Lisa menatap kepergian Zidan sembari tersenyum kecil. Ia lega. Zidan rupanya tidak seburuk asumsinya. Detik berikutnya, ekspresi yang dipasang Lisa berubah. Ia menatap Tirta dengan sorot datar.
“Kakak mending pulang sekarang. Jangan pernah ketemu sama Lisa lagi buat sementara. Lisa benci Kakak.”
Tirta mematung. Ia tidak tahu bereaksi apa sampai akhirnya sadar jika Lisa telah menjauh.
Dia sampai di ruang rawat ibunya setelah sebelumnya ia pergi ke kamar mandi guna mencuci muka untuk menghilangkan jejak-jejak tangis. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan ibunya. Senyumnya yang biasa pun terpasang. Sebelah tangannya terangkat untuk membuka gorden pembatas. Dua orang dewasa di dalam terkejut karena kedatangannya.
Lisa sudah melatih emosinya tadi, jadi dengan ringan berujar, “Papi mending pulang sekarang. Kak Tirta nggak bakal balik ke sini lagi. Dia juga mau pulang.”
Bagas bangkit dari duduk. “Kalau begitu, aku pulang dulu, Nina. Cepat sembuh.” Laki-laki itu tersenyum seraya mengelus lengan Nina. Lisa yang melihat itu diam-diam mendengkus dan memaki dalam hati.
Lelaki itu kemudian beralih pada Lisa. “Papi pulang dulu, ya, Lisa,” pamitnya dengan tangan yang bersiap mengelus kepala Lisa. Namun, Lisa dengan cepat menghindar sehingga tangan Bagas tergantung di udara. Lelaki itu tersenyum kecut lantas pergi tanpa mengucap apapun lagi.
Lisa kemudian menempati kursi yang tadi diduduki Bagas. Kecanggungan yang merayap di sekeliling mereka membuat Lisa frustrasi. Beruntung, suster dan dokter jaga datang untuk mengecek kondisi Nina.
Dokter yang berkunjung itu menyatakan jika Nina sudah bisa pulang besok. Lisa bernapas lega. Setelah mengucapkan terima kasih pada dokter dan dua suster yang datang tadi, Lisa kembali memfokuskan perhatian pada ibunya. Jatah makan malam ibunya di atas kabinet masih belum tersentuh.
“Ma, Lisa sudah dengar semuanya.” Padahal, ia telah bersumpah untuk tidak menangis lagi, tapi matanya mengkhianati. Ia terisak, lalu mengusak kasar mata dan pipinya, “Lisa cuma mau bilang kalau Lisa sudah memaafkan Mama. Kita nggak perlu pusing soal itu. Buang aja semua masa lalu itu. Sekarang Mama ada untuk Lisa dan Lisa akan terus ada buat Mama,” tandasnya sembari merebahkan kepala di ranjang ibunya. “Mama jangan nangis lagi. Lisa nggak suka.”
Nina tersenyum dalam tangis. Tangan kanannya yang bebas dari infusan mengelus pucuk kepala Lisa. “Terima kasih sudah mau maafkan Mama, Sayang. Ya, Mama akan buang semua masa lalu kita supaya kita bisa buka lembaran baru.”
Lisa menganguk pelan. Ia sungguh menikmati saat seperti ini di mana hanya ada dia dan ibunya. Selama beberapa saat, keduanya terdiam tanpa ada niatan untuk buka suara.
“Ma, besok Mama pulang, nih,” cetus Lisa tiba-tiba. Ia mengangkat kepala. “Mau makan apa nanti? Tapi, jangan yang banyak gula, ya.”
Nina berpikir sebentar. “Mama mau banget gudeg ceker Bude, deh.”
“Iya, besok habis pulang dari rumah sakit Lisa beli, ya. Sekarang Mama makan dulu. Nanti Pak Dokter marah.” Lisa dengan cekatan membantu ibunya untuk duduk.
Diam-diam, sisa malam itu Lisa habiskan untuk mencari segala informasi yang bisa ditemukan dari internet tentang Richard Vroom.
Lisa mengumpat saat kebanyakan berita yang ia temui berasal dari website luar negeri. Huh, nilai bahasa Inggrisnya mentok di angka tujuh, itu juga hasil menyontek Rika. Namun, dengan tekad apa yang tidak bisa? Ia lalu menginstal Google Translate untuk menyelami berita-berita itu satu demi satu.
Di salah satu berita yang terbit kurang lebih sepuluh tahun lalu, terdapat gonjang-ganjing prahara mengenai perebutan warisan Daan Vroom. Lisa jadi mengasihani kakeknya itu. Sudah mati saja masih harus menghadapi pertengkaran antara keluarga—mantan istri masih termasuk keluarga, kan?
Begitu selesai membaca berita-berita itu, Lisa beralih pada akun Instagram pribadi milik Richard. Lisa mendengkus sinis saat mengetahui ada lebih dari satu juta pengikut di akun ayahnya.
Lihat saja, sebentar lagi satu juta fansnya bakal mengetahui dosa besar yang dilakukan idolanya itu.
-oOo-
Seminggu berlalu sejak kejadian itu, baik ibunya maupun Lisa berhasil menghindari topik tentang masa lalu papanya, seolah-olah pembahasan itu adalah hal haram di rumah mereka. Selain itu, seperti menepati janji, Tirta pun tidak pernah lagi muncul di hadapan Lisa. Cowok itu juga tidak pernah lagi mengiriminya pesan. Baguslah.
Lisa duduk tenang di atas kursi setelah mengerjakan soal terakhir—dengan asal tentu saja karena otaknya sudah capek dibuat berpikir keras selama seminggu belakangan. Ia menoleh kanan-kiri. Teman-temannya kini tengah berjuang menyelesaikan tugas akuntansi sebelum pulang. Kalau dia membuat pengakuan sekarang, bakal bikin gaduh tidak, ya? Tetapi, dia harus mengatakannya sekarang, jika tidak, rencananya tak akan berjalan sempurna.
“Rika,” panggil Lisa pada teman semejanya. Rika bergumam sebagai jawaban. “Gue mau ngomong sesuatu,” katanya setengah berbisik.
Rika menggeram jengkel karena konsentrasinya terganggu akibat ocehan Lisa. “Tinggal ngomong aja, apa susahnya?!”
Dengkusan geli Lisa meluncur mendengar gerutuan Rika. “Kelas ini belum kasih calon buat pensi, kan?”
Rika mengangguk. Fokusnya dari soal akuntansi sekarang betul-betul hilang. Ia menatap Lisa penuh minat. “Kenapa memangnya?”
Lisa tersenyum simpul. “Kalau gue ajukan diri buat tampil di pensi masih bisa, nggak?”
“Hah!” Rika menggebrak meja. Berkat kelakuannya ini, satu kelas ditambah guru di depan memelototinya. “Guys, Lisa mau tampil di pensi, nih!” serunya senang. Sepertinya dia tidak peduli jika guru di depan sudah nyaris marah-marah.
Satu rencananya berjalan lancar. Tinggal menunggu yang lain.
Lisa menyeringai.
Bel pulang kemudian berbunyi. Para siswi satu per satu mengumpulkan tugas. Sebelum teman sekelas memberondonginya dengan berbagai pertanyaan terkait keikutsertaannya dalam pensi, Lisa buru-buru kabur dengan dalih dia harus melakukan part-time job. Siang ini, dia akan kembali bekerja di Damsels and Honey. Zidan yang meminta karena cowok itu mungkin tidak enak hati. Cuma sampai sebulan seperti perjanjian sebelumnya, sih, tapi tidak apa-apa. Lebih baik begitu daripada harus mengeluarkan kembali uangnya yang sudah masuk ke rekening tabungan.
Lisa juga sudah bercerita mengenai pekerjaan itu pada ibunya. Nina setuju saja, yang penting tidak mengganggu sekolahnya. Selain itu, ia cukup kenal baik dengan Zidan, si pemilik usaha. Lagi pula, kalau dilarang pun Lisa pasti akan tetap pergi, jadi cukup sulit untuk melarangnya.
Mbak Melda dan Mbak Artin menyambut Lisa dengan hangat. Lisa tersenyum menerima perlakuan itu dan ia pun mulai bekerja sesuai dengan tugasnya. Pukul setengah empat sore, Zidan datang. Cowok itu buru-buru menyambangi Lisa di meja kerjanya dan tanpa permisi dia langung bertanya.
“Aunty sudah sehat, kan?”
Lisa mengangguk. “Mama hari ini sudah bisa kerja, kok. Kalau lo mau ketemu sama Mama, lo bisa datang di jam-jam makan siang. Soalnya selama sebulan ini Mama dikasih dispensasi buat masuk shift satu terus.”
Muka Zidan berseri-seri mendengar itu. Ia berencana akan datang ke kafe hari Sabtu nanti sebelum bertemu dengan web developer. Zidan bergeming di sana tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ada sesuatu mengganjal yang ingin ia tanyakan, tapi melihat Lisa kembali fokus dengan pekerjaannya, dia jadi mengurungkan niat. Mungkin nanti. Akhirnya, ia pamit untuk naik ke lantai tiga, yang dibalas dengan koor ‘oke’ dari karyawan lain—minus Tanto yang sedang mengirim barang ke jasa ekspedisi.
Lisa mengikuti kepergian Zidan sampai punggung cowok itu menghilang di balik tangga. Mbak Artin pernah menjelaskan jika lantai tiga gedung ini digunakan sebagai studio musik dan video oleh Zidan. Waktu tur pengenalan Damsels and Honey, Mbak Artin hanya mengajaknya mengelilingi lantai dua saja. Dia jadi penasaran apa yang ada di lantai tiga.
“Lisa, tolong bantuin gue, dong.” Melda memanggil.
“Ya, Mbak.” Lisa mau tak mau menghampirinya daripada harus kena julid.
Melda mencondongkan tubuhnya ke arah Lisa dan berbisik, “Zidan, kok, jadi baik sama lo, sih?”
Lisa terkejut mendengar penuturannya. “Kok, bisa?”
Melda mengangkat bahu. Wajahnya mendadak berubah julid. “Dari tadi siang dia spam WA ke Mbak Artin terus tanya ‘Lisa sudah datang, belum?’. Begitu”
“Aku nggak tahu, Mbak.” Lisa menggeleng. Dia juga bingung. “Mungkin dia penasaran aja, kali.”
“Hei, kalian berdua. Bukannya kerja, malah gosip,” tegur Artin
Melda buru-buru tutup mulut, sementara Lisa melesat kembali ke mejanya.
-oOo-
Di dalam studionya, Zidan langsung melempar tasnya ke single bed yang sengaja ia taruh di pojok ruangan sebagai tempatnya beristirahat. Ia lalu mengambil kaos beserta celana jeans miliknya dari dalam lemari plastik yang terletak di sebelah kasur. Usai berganti baju, dia bergegas mengambil makanan yang tadi sempat ia beli sebelum ke sini dari dalam totebag yang dibawanya.
Ada dua porsi ayam penyet dan dua botol air mineral ukuran seliter. Lalu ada corn dog, somay, serta kebab masing-masing dua porsi. Wah, dia baru sadar yang dibelinya banyak juga. Yang ada di pikirannya cuma ingin mengajak Lisa makan bersama, tapi bagaimana kalau Lisa menolak? Siapa yang mau menghabiskan semua ini? Omong-omong, Lisa sudah makan siang belum, ya? Kalau belum, bagaimana kalau sakit maag-nya kambuh? Ini sudah sore.
Zidan menimbang-nimbang sebentar, lalu dengan cepat memasukkan makanan-makanan itu ke tasnya kembali sebelum turun ke lantai satu.
“Kalian istirahat aja dulu. Saya bawa makanan banyak,” ucap Zidan. Ia mengambil satu kursi kerja lalu meletakkannya tepat di tengah-tengah ketiga karyawatinya.
Melda dan Artin yang mendengar perkataan Zidan tadi syok setengah mati. Sejak kapan Zidan jadi sebaik ini? Bahkan Melda sekarang dengan tidak sopannya melemparkan tatapan seolah-olah kepala Zidan tumbuh jadi tiga.
“Mbak Artin, tolong ambilakn piring, ya,” pinta Zidan.
Bahkan Zidan sekarang memakai kata ‘tolong’! Melda menyikut Artin, yang dibalas dengan pelototan. Artin kemudian melesat ke dapur bersama Melda yang mengekori seperti anak bebek. Tak lama, dua karyawati itu datang, lalu menata makanan-makanan di piring yang mereka bawa.
“Boleh sekalian saya minta tolong buat belikan boba yang ada di ujung ruko itu, Mbak? Saya traktir. Kalian beli apa aja yang kalian mau.” Zidan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dari dompetnya.
Melda dengan segera menyambar uang yang diberikan Zidan. “Thank you, lho, Mas Zidan.” Dia berusaha menyengir lebar, tapi masih terlihat jika cengirannya itu agak dipaksakan. “Ayo, Mbak. Ikut gue!” serunya sembari menarik Artin keluar.
Lisa yang melihat kejadian barusan tertawa bingung. Apalagi saat ini Zidan tengah melihatnya tanpa berkedip. “Kenapa? Ada yang mau lo kasih tahu ke gue? Nggak usah pakai melotot segala,” ucapnya ngeri.
Zidan terbatuk-batuk karena salah tingkah. Ia lalu berdeham. “Lo—lo sudah makan?”
“Belum. Nggak sempat.”
Satu porsi ayam penyet Zidan berikan pada Lisa. “Nih, makan. Nanti lo kambuh.”
Cengiran lebar terbit di wajah Lisa. “Terima kasih, lho,” katanya sembari tertawa. Lumayan, hari ini dia tidak perlu keluar uang buat makan siang.
Aduh, kenapa lidahnya jadi tidak bisa diajak kerjasama? Zidan memerhatikan Lisa dengan canggung. Bukannya dia ingin ikut campur atau apa, tapi dia hanya ingin tahu. “Lo—lo nggak apa-apa?”
Lisa mendengkus geli. “Kenapa lo jadi gagap begitu, lagi stres?”
Zidan mengetuk-ngetuk meja, seolah ia sedang bermain di launchpad miliknya, membentuk melodi acak, tapi tetap enak didengar telinga. “Gue lagi nggak stres.”
“Ya, terus?” Lisa menggigit ayamnya sampai belepotan ke pipi. Zidan mengerenyit agak jijik.
“Soal lo. Gue tanya lo. Are you okay?” Zidan memaki dalam hati karena ia berpikir pemilihan katanya kurang tepat. Bagaimana kalau Lisa jadi tidak nyaman?
Akan tetapi, di luar perkiraan Zidan. Lisa malah dengan santai mengangkat bahu dan menjawab, “Oke, kok. Kenapa memangnya?”
Zidan melemaskan punggungnya yang tegang ke sandaran kursi. Gara-gara ikut terseret dengan cerita masa lalu Aunty Nina, dia jadi kepikiran sepanjang malam selama beberapa hari. Karena itu pula ia menyempatkan diri untuk mencari tahu. Ternyata, yang diceritakan Tirta soal kisruh harta warisan Daan Vroom benar. Masalah itu juga melibatkan Richard Vroom, yang baru diketahui publik adalah anak Daan yang lahir di luar nikah. Richard sendiri baru menggunakan nama keluarga ‘Vroom’ baru-baru ini sebagai nama panggung. Bisa jadi, karena tujuannya ingin mendongkrak popularitasnya.
Cukup lama Zidan dan Lisa terdiam, sibuk akan kegiatan masing-masing, sampai akhirnya Zidan yang lebih dulu buka suara.
“Siapa yang kasih lo nama Lisa?”
Sebelah alis Lisa terangkat naik. “Nama gue?”
Zidan mengangguk.
“Seinget gue, sih, papa gue yang bajingan itu.”
Zidan terbatuk mendengar makian Lisa. “Lo—lo tahu nggak, bisa jadi nama lo itu terinspirasi dari lagu The Green Diamonds yang judulnya Elise?”
“Bodo amat.” Lisa menimpali dengan cepat. “Gue nggak bangga juga, tuh.”
“I see.” Zidan mengangguk-angguk. “By the way, lo—lo nggak ada rencana? Lo tahu, kan, lo bisa bilang gue kalau butuh bantuan?”
“Rencana apaan, sih? Nggak ada rencana apa-apa. Lo nggak usah khawatir.” Lisa meletakkan sisa tulang ayam ke piring. Makan siangnya yang sangat terlambat itu telah selesai. “Gue ke dapur dulu, ya, buat cuci piring.”
Beberapa menit kemudian, Melda dan Artin kembali bersamaan dengan Tanto yang baru pulang dari jasa ekspedisi. Zidan merasa tidak leluasa untuk bicara jika ada keryawannya pun pamit. Sebelum ia naik ke lantai tiga, ia menyempatkan diri untuk berbicara pada Lisa.
“Gue serius. Kalau lo butuh bantuan, lo bisa bilang ke gue. Gue punya banyak koneksi di dunia hiburan.”
“Iya, bawel.” Lisa mendengkus, tapi tidak menampik kalau dia senang ada orang yang memerhatikannya. “Terima kasih,” katanya dengan mata terus tertuju pada punggung Zidan yang menjauh. Dalam hatinya ia tertawa mengejek.
Ya, lihat saja nanti.
Di sisi lain, Zidan berhenti di anak tangga kelima. Dia baru kepikiran. Kenapa dirinya jadi seperhatian ini? Apa karena ini ada sangkut pautnya dengan Aunty Nina? Ya, ya, pasti begitu. Ia menyayangi Aunty Nina sebagai sosok ibu—bukan pengganti, tentu, karena titel itu sudah milik seseorang dan dia sedang berusaha keras untuk menyayangi orang itu juga.
Malamnya, Lisa membiarkan ponselnya bergetar sejak tadi. Puluhan—tidak. Bukan hanya puluhan, tapi ratusan notifikasi yang masuk ia biarkan. Masa bodoh. Mungkin sebentar lagi ponselnya itu tidak dipakai karena eror.
Karena tidak mau membuat ibunya curiga dengan suara getaran yang makin lama makin bergema di kamarnya, Lisa dengan sengaja menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Ia lalu melirik album foto yang tergeletak di kasurnya. Album foto itu sengaja ia buka. Di salah satu halaman terdapat sebuah potret dirinya yang masih berumur tiga tahun tengah duduk di bangku piano. Di sebelahnya, seorang lelaki merangkulnya sambil tersenyum.
Lisa mengacungkan jari tengahnya pada lelaki itu sebelum keluar dari kamar. “Ma, ayo, makan! Lisa tadi beli nasi goreng gerobak kesukaan Mama, nih.”