Zidan baru sampai ke tempat bimbel saat jam menunjukkan pukul satu kurang lima belas. Ia meletakkan tas di ruang kelas, lalu keluar untuk mencari camilan pengganjal perut. Tadinya ia ingin ke minimarket yang jaraknya seratus meter dari sini. Hanya saja, dia terlalu malas mengeluarkan motornya dari parkiran. Dia juga tidak mau mengeluarkan uang untuk bayar juru parkir liar, jadi dia memilih untuk menyambangi warung Madura yang letaknya cuma sepuluh langkah saja.
Di warung itu Zidan mengambil tiga roti serta sebotol air mineral. Penjaga warung hari ini adalah seorang perempuan muda, yang Zidan taksir masih berumur dua puluhan. Penjaga warung itu tampak serius melihat acara gosip di televisi.
“Mbak, jadi berapa semuanya? Sama yang ini juga, ya.” Zidan menggoyangkan botol air mineral di depan wajah, kemudian membuka segel kemasannya.
“Totalnya lima belas ribu, Mas,” jawab si penjaga warung saat acara di televisi terpotong iklan. Atensinya kembali teralih pada televisi setelah program gosip itu mulai lagi.
Zidan memberikan selembar lima puluh ribu, lalu membuka tutup botol air mineral, dan menenggak isinya. Matanya sesekali melirik ke arah televisi.
“Jagat maya tengah dihebohkan dengan kehadiran thread misterius yang mengaku sebagai anak dari Richard Vroom,” ucap si pembawa acara.
Zidan seketika tersedak. Ia terbatuk-batuk beberapa kali, bahkan air yang seharusnya masuk ke kerongkongan malah keluar lagi lewat hidung. Ia mencoba mengambil napas panjang untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan.
“Mas, ini kembaliannya.”
“Terima kasih, Mbak.” Zidan segera melesat menuju gedung tempatnya bimbel. Di perjalanan ia mencoba menghubungi Melda dan Artin.
Ia mengumpat berkali-kali karena kedua karyawannya bilang Lisa belum datang ke toko. Zidan tidak mau membuang waktu, ia segera mengambil tas, mengabaikan sapaan dari guru kursusnya, dan melesat menuju parkiran. Sekali bolos bimbel rasanya tidak masalah. Pertama, tidak ada ulangan dalam waktu dekat. Kedua, ujian tengah semester pun masih jauh. Ketiga, nilai hariannya tidak buruk-buruk amat, masuk ke kategori bagus malah. Jadi, sepertinya tidak apa-apa. Dia meyakinkan diri sekali lagi.
Akan tetapi ...
Zidan berhenti.
Bagaimana jika ayahnya bertanya?
No problem, lah. Dia bisa membuat alibi kalau ada kerja kelompok dadakan. Dia juga bisa bersekongkol dengan ibu tirinya untuk lebih meyakinkan ayahnya. Masalah selesai.
Motor yang membawa Zidan dengan cepat melesat keluar dari gedung bimbel.
Zidan tiba di toko tepat jam dua siang, bersamaan dengan Lisa yang juga baru datang. “Kenapa baru datang jam segini?!” tanyanya pada Lisa.
Lisa mengerutkan dahi. “Gue memang biasa datang jam segini. Kenapa lo? Ada yang salah?”
Zidan langsung menutup mulutnya karena dia salah bicara. Niat awalnya dia ingin bertanya kabar, tapi yang keluar malah kalimat intimidasi plus nadanya ketus pula, dia jadi merasa bersalah. “Sorry,” katanya sambil mengangkat kedua tangan.
Lisa mendengkus jengkel lalu masuk ke toko, meninggalkan Zidan yang memarkir motornya.
Zidan kemudian masuk seperti badai. Dengan langkahnya yang besar ia mendatangi Lisa, kemudian memutar kursi yang diduduki Lisa sampai gadis itu nyaris terjatuh.
“Kenapa, sih, lo? Mau ajak berantem, hah?!” seru Lisa sengit. Tanpa sadar ia membanting tasnya ke meja. Melda yang baru tiba dari dapur sampai berjengit kaget.
Zidan sebenarnya agak ngeri, tapi dia tidak bisa menahan diri lebih lama. “Jujur sama gue, lo bikin rencana apa?”
“Rencana apa lagi, sih? Hari ini gue mau kerja kayak biasa. Tuh, lihat.” Lisa menunjuk tumpukan resi dengan muka ditekuk.
“Stop, stop.” Melda melerai. “Kaian kenapa, sih? Baru datang sudah ribut-ribut?!” Sebenarnya dia ingin menjitak kepala dua remaja di hadapannya, tapi Melda baru ingat kalau Zidan adalah majikannya, ia pun mengurungkan niat itu.
“Begini, Mbak—” Ucapan Zidan terputus karena ketukan pintu. Mereka bertiga serempak menoleh. Ketiganya menunjukkan ekspresi berbeda saat tahu siapa yang baru saja tiba.
Zidan sebagai pemilik toko bergegas membukakan pintu. “Kak Tirta ada keperluan apa, ya?”
“Bisa Kakak minta tolong buat panggilkan Lisa?”
Lisa membuang muka saat Tirta menunjuknya. Kenapa kaca yang menjadi sekat pemisah harus tembus pandang, sih? Kalau begini dia jadi tidak bisa sembunyi dan lari lewat pintu belakang. Lagi pula, bagaimana Tirta tahu kalau dia berada di sini? Pasti dari James. Lisa mendengkus. Namun, kemudian baru ingat kalau ibunya juga sudah tahu fakta kalau dia bekerja sambilan di sini. Ia mendesah gusar.
Zidan yang tidak bisa menebak apa yang tengah terjadi pun menyilakan Tirta masuk. Tirta dengan sopan mengucapkan salam, lalu berjalan menuju Lisa. Artin yang baru keluar dari kamar mandi mengira Tirta adalah pelanggan. Dia pun menyambutnya dengan ramah. “Halo, Kak. Ada yang bisa kami bantu?”
Tirta mengangkat tangan sambil tersenyum. “Terima kasih. Tapi, saya ke sini ada keperluan dengan Lisa.”
Artin dan Melda berpandangan bingung.
“Lisa, ayo ikut Kakak,” ajak Tirta seraya menyentuh lembut pundak Lisa.
Lisa yang risih menepis tangan Tirta dengan kasar. “Nggak mau,” ucapnya sembari membenarkan kursinya dan lanjut bekerja. Untungnya resi yang mau didata jumlahnya sedikit, jadi mungkin dia bisa pulang cepat. Semua yang terjadi hari ini sungguh menguras emosi dan ia ingin tidur secepatnya.
Tirta yang tak mau kalah memutar kursi Lisa hingga menghadapnya. “Dengar, Kakak nggak mau ajak kamu ribut di sini. Tapi, please, kamu harus ikut Kakak.”
“Lisa, kan, sudah bilang kalau Lisa nggak mau ngomong lagi sama Kak Tirta!” Lisa menyela dengan cepat sebelum Tirta berhasil menyelesaikan perkataannya.
Situasi yang mulai memanas seperti ini, jujur saja, membuat Zidan teringat malam-malam di mana ayah dan almarhumah ibunya sering bertengkar hebat dan dia sangat menghindari hal tersebut. “Eum ... guys, bisa kalian diskusi di luar aja?” sarannya.
Tirta mengangguk. Ia menyentuh pundak Lisa pelan lagi. Awalnya Lisa ingin marah, tapi kemudian Zidan juga ikut menggamit lengannya sebagai distraksi. Lisa akhirnya menurut lalu berjalan ke sisi Zidan.
Akan tetapi, Zidan tiba-tiba menelan ludah gugup. Dengan cepat ia melepas genggamannya pada tangan Lisa lantaran tatapan tak bersahabat Tirta mengarah padanya.
Di luar, Lisa menunggu Tirta bicara dengan tidak sabar. Tangannya bersedekap dan punggung bersandar di dinding. Kakinya sengaja ia gerak-gerakan agar Tirta tahu kalau dirinya tak suka akan kedatangannya.
“Lisa, tujuan kakak datang ke sini, cuma mau kasih tahu kalau tadi Tante Nina telepon Kakak. Karena handphone kamu rusak, makanya Tante Nina minta tolong sama Kakak buat jemput kamu,” jelas Tirta, yang mana, ia akui, terdengar sangat bertele-tele. Di balik itu sebenarnya dia masih berusaha keras menyusun kata yang tepat supaya Lisa mau menurutinya.
“Mama kambuh?” Lisa menegang mendengar ibunya disebut.
Tirta menggeleng dan tersenyum menenangkan. “Kamu tenang aja. Tante Nina baik-baik aja. Dia—dia, saat ini lagi keluar sama papi.”
“Terus, hubungannya sama aku apa? Mama dan papi kan sering keluar bareng.” Lisa mendadak diam, lalu pura-pura terkejut. “Oh, Lisa tahu. Apa sekarang kebohongan yang kalian tutupi itu beneran kejadian? Kak, dengar, ya. Meski Lisa sering bilang suka jadi adik Kakak, tapi smpai mati Lisa nggak akan pernah menyetujui hubungan mama sama papi. Lagian, setelah kemarin, Lisa menyesal banget pernah kenal sama kalian berdua, terutama papi. Lisa nggak tahu kalau duda itu ternyata doyan merusak hubungan orang, ya.”
“Lisa!” bentak Tirta dengan gigi bergemeletuk menahan emosi.
Lisa tanpa sadar menahan napas. Jujur, dia takut. Ini pertama kalinya ia mendengar nada tinggi dan kemarahan Tirta, tapi ia meyakinkan diri untuk tidak gentar. “Ke—kenapa harus marah? Lisa benar, kan?”
Tirta menghela napas panjang untuk meredam emosi. “Dengar, Lisa, Kakak nggak tahu apa yang ada di otak kamu sekarang. Tapi, perlu Kakak kasih tahu kamu, papi bukan orang yang kayak begitu. Dia orang baik.”
“Iya, Lisa tahu, kok. Papi orang baik—baik banget sampai dua kali mau dijadikan samsak sama orang. Pertama—” Lisa berhenti. Ia bersyukur bisa mengerem mulutnya karena ia tahu apa yang keluar setelah itu sangat menyakitkan bagi Tirta. Dulu papi menyanggupi permintaan ibunya Tirta untuk menikahinya demi menutupi fakta bahwa perempuan itu hamil di luar nikah tanpa tahu di mana keberadaan ayah kandung Tirta. Lisa menarik napas. Dia tidak ingin membuat masalah baru. “Intinya Lisa benci papi, Kak,” ujarnya setelah berhasil menenangkan hati.
Ketegangan di wajah Tirta perlahan mengendur ketika ia teringat pesan papi. Dari awal papi memang sudah mewanti-wanti bahwa Lisa akan membencinya dan papi pun tampaknya tidak masalah akan hal itu. Sebab, papi tahu Lisa bukan anak pendendam. Kemarahan Lisa hanya refleksi dari rasa kecewa yang tak bisa ia ungkapkan. “Iya, Kakak tahu.” Suaranya melunak. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, “Begini, Lisa, Tante Nina dan papi sekarang lagi sama papa kamu. Mereka mau bicara sama kamu.”
Lisa merasakan kakinya goyah. Ibunya ... ibunya sudah bertemu lelaki itu? Zidan dan Tirta sama-sama mengulurkan tangan, tapi Lisa lebih memilih untuk berpegangan pada tembok di belakang.
Tirta menarik kembali tangannya. “Ayo, mereka sudah tunggu kamu, Lisa.”
Lisa menggeleng lemah. “Aku—aku mau pergi, tapi aku nggak mau sama Kakak. Kasih aja alamatnya sekarang di mana, biar Lisa naik bus atau ojol.”
“Lisa sama aku aja, Kak.” Zidan menawarkan diri tanpa pikir panjang. Detik berikutnya dia menyadari kebodohannya sendiri karena ia mengira dirinya terlalu ikut campur masalah kelurga Aunty Nina.
“Terima kasih, tapi gue bisa sendiri.”
-oOo-
Tanpa melalui perdebatan panjang Tirta akhirnya setuju. Ia memberikan alamat restoran tempat Nina, Eri, dan Bagas menunggu. Kemudian, ia pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Karena Lisa sekarang tidak memiliki ponsel, ia harus meminjam akun aplikasi ojek online milik Zidan. Ketika ia ingin membayar, Zidan tiba-tiba meringis. Cowok itu berasalan tanpa sengaja mengeklik metode pembayaran digital, yang artinya Zidan dia sudah membayar tagihan itu.
Lisa mendesis jengkel. “Besok gue bayar, pokoknya. Omong-omong, terima kasih.”
Zidan menyengir. Cowok itu sengaja menemani Lisa sampai abang ojek yang dipesan datang dan baru masuk ke dalam toko setelah sosok Lisa menghilang di ujung jalan.
Baik Lisa maupun Zidan tidan tahu bahwa Tirta sesungguhnya masih ada di sana. Ia berbaur di antara para tukang ojek pagkalan agar sosoknya tak dikenali. Kala ia melihat ojek yang ditumpangi Lisa melewatinya, ia baru menjalankan motor dan mengikuti Lisa dari belakang.
Tirta meremas setang motor dengan kuat sampai buku jarinya memutih ketika menyaksikan bahu Lisa bergetar. Dia tahu Lisa tengah menangis. Ingin sekali ia rengkuh bahu itu dan menenangkannya, tapi ia yakin sekali Lisa tak mengizinkan.
Restoran yang dituju mereka berada di kawasan Menteng, hanya membutuhkan waktu setengah jam dari toko Damsels and Honey. Lisa menatap bangunan bergaya kolonial itu ragu. Tas dan sepatu Converse imitasi, rok abu-abu panjang yang warnanya memudar, serta hoodie jelek yang dipakainya terlihat sangat tidak cocok dengan kemewahan restoran ini.
Melihat Lisa yang tak kunjung beranjak dari tempatnya, membuat Tirta mendatangi gadis itu.
“Lisa,” panggil Tirta pelan. Ia mengulurkan tangan. “Ayo, masuk. Tante Nina sudah tunggu kamu dari tadi.”
Lisa membuang muka. Ia merasa begitu rendah sekarang. Walaupun Tirta cuma anak tiri, tapi kehidupannya sungguh berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan dirinya. Coba lihat tas serta sepatu bermerk yang Tirta kenakan, belum lagi jaket dan jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. Jika mereka berdua berjalan bersama, Lisa yakin seratus persen dirinya terlihat mirip anak majikan dengan anak asisten rumah tangga.
Tirta mendesah pelan. Ia maju selangkah hingga ujung sepatu mereka saling bersentuhan. Ia memengang lembut tangan Lisa yang dingin—yang untungnya tidak ditepis Lisa—lalu meremasnya pelan demi menyalurkan kehangatan. “Nggak usah takut. Ada Kakak di sini.”
Ada kakak di sini.
Hati kecil Lisa terketuk. Kata-kata itu sering diucapkan Tirta ketika ia merasa tak berdaya. Ia sadar Tirta selama ini selalu jadi penolongnya, selau jadi orang yang dengan sabar mendengarkan segala keluh kesahnya, dan menjadi orang pertama yang selalu mendukung semua keputusannya setelah sang ibu. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi bila Tirta tidak hadir dalam hidupnya. Mungkin dirinya sdah menghilang jadi debu.
Lisa membiarkan Tirta menariknya masuk dengan pelan dan hati-hati, seakan-akan Lisa adalah benda pecah belah yang akan hancur hanya dari satu sentuhan kasar.
Salah seorang host wanita menghampiri dengan ramah lalu menanyakan apakah mereka berdua butuh bantuan. Tirta segera mengutarakan maksud kedatangan mereka ke sini. Si host wanita kemudian mengecek data di komputer. Tak lama, host wanita itu menawarkan diri untuk mengantar mereka ke ruangan privat di mana Eri, Nina, dan Bagas menunggu.
“Kak,”’ panggil Lisa saat mereka tengah menunggu lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai dua.
“Ya, kenapa, Lisa?”
Lisa menggigit bibir sebelum berucap. “Lisa harus apa nanti?”
Tirta menoleh bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. “Kakak nggak bisa kasih banyak saran, Lisa,” katanya pelan. “Tapi, ada satu hal yang mau Kakak kasih tahu kamu.”
“Apa?” Lisa menatap penuh harap.
“Di sana kamu harus tetap tenang dan dengarkan dulu semua penjelasan mereka. Terkadang, apa yang ada di pikiran orang dewasa, nggak semua kita mengerti, tapi Kakak yakin mereka punya asalan yang kuat di balik itu.”
Tak ada balasan dari Lisa. Gadis itu cuma melirik lalu menunduk dalam. Kakinya begitu berat untuk melangkah. Ia sesungguhnya belum siap.
Si host wanita memberitahukan bahwa mereka sudah sampai. Ia lalu membukakan pintu ruangan privat itu untuk mereka berdua.
“Lisa.”
Suara ibunya terdengar. Lisa sontak mengangkat wajah. Ia tercekat. Tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan dahinya. Asam lambungnya naik dengan cepat. Napasnya memburu kala mendapati orang yang paling ia inginkan untuk mendapatkan karma kini berada tak jauh di hadapannya.
“Lisa.” Giliran orang itu yang memanggil.
Rasanya Lisa ingin lari, menghampiri orang itu lalu menghajarnya dengan kursi. Ia menoleh ke samping. Ibunya malah tersenyum teduh.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ibunya tersenyum di saat yang bersamaan orang yang paling bertanggung jawab atas lukanya hadir di sebelahnya. Seharusnya ibunya marah. Seharusnya ibunya berteriak murka.
Bajingan! Sialan!
Tirta menggenggam tangannya yang banjir keringat tanpa raa jijik. Ia kemudian tersenyum lalu menuntun Lisa untuk mendekat.
-oOo-
“Apa kabar, Lisa?”
Lisa tidak peduli dengan sapaan yang baru saja dilontarkan oleh laki-laki itu. Atensinya kini hanya terfokus pada jendela besar yang menampilkan pemandangan jalanan ibukota.
Nina yang duduk di sebelah Lisa menyentuh lembut lengannya. “Bicara, Sayang.”
Lisa melirik malas. “Bicara apa? Nggak ada yang perlu Lisa bicarakan di sini.” Fokusnya kemudian teralih pada lampu gantung kristal di atas kepalanya. Interior ruangan ini terasa sangat mahal dan sulit dijangkau oleh orang miskin sepertinya.
“Lisa, boleh Papa ngomong sesuatu?”
Suara derit kursi bergema. Lisa bangkit berdiri dengan marah. “Masih berani sebut diri lo papa? Nggak tahu malu!” serunya geram. Ia sengaja membanting sendok ke atas piring hingga menimbulkan bunyi berisik.
“Lisa!” Ibunya ikut bangkit dan dengan cepat meraih lengan sang anak untuk menariknya duduk kembali “Kamu nggak boleh begitu.”
Lisa bergeming. Matanya menatap bengis lelaki di hadapannya.
“Papa minta maaf.”
Tawa geli Lisa meluncur keras. “Setelah sembilan tahun ini, baru sekarang minta maaf? Dari dulu ke mana aja?” Ia mendengkus. “Oh, ya, lupa. Jadi penyanyi terkenal, sukses, kaya, dan punya istri cantik, pasti lah bisa cepat lupa dengan masa lalu yang suram, kan? Terus, sekarang kenapa balik? Oh, mungkin tadinya lo nggak niat minta maaf, tapi karena nggak sengaja ketemu mama dan karena sudah malu, jadinya sekalian minta maaf. Benar, kan? Padahal alasan utama lo balik ke sini, ya, karena mau cari duit. Orang Indonesia, kan, gampang overproud. Pintar banget,” sindirnya yang diakhiri dengan tepuk tangan.
Dan sebentar lagi karir lo juga bakal hancur karena orang Indonesia. Lisa melanjutkan dalam hati.
Bahu Eri yang semula tegak merosot seketika. “Papa ingin jujur sama kamu, Lisa.”
“Stop. Jangan ngomong lagi. Lisa nggak peduli.” Lisa menoleh pada ibunya. “Mama masih mau di sini? Kalau begitu, Lisa pulang dulu,” tandasnya. Ia kemudian melangkahkan kaki tanpa bisa dicegah, bahkan ketika Tirta menghadang pintu Lisa mampu untuk mendorong tubuh Tirta yang jauh lebih besar dari dirinya. Pintu kemudian dibanting kasar.
Lisa menyeringai. Tunggu saja. Biar mereka sama-sama hancur.