Sudah menjelang sore saat aku mendarat di Singapura. Aku memang tahu di mana Anna tinggal tadi malam tapi aku tidak tahu apakah dia masih ada di sana sekarang. Dan problem tambahannya adalah, kau tidak bisa menanyakan nomor kamarnya pada resepsionis hotel. Demi perlindungan tamunya, semua hotel tidak boleh memberitahukan nomor kamar tamunya. Tapi aku beruntung karena Anna tinggal di Fairmont dan bukan hotel satunya di lokasi yang sama, Swisotel Stamford. Swisotel mengoperasikan 73 lantai dan Fairmont hanya mengoperasikan 26 lantai. Ya, 26 lantai itu banyak tapi lebih sedikit dari 73.
Ada beberapa cara untuk menemukan tamu di sebuah hotel. Kau dapat mengetuk setiap pintu kamar, misalnya. Tapi bila kau melakukannya di siang hari, saat tidak ada yang menjawab, kau tidak tahu pasti apakah memang ruangan itu sedang tidak disewa tamu atau tamunya hanya sedang keluar. Dan bila kau melakukannya di tengah malam, dengan harapan semua tamu ada di tempat, pastinya kau akan dilaporkan ke penjaga. Jadi cara itu mungkin adalah opsi terakhir. Cara yang lain adalah dengan duduk di lobby hotel, di dekat pintu atau lift, untuk mengamati semua tamu yang datang dan pergi. Tapi, seperti yang dikatakan hukum Murphy[1], kemungkinannya besar untuk orang tersebut datang saat kau sedang ke toilet. Cara ketiga adalah dengan berada di area makan pagi selama seluruh jam makan pagi. Aku pernah baca bahwa 68% tamu hotel makan pagi di hotel. Jadi jika aku menunggu di sana, kemungkinan aku bertemu Anna adalah 68%. Tapi itu bila ia memang masih ada di sini esok pagi dan bila ia memutuskan untuk makan pagi. Tapi dari sekarang sampai besok pagi, tentu saja aku tidak akan hanya berpangku tangan.
Pertama, tentu saja aku check in.
“Ini kuncinya, Sir,” kata si resepsionis.
“Terima kasih. Ehm... bisakah aku minta tolong sesuatu?” tanyaku sambil meletakkan sebuah buket bunga yang besar di atas meja resepsionis. “Jadi begini. Tunanganku sedang tinggal di sini juga dan dia tidak tahu bahwa aku datang untuk memberinya kejutan. Dapatkah kau mengantarkan ini ke kamarnya?” tanyaku.
“Bisa minta nama tunangan anda, Sir?”
“Anna. Nama belakangnya Kusumahadi dengan huruf K,” kataku. Si resepsionis mengetik komputernya, lalu mengangguk.
“Tentu, Sir, kami dengan senang akan mengantarkannya,” katanya. Berhasil! Paling tidak sekarang aku tahu bahwa dia belum check out dari hotel ini.
“Terima kasih,” kataku. Dari sana aku tidak langsung naik ke kamarku. Aku berdiri di dekat meja resepsionis sambil berpura-pura memeriksa ponselku. Baru setelah aku melihat seorang petugas bellboy membawa buket besarku berjalan ke arah lift, aku mengikutinya. Kami berdua masuk ke lift.
“Lantai berapa, Sir?” tanyanya.
“16,” kataku. Ia menempelkan kartunya pada sensor di lift dan menekan tombol lantai 16 untukku. Lalu ia menekan tombol no 18. Satu lagi keberhasilan. Sekarang aku tahu kamar Anna berada di lantai 18.
“Lantai 16, silahkan,” kata si bellboy saat kami tiba di lantaiku. Aku sebenarnya ingin mengikutinya ke lantai 18 tapi tentu saja tidak bisa.
“Terima kasih,” kataku sambil melangkah keluar lift. Aku berjalan ke kamarku dan saat yang sama pastinya si bellboy sedang berjalan ke arah kamar Anna. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di dalam buket yang besar itu ada dua hal, selain bunga tentunya. Satu adalah baby monitor, dan satunya lagi adalah alat tracker kecil yang biasanya kau tempelkan pada kunci atau dompet, alat yang dapat membantumu menemukan kunci atau dompet itu bila kau lupa di mana kau terakhir meletakkannya. Begitu aku tiba di kamarku, aku mengeluarkan dua hal dari tasku. Pasangan baby monitor dan juga alat tracker. Aku langsung menyalakan baby monitornya. Samar-samar aku dapat mendengar suara langkah kaki si bellboy diikuti bell ruangan yang dibunyikan. Setelah itu aku tidak mendengar perkataan apa-apa jadi rasanya Anna tidak ada di kamar karena jika ada, pastinya si bellboy akan mengucapkan selama sore. Ini berarti kamarnya kosong dan ia meninggalkan bungaku di dalam kamar itu. Sekarang karena buket itu sudah berada di tempatnya, giliranku untuk beraksi. Aku membawa kunci kamarku, baby monitor dan alat pelacak. Aku keluar dari kamarku dan berjalan ke lift. Hotel-hotel yang lebih baru biasanya punya sistim pengamanan yang lebih ketat sehingga saat kau menyentuhkan kunci kamarmu di dalam lift, lift itu hanya memperbolehkan dirimu berhenti pada lobby dan lantaimu saja. Untungnya Fairmont ini, walaupun adalah sebuah hotel mahal, sudah beroperasi sejak tahun delapan puluhan jadi walaupun kau memang harus menyentuhkan kunci ruangan yang berbentuk kartu itu untuk menggunakan lift, kau masih bisa menekan semua tombol lantainya. Aku segera menekan tombol lantai 18. Setelah keluar dari lift, aku langsung menyalakan alat pelacakku. Alat ini akan mendeteksi alat yang kutempelkan pada buket bunga bila buket nya berada dalam jarak 30 meter. Alat yang menempel pada buket itu lalu akan berbunyi. Aku berjalan perlahan melewati kamar-kamar itu. Tak lama kemudian aku mendengar bunyi ‘beep’. Hatiku melompat. Aku mulai menempelkan telingaku pada setiap pintu yang kulewati dan saat aku melakukannya pada pintu 1824, aku mendengarnya. Bunyi beep itu jelas-jelas datang dari dalam ruangan ini. Aku sudah menemukan kamar Anna. Sekarang yang harus kulakukan hanyalah menanti sampai dia kembali.
[1] Hukum Murphy menyatakan bahwa bila sebuah kejadian buruk dapat terjadi, itu akan terjadi.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page