“Apakah ini muat di dalam kopormu?” Aku mengeluarkan
sebuah kantong belanjaan besar penuh barang dari koporku dan meletakkannya di
atas tempat tidur Jason.
“Kenapa? Kopormu tidak muat?” tanyanya.
“Muat. Tapi ... aku tidak pulang bersamamu besok
malam,” kataku. Jason berhenti memasukkan bajunya ke dalam kopor. Lengannya
mengawang di udara.
“Kau apa?” tanyanya.
“Aku tidak ikut kau pulang besok,” kataku lagi.
“Kenapa?” tanyanya. Ia meletakkan bajunya.
“Aku... aku masih ada pekerjaan di sini,” kataku.
“Sebagai kakak dan juga atasanmu di perusahaan, aku
tahu pasti bahwa kau tidak punya tugas di sini dan yang sebenarnya, pekerjaanmu
sudah menumpuk menunggumu di Jakarta,” katanya.
“Yang harus kulakukan ini tidak berhubungan dengan
pekerjaan,” kataku.
“Jadi apa itu yang harus kau lakukan?” tanyanya. Aku
memandangnya tapi aku tidak menjawab. Aku tidak tahu bagaimana harus
menjelaskan ini. Dan lagi dia tidak akan mengerti. “Ini urusan Anna, ya?”
tanyanya.
“Bagaimana... kau tahu?” tanyaku. Ia memutar bola
matanya.
“Aku kakakmu! Kau kira aku tidak tahu kenapa tiba-tiba
kau jadi mau ikut terbang ke sini?” tanyanya.
“Yah, aku tidak mau kau terbang sendirian,” kataku. Ia
memutar bola matanya lagi. “Yang benar saja,” katanya. “Tapi yang serius, Justin.
Kau tahu dia sudah bertunangan, kan?” katanya. Aku mendesah.
“Dia tidak sepatutnya bertunangan dengan pria itu,”
kataku.
“Kata siapa? Katamu?” tanyanya. Aku mengangkat bahu.
“Ada begitu banyak gadis di luar sana. Kenapa kau harus menyukai gadis yang
sudah bertunangan?” tanyanya. Aku hanya bisa mengangkat bahu. Bagaimana cara
menjawab pertanyaan seperti itu? Aku tidak memutuskan untuk jatuh cinta
padanya. Tapi itu sudah terjadi. Tiba-tiba mata kakakku membesar. “Oh, aku tahu
apa yang sedang kau rencanakan!” katanya.
“Kau tahu?” tanyaku. Karena sejujurnya aku bahkan tidak
tahu apakah aku punya rencana atau tidak.
“Kau menginginkan perusahaan keluarganya, bukan? Jika
kau menikah dengan Anna, kau akan ikut jadi pemilik pabrik mereka!” katanya.
Aku hanya tersenyum. Tidak ada salahnya bila ia berpikir seperti itu, bukan?
“Hm, harus diakui itu rencana yang bagus! Dengan begitu paling tidak kita jadi
punya kendali atas harga,” tambahnya.
“Yah, jika aku tak salah ingat, kau pernah membahas
dengan Jordan tentang kemungkinan untuk diversifikasi ke hulu,” kataku untuk
membuatnya berpikir bahwa dirinya lah yang telah memberiku ide ini dan jika
memang berhasil, ia jadi punya sesuatu yang patut dilaporkan pada kakak sulung
kami.
“Jadi berapa lama kau akan tinggal?” tanyanya.
“Sampai aku dapat meyakinkannya untuk pulang setelah
dia lulus,” kataku. Atau sampai aku gagal melakukan hal itu. Tapi bagian
terakhir ini tidak kuucapkan.
“Dia lulus di ...bulan Juni, ya? Jadi kau akan tinggal
sampai Juni dan pulang bersamanya?” tanyanya. Aku mengangguk. “Dan dengan visa
turismu, kau memang dapat tinggal selama enam bulan, jadi itu sempurna,”
tambahnya.
“Begitulah rencananya,” kataku. Ia tersenyum. Dan
seraya Jason mulai memasukkan benda-benda yang kuletakkan di atas tempat
tidurnya ke dalam kopornya, aku mulai berpikir apakah benar-benar aku punya
rencana atau aku hanya menggantungkan nasibku pada seutas harapan rapuh yang
mungkin hanya ilusi.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page