Apa yang akan kau lakukan bila suatu hari kau menemukan bahwa seluruh keberadaanmu berasal dari kebohongan belaka? Bahwa ayahmu ternyata bukan ayahmu, dan kau bahkan tidak yakin kau akan dapat mempercayai ibumu lagi.
Aku sebenarnya hampir yakin Grandma yang salah mengingat golongan darah mama. Tapi semakin aku memikirkannya, aku jadi tidak yakin. Tapi lalu kupikir aku toh tinggal bertanya pada mama dan dia pasti akan membuat segalanya jelas. Aku sudah hampir mengetuk pintu kamarnya ketika aku mendengarnya. Suara Grandma. Suara Mama. Aku mendengar semuanya. Rupanya aku naif karena berpikir mama dapat menjelaskan segalanya padahal dialah yang berada di balik kebohongan itu.
Seumur hidupku aku sudah dibesarkan sebagai putri kesayangan papa. Setiap kali mama tidak memenuhi permintaanku, yang harus kulakukan hanyalah meminta pada papa karena ia tidak pernah, sekalipun juga, mengatakan tidak padaku. Liam saja tahu bahwa papa pilih kasih. Dan tadinya kupikir itu pastinya karena ia menyayangiku lebih dari apapun di dunia. Tapi sekarang karena aku tahu bahwa aku bukan anaknya, aku jadi bingung kenapa. Mungkin alih-alih menyayangiku, ia hanya mengasihaniku?
“Apakah itu sebabnya?” bisikku. Tapi batu nisan di hadapanku tentu saja hanya diam.
“Aku tahu kau pasti di sini,” kata sebuah suara. Tanpa menoleh aku langsung tahu itu siapa. Kakakku. Bukan. Kakak seibuku. “Kenapa kau kabur seperti itu? Dan kenapa ponselmu tidak aktif? Mama dan Grandma sampai kuatir sekali,” tambahnya. Aku hanya mengangkat bahu. Aku tidak mau memberitahunya. Aku tidak tahu caranya. “Coba kutebak. Kau sebal karena kau tidak menemukan baju yang pas di lemarimu untuk kau pakai pergi makan siang!” katanya. Aku memutar bola mataku. “Oh, aku tahu! Kau menanti dan terus menanti tapi Hyun Bin tidak juga menelponmu!” katanya. Hyun Bin adalah aktor drama korea terkenal.
“Tidak!” kataku. “Dan lagi Hyun Bin itu sudah terlalu tua untukku dan dia sudah menikah,” kataku.
“Oh. Coba kutebak lagi. Kau berada di luar kamar mama dan kau tanpa sengaja mendengar mama berbicara pada grandma dan kau jadi tahu bahwa.. kau bukan anak papa,” katanya. Aku hampir menjatuhkan ponselku.
“Ba.. bagaimana kau tahu?” tanyaku. Ia tidak langsung menjawab. Ia hanya memandangku dengan kening berkerut seolah sedang memilah-milah kata yang akan digunakannya. Kata yang akan paling sedikit menyakitiku.
“Sebenarnya.. aku tahu dari papa,” katanya.
“Bagaimana? Kapan?” tanyaku. Lalu ia menceritakan tentang surat dari Papa yang ditunjukkan Dayton kepadanya. “Dan kau tidak memberitahuku?” tanyaku sedih. Ia merangkulku.
“Jika kau jadi aku, kau akan bagaimana?” tanyanya. “Maksudku, aku tidak bisa langsung mengirimimu email dan bilang : Hai, Dik, apakah kau tahu bahwa papa kita berbeda?” katanya. Mendengar itu, pertahanku luruh dan aku pun menangis sekeras yang kubisa.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page