Aku menyapukan ujung kuasku pada kertas. Tidak terlalu keras, tidak terlalu lunak. Coretan merah yang sama sekali tidak terlihat seperti kelopak bunga muncul. Aku menggeser kuasku dan mencoba lagi. Yang ke dua ini lebih tidak mirip kelopak bunga. Aku mendesah. Saat terapisku mengusulkan aku mencoba melukis dengan cat air, aku sudah pesimis. Tapi si guru lukis cat air itu membuatnya terlihat begitu mudah di youtube. Jadi aku lalu membeli cat air isi duabelas warna dan beberapa kuas. Aku menyapukan kuasku pada palet berisi cat. Mungkin kelopak bungaku akan jadi lebih bagus bila ada lebih banyak cat pada kuasku. Tidak, bungaku tetap tidak terlihat seperti bunga. Mungkin aku sudah terlalu tua untuk hal ini. Aku jadi frustasi. Padahal katanya melukis dengan cat air dapat membuatmu lebih tenang. Aku menekuk wajahku dan meletakkan kuasku. Aku memandangi lukisanku. Bungaku terlihat seperti bunga rontok yang sudah lama mati. Aku mendesah.
Akhir-akhir ini aku sering bertanya-tanya kenapa aku terus-terusan kehilangan orang-orang di dekatku. Ayahku meninggal sewaktu aku masih di sekolah menengah atas. Ibuku meninggal sewaktu aku kuliah. Anak lelakiku satu-satunya meninggal di usia ke 28 dan menantu lelakiku meninggal di usia ke 46. Apakah itu karena aku? Apakah aku membawa ketidak beruntungan pada orang-orang di dekatku? Berapa banyak kematian muda lagi yang harus kusaksikan? Mungkin sebaiknya aku yang mati muda supaya tidak harus mengalami ini semua.
“Bu, ada seseorang di luar yang minta bertemu,” kata Min.
“Siapa?” tanyaku.
“Dia... dia teman Nonik yang duluuu sekali pernah datang,” katanya. Itu tidak menjelaskan banyak. Anna punya banyak teman dari sekolah, dari kegiatan lain, dari pekerjaan. Dan Min tidak bilang ‘duluuu sekali’ itu selama apa.
“Kau tidak tanyakan namanya?” tanyaku.
“Dia tidak bisa bahasa Indonesia,” jelas Min.
“Oh,” kataku seraya sadar siapa yang datang ini. “Suruh masuk,” kataku. Min mengangguk dan berjalan keluar ruangan. Aku berdiri. Saat aku berjalan ke sofa, aku melihatnya. Dayton, lelaki yang pernah hampir menjadi menantuku. Dan aku tidak bisa tidak bertanya-tanya, jika Anna menikah dengannya dan bukan Justin, berarti Anna belum menjadi seorang janda, bukan? Aku menggeleng untuk menghilangkan pikiran itu.
“Selamat siang, Bu Kusumahadi. Semoga Ibu masih ingat saya,” katanya. Dengan cepat aku membuat perhitungan di dalam hati. Sudah lebih dari dua puluh tahun aku tidak melihat pria ini. Tapi tentu aku ingat dia.
“Tentu aku ingat. Silahkan duduk,” kataku. Ia duduk. Aku juga duduk. Dan untuk beberapa saat, kami berdua hanya diam. Aku ingin bertanya kenapa dia datang tapi takut terdengar tidak bersahabat. Jadi aku hanya menunggu. Bukankah dia yang sudah tiba-tiba datang ke rumahku jadi dia yang harus menjelaskannya.
“Bu Kusumahadi, aku perlu bertemu dengan putrimu,” katanya seolah ia sedang mengumumkan pada dunia bahwa faktanya dia memang memerlukan udara untuk bernapas. “Tapi aku tidak tahu di mana dia tinggal sekarang. Rumahmu adalah satu-satunya alamat yang kumiliki,” lanjutnya. Tentu saja. Rupanya Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah ia menikah. Memang sepantasnya seperti itu.
“Apakah.. apakah kau sudah dengar tentang ...” aku mulai bertanya tapi tidak mampu menyelesaikan kalimat itu.
“Ya. Turut berduka atas meninggalnya Justin,” jawabnya. Aku menggangguk. “Bu Kusumahadi, bolehkah aku meminta alamat dan nomor telpon Anna yang sekarang?” tanyanya. Dan aku tahu ini bukan hanya tentang alamat dan nomor telpon. Ia sedang meminta ijinku untuk menghubungi Anna. Dan dari caranya memandangku, aku tahu ia tidak akan meninggalkan rumahku sampai ia mendapatkannya. Tapi kali terakhir ia bersama-sama Anna, ia sedang akan memboyong Anna begitu jauh dariku. Dan sekarang anakku hanya tinggal Anna seorang. Jadi aku tidak terburu-buru memberikan apa yang dimintanya. Melihat diriku tidak bergerak sama sekali, ia menggeser posisi duduknya dan mengeluarkan dompetnya. Entah apa yang hendak dilakukannya? Tentunya dia tidak sedang akan menawariku uang demi mendapatkan alamat Anna, bukan? Tapi alih-alih uang, ia mengeluarkan sebuah kartu nama. “Bu Kusumahadi, aku hanya ingin memberitahu bahwa aku tidak bermaksud membujuk Anna untuk pindah ke Amerika. Aku sudah mendapatkan perkerjaan sebagai guru di sebuah sekolah. Ini kartu nama kepala sekolahnya. Kau dapat menelpon untuk memverifikasi statusku sebagai guru di sana,” katanya sambil mengulurkan kartu itu. Aku sama sekali tidak menyangka itu. Aku memandang kartu itu seolah itu benda asing yang sangat ajaib. Hanya seorang pria yang benar-benar mencintai seorang wanita yang rela pindah ke belahan dunia yang lain untuk wanita itu. Dan aku pun sadar tidak ada lagi alasan untuk tidak memberikan alamat Anna. Jadi aku pun memberikannya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page