Jika saja Amos ada di sini. Aku rela melakukan apapun untuk membuatnya ada di sini. Jika aku dapat membayarnya dengan nyawaku sekalipun, aku rela. Ini semua tidak adil. Amos meninggal terlalu muda. Seluruh hidupnya yang ada di depannya hilang begitu saja. Dan ia begitu andal dalam memimpin Goodlife. Jika dia masih ada di sini, semua ini tidak akan terjadi.
“Aku tidak suka perusahaan multinasional. Biar kuceritakan kenapa. Beberapa tahun lalu ada sebuah perusahaan pelumas di China yang punya market share yang cukup besar. Mereka lalu dibeli oleh Shell. Kalian tahu kenapa Shell membeli mereka? Supaya mereka dapat mengurangi kompetisi dengan membunuh produk itu. Produk itu lalu tidak dijual sama sekali supaya tidak menyaingi Shell. Bertahun-tahun kemudian, perusahaan itu bahkan membeli perusahaan dan merek dagang mereka kembali dari Shell dan mereka mulai membangun pasar lagi. Itu yang dilakukan para raksasa. Mereka berniat menghilangkan yang lain dan bukan membantu,” kataku.
“Belum tentu seperti itu, Pa. Unilever sudah punya Pepsodent saat mereka membeli Close-up dan mereka membangun keduanya. Mereka juga punya Lux, Dove dan Lifebuoy. Kurasa mereka memang ingin membangun portofolio produk mereka dan bukannya hanya fokus di satu atau dua produk saja,” kata Anna.
“Kau mungkin benar. Tapi masalahnya, kita tidak pernah tahu pasti. Dan itu karena waktu raksasa itu masuk, mereka pasti mengambil alih kendali. Mereka tidak akan tertarik untuk mengambil kurang dari 50% kepemilikan. Mereka pasti mau menjadi mayoritas dan bahkan hampir pasti mengambil 100%. Semua merek yang kau sebut tadi, semuanya dimiliki sepenuhnya oleh Unilever. Pemilik awal nya sudah tidak terlibat lagi,” kataku. Anna terdiam. Ia tahu aku benar. Dan aku memang tidak akan pernah melepaskan perusahaan yang sudah dibangun oleh orang tuaku ini. Bahkan jika mereka menawarkan uang yang sangat besar pun, aku tidak akan menerimanya. Karena ini bukan hanya persoalan bisnis lagi. Aku telah kehilangan anakku, aku tidak akan kehilangan Goodlife, juga.
“Ehm ehm,” Justin berdeham. Ia hendak mengatakan sesuatu. Aku suka anak muda itu. Sangat jelas dia cocok untuk Anna. Tapi kali ini, jika ia menguatkan argumen Anna sekalipun, aku tidak akan goyah.
“Aku tidak ingin mendengar satupun kata lagi tentang multinasional,” kataku sebelum ia mulai.
“Om Ari, jika boleh, biarkan aku menjelaskan yang ini. Aku punya proposal yang berbeda untukmu,” katanya.
“Berbeda? Berbeda bagaimana?” tanyaku. Anna menoleh untuk memandang Justin dengan pandangan bertanya. Rupanya dia juga tidak tahu apa yang dimaksud Justin.
“Aku mengerti Om tidak mau melepaskan kendali perusahaan karena Goodlife sangat penting bagi Om, bagi keluarga ini. Aku sebenarnya sudah sempat bicara dengan papa dan kakak-kakakku tentang ini juga. Dan... kami ingin menyatakan ketertarikan kami untuk menjadi pemegang saham di Goodlife. Karena kami sudah menjadi distributor Goodlife untuk pulau Jawa selama beberapa waktu, kami rasa, pasti ada sinergi di antara kita. Tentu saja jika kami jadi salah satu shareholder Goodlife, kami bisa mendapatkan jaminan harga yang lebih baik dan juga akan mendapatkan fasilitas-fasilitas khusus. Dan kami juga ingin menjadi distributor nasional, tidak hanya Jawa. Kami berani menjamin bahwa jaringan kami tidak kalah dibanding distributor kalian yang sekarang,” katanya. Ia mengatakannya dengan perlahan seolah ia sudah memikirkan ini dengan cermat. Aku dapat melihat kesungguhan dan kepeduliannya.
“Jika memang demikian, kenapa tadi kita membahas perusahaan multinasional itu?” tanyaku.
“Yah, kami harus tahu diri. Kami tahu kami tidak ada apa-apanya dibanding raksasa itu, Om. Jadi jika mereka memang sudah menyatakan tertarik lewat bank, kami tahu kami tidak dapat bersaing dengan mereka. Aku hanya berani mengatakan ini setelah tadi mendengar pendapat Om tentang raksasa itu. Oh ya, aku juga ingin menjelaskan bahwa kami tidak berniat menjadi pemegang saham mayoritas. Kami rasa 45% sudah maksimal. Aku sudah mencoba membuat perkiraan dan uang yang disuntik ke dalam perusahaan untuk 45% saham itu akan lebih dari cukup untuk membayar hutang bank itu,” katanya. Lalu semuanya terdiam. Semuanya sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Mungkin Rosa masih menyesal karena ini bukan topik yang diharapkannya. Aku tahu dia juga merasa Justin sempurna untuk Anna. Anna sibuk mencerna semua yang dikatakan Justin. Justin sendiri pastinya sedang berpikir apakah ia telah mengatakan proposalnya dengan baik, apakah ada yang dapat ia tambahkan lagi untuk meyakinkanku. Tapi tidak perlu.
“Justin, kurasa yang kau katakan itu sangat masuk akal,” kataku.
“Begitu?” tanyanya.
“Ya. Sangat,” kataku.
“Baiklah,” katanya. Ia memandang Anna seolah meminta persetujuannya. Anna tersenyum padanya. Ia memandangku lagi. “Hm... aku akan menyampaikan kabar baik ini pada papa dan kakak-kakakku,” katanya. Aku mengangguk. Dan untuk pertama kalinya sejak Amos pergi, aku merasa bahwa mungkin... mungkin segalanya akan baik-baik saja.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page