Kukira
aku sudah berhasil membuat si dosen itu sadar bahwa dia bukan orang yang tepat untuk Anna.
Jadi dapat kau bayangkan betapa kagetnya diriku waktu mendengar kabar dari Amos
bahwa mereka sudah mulai merencanakan pernikahan mereka. Rupanya rencanaku
tidak berhasil. Mungkin aku terlalu percaya diri. Tapi aku belum kalah. Ini
bukan akhir dari segalanya. Masih ada waktu dan aku akan melakukan segala yang
kubisa untuk memastikan bahwa lonceng pernikahan mereka tidak akan berbunyi.
Jika aku tidak dapat meyakinkan Dayton bahwa dia bukan orang yang tepat untuk
Anna, aku akan meyakinkan Anna bahwa Dayton bukan orang yang tepat untuknya.
Sebenarnya semua dapat melihat itu dengan jelas. Semua orang kecuali kedua
orang itu. Jadi waktu Jason mengemukakan rencananya untuk terbang ke San
Francisco untuk memberi kejutan pada Dina, aku memutuskan untuk ikut juga.
Ia secantik yang kuingat. Aku belum pernah melihat
dirinya mengenakan pakaian musim dingin sebelumnya. Tapi jaket tebal, syall dan
topi rajutan itu tidak mampu menyembunyikan apa pun dari mata rinduku. Jika
tidak ada Jason dan Dina yang berdiri di belakangku, pastinya aku sudah menarik
Anna ke dalam pelukanku, tanpa memikirkan konsekuensinya. Tapi aku tahu aku
harus melangkah dengan hati-hati. Semuanya harus sesuai tahapan dan waktunya.
Aku melangkah ke samping untuk membiarkan Anna masuk. Ia menjabat tangan Jason
dan memutar tubuhnya untuk menjabat tanganku juga.
“Kalian baru mendarat tadi malam?” tanyanya padaku. Aku
mengangguk dan bertanya-tanya dalam hati apakah dia tahu bahwa aku datang
khusus untuknya. Tentu saja ia tidak tahu. “Apakah kita jadi ke Westfield?”
tanyaku pada Dina.
“Oh ya, tentang itu. Maaf aku tidak jadi menemanimu
belanja. Jason punya rencana lain,” kata Dina.
“Tidak masalah. Kita bisa pergi lain kali,” kata Anna.
“Tadi malam aku sudah ingin memberitahumu tapi kata
Justin tidak usah,” kata Dina sambil memandang ke arahku. Anna menoleh untuk
memandangku juga.
“Itu karena kau memang tetap harus ke Westfield,”
kataku sambil mengulurkan secarik kertas padanya. Sebelum aku berangkat, aku
sudah meminta Amos membuat daftar barang yang dibutuhkan dirinya dan
keluarganya untuk kucari di Amerika. Dan secarik kertas itu adalah daftarnya.
Di atasnya tertera tulisan tangan Amos dan juga mama Anna. Anna membaca daftar
itu dan memutar bola matanya karena mengenali barang-barang yang selalu dipesan
oleh mamanya. “Aku boleh ikut ke Westfield? Aku juga punya daftar dari mamaku,”
kataku. Anna memandangku seolah tidak yakin itu adalah ide yang baik. “Karena
bukankah aku juga harus memeriksa semua barang yang akan dititipkan padaku ini?
Kau tahu, untuk memastikan tidak ada barang-barang terlarang seperti berlian
curian atau obat,” kataku. Aku mengatakan itu untuk membuat Anna tersenyum dan
juga untuk mengingatkannya bahwa akulah yang akan membawakan semua benda itu
untuk keluarganya. Berhasil. Ia tersenyum dan mengangguk.
Kedua daftar kami tidak terlalu panjang jadi semuanya
sudah terbeli saat makan siang. Jika saja daftar itu lebih panjang. Aku senang
sekali bisa berjalan bersama Anna, bisa membukakan pintu toko untuknya dan
masuk bersama-sama sambil membayangkan bahwa semua orang yang melihat kami
pastinya mengira kami adalah sepasang kekasih. Aku senang melihat-lihat barang
bersama-sama dengan Anna, sambil mendiskusikan hal-hal tidak penting seperti
apakah warna Just Peachy atau warna Peach Bliss yang lebih cocok untuk
menggantikan lipstick Elizabeth Arden warna Tangerine Dream yang dipesan mama Anna
yang sedang habis stoknya. Aku suka dirinya berada di sisiku. Aku suka caranya
bergerak seolah setiap gerakan mempunyai arti yang penting. Untuk makan siang
Anna mengusulkan untuk makan di salah satu restoran di mall itu tapi aku
mengajaknya ke Clarke’s, sebuah restoran burger tua yang antik di Mountain
View. Dulu waktu aku masih kuliah, setiap kali aku berjalan-jalan ke California
utara, aku selalu mampir untuk makan di sana.
“Kau benar-benar belum pernah makan di sini? Sekali
saja tidak pernah?” tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya. “Tapi resto ini sudah
lama sekali!” kataku.
“Ya, tadi aku baca plang namanya di depan. Sejak tahun
1945! Dan aku hampir setiap hari lewat jalan ini. Heran juga kenapa aku tidak
pernah melihatnya sebelumnya,” kata Anna. Kemungkinan memang ada bahwa kau
tidak melihat sesuatu yang tepat berada di depan matamu. Seperti dirinya yang
tidak memandangku seperti yang kuinginkan. Dan tiba-tiba aku begitu ketakutan
bahwa aku sudah kehabisan waktu. Kata Dina si dosen sedang keluar kota akhir
minggu ini. Itu berarti aku hanya punya satu setengah hari untuk meyakinkan
Anna untuk meninggalkannya. Aku punya begitu banyak argumen di dalam diriku
yang mendorong ingin meledak keluar. Aku ingin memberitahunya bahwa
keputusannya telah membuat begitu banyak orang sedih. Mamanya sudah pasti
sedih. Papanya, lalu Amos. Dan juga diriku. Aku ingin memberitahunya bahwa
tempatnya adalah di tengah keluarganya, bekerja bersama mereka, tinggal bersama
mereka. Aku ingin membuatnya melihat bahwa aku adalah orang yang jauh lebih
tepat untuknya. Tapi alih-alih semua itu, aku malah bilang yang berikut ini.
“Kau sebaiknya mencoba Swiss burgernya. Kau pasti
suka,” kataku. Begitu kalimat itu keluar dari mulutku, aku merasa seperti
seorang pecundang.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page