nanda dan Jeon saling tukar pandang
pas dengar ucapan Henan.
"Memang kenapa? Suka-suka gue lah, makan
bubur pakai gula. Masalah buat lo?"
"Gak sih, cuman jelas saja. Lo kan, aneh jadi
makan juga modelannya aneh," ejek Henan.
Gina sudah naik pitam.
"Lo ...," desisnya.
Demi anak-anak kampus, Gina sudah pasrah dan
memilih meluapkan emosinya. Daripada dipendam yang malah buat dia jadi makan
hati, dengan segenap jiwa saat ini dia keluarkan. Kedua tangan Gina lantas
melayang untuk menarik rambut Henan. Henan seketika kaget berusaha untuk melepaskan jambakan tiba-tiba yang dia dapat.
"Woi! Woi! Sakit! Akh!"
"Bodo! Rasain lo! Rese banget lo sama
gue!"
"Aakkh!! Weeh! Tolongin!"
Nanda sama Jeon cuman cekikikan di tempat meskipun
awalnya rada kaget. Sementara Gina yang masih sibuk menarik-narik rambut Henan,
beberapa orang yang lewat cukup mengundang perhatian. Menatap mereka sembari
berbisik-bisik bahkan sampai ada yang tertawa singkat.
"Eh, Gin! Lo apakan
anak orang?! Lepas." Beruntung Sela datang di waktu
yang tepat.
Gina melepas jambakannya pada rambut Henan dengan
terpaksa. Masih dengan tatapan kesalnya meski anak itu malah linglung merasa pening karena tarikan kuat pada rambutnya.
"Gue gak botak, kan?" tanya Henan pada si kembar yang mendapat gelengan.
Henan menatap sinis Gina. Mereka berdua saling adu
pandangan tajam membuat ketiganya heran.
"Apa lo?!"
"Lo yang apa?! Gue jambak lagi, mampus!"
Henan memegang kepalanya. Sedikit mendesis karena
merasa beberapa rambutnya terlepas dari kulit kepala. Perih bercampur sakit.
"Lo ngapain? Malah jambak rambut orang
sembarangan," tegur Sela.
"Ini, nih!
Orang yang mempermasalahkan hal sepele perkara gue makan bubur. Mana
nunjuk-nunjuk motor gue lagi," jawab Gina masih kesalnya.
"Ya kan, memang aneh! Cuman lo
kayaknya yang makan bubur pakai gula di dunia," sahut Henan.
"Cuman masalah bubur kenapa dendam, sih?
Sudah, lah," ucap Sela. Gina hanya mendengkus tapi mukanya masih kusut.
"Tuh, teman lo dengar. Cuman perkara bubur
saja lo dendam sama gue," sambung Henan.
Jeon mengusap wajahnya kasar sedangkan Nanda mulai
berdecak kesal. Henan kembali berulah dan berurusan ribut sama anak
orang.
Gina kembali terpancing emosi. Kakinya sudah maju untuk menarik rambut Henan lagi tapi keburu ditahan sama
Sela dan Henan sembunyi di belakang Nanda.
"Anak setan! Sini lo!" kesal Gina.
"Sialan, gue dibilang anak setan," protes Henan.
"Sudah, deh! Stop!" sahut
Nanda. Dia sudah lelah dengan
debat sepele keduanya. "Lo
kenapa sih, mancing-mancing emosi orang? Yaudah, kalau
dia makan bubur pakai gula biarin. Kok lo yang repot?" ucap Nanda. Henan
cuman diam sambil mengerucut bibir.
Nanda beralih ke Gina dan Sela. "Maaf, ya.
Ini anak setan memang modelannya kayak begini. Kurang jelas." Henan mendengar itu cuman bisa mememelotot tidak terima. Mau nyahut
tapi sudah mendapat tatapan menusuk dari Nanda.
Gina kembali mendesah berat. "Yaudah, gue
juga minta maaf. Kayaknya gue jambak lo terlalu keras,"
Henan maju seketika. "Oh, iya, jelas! Ini kepala gue rasanya botak, nih! Teㅡ" Mulutnya
lantas ditutup sama Jeon. Sambil pasang muka senyum manis tak peduli dengan Henan yang meronta minta dilepas.
"Maaf lagi, ya. Jangan di masukkan
dalam hati. Gue juga rada kesal sama ini anak," kata
Nanda lagi.
"Iya, gak apa."
Sela akhirnya senang temannya sudah memaafkan.
Meskipun dia juga masih heran dengan kejadian ini. "Utang cerita lo sama
gue," bisiknya dan mendapat anggukan dari Gina.
Tangan Jeon berhasil dilepas sama Henan, meskipun
mukanya rada kusut. Dia balik natap Gina yang mukanya sudah santai. Melepas dehaman ria hingga
mengundang perhatian. Gina bersiap lagi kalau ini anak mulai kumat.
"Gue juga sorry, deh," sahutnya. "Ini karena gue
cowok, ya. Ya, kali gue gak minta maaf," lanjut Henan. Pakai muka soknya
lagi.
Gina membuang matanya malas.
"Serah lo, deh." Dia sudah terlalu malas meladeni Henan kembali.
Pusing dia lama-lama, perlu sampai rontok-rontok rambutnya.
"Kalau begitu kita permisi, ya," pamit Sela. Kembali menarik tangan Gina untuk berlalu
duluan dari sana.
"Oh, oke. Hati-hati."
Nanda memberinya
senyuman dan Jeon hanya bisa
mengangguk singkat. Henan cuman memandang mereka hingga hilang dari
pandangan.
"Lo kenapa, sih? Perkara bubur doang,"
ucap Nanda setelah memberi pukulan sedap di pundak Henan membuatnya sedikit meringis.
"Parah sih, meskipun aneh juga. Baru tahu gue
ada orang makan bubur pakai gula," celetuk Jeon. Mendapat raut setuju dari Henan.
"Lo jangan ikutan mulai ya, Je. Mau gue gorok?" Jeon hanya bisa
menunjukkan dua jarinya sembari tersenyum lebar. Kebiasaan sekali dua anak ini,
seperti Nanda yang jadi pengasuh jadi-jadian. Pusing dia setiap hari.