Mengikuti insting, Lisa sengaja membaur bersama pengunjung rumah sakit lain di depan lift lain agar Zidan dan Tirta tak bisa mengejarnya. Lift yang membawanya pun turun tiba di lantai satu. Tadinya ia berencana keluar area rumah sakit guna mendinginkan kepala, tapi langkahnya terhenti lantaran iklan dari salah satu ajang pencarian bakat paling fenomenal di Indonesia muncul di televisi lobi.
Dalam iklan itu, lelaki yang tidak asing bagi Lisa tersenyum lebar—walau di matanya itu adalah senyum paling jahat sedunia—dan berkata, “Halo Indonesia. Do you wanna be the next idol? Segera daftarkan diri kalian untuk mengikuti ajang pencarian bakat paling bergengsi tahun ini. Jangan sampai ketinggalan. See, ya!” Iklan diakhiri dengan aksi piawai si lelaki memainkan lagu yang familier di telinganya dengan gitar.
Lisa terhuyung mundur. Asam lambungnya mendadak naik. Keringat dingin merembes di punggung dan dahi. Apakah itu ... apakah itu lagu pengantar tidur yang sering lelaki itu nyanyikan untuknya dulu?
“Lisa,” panggil Tirta pelan. Kedua tangannya menjaga tubuh Lisa yang limbung agar tak terjatuh. Beruntung, kali ini Lisa tidak berontak.
“Dia pulang. Dia betulan pulang,” gumam Lisa layaknya orang linglung. Niat hati ingin menyumpah serapah, tapi tidak ada satu pun makian yang berhasil keluar dari mulutnya. Yang ada malah air mata yang mengalir deras tanpa diminta.
“Sshh ... Lisa, jangan nangis.” Tirta berniat menghapus air mata Lisa, tapi tangannya terhenti di udara karena Lisa tiba-tiba meloloskan diri dari rengkuhannya.
“Lo lihat laki-laki di iklan tadi? Lo kenal siapa dia?” Lisa bertanya pada Zidan.
Zidan menatap bingung. Iklan yang mana? Iklan yang sedang tayang sekarang? Tidak ada laki-laki di iklan itu, karena, ya ampun, itu iklan pembalut!
“Kenal nggak?” Lisa menyentak.
Oh, mungkin iklan yang sebelumnya? “Iklan pencarian idol itu, kan? Kenal.” Zidan menjawab sebisanya. “Dia Richard Vroom. Yang gue tahu dia musisi asal Belanda kelahiran Indonesia yang namanya lagi jadi trending topic di medsos. Dua single barunya sempat masuk Billboard Hot 100, by the way.”
“Anjing!” Lisa memaki. Dua cowok di hadapannya terperanjat. “Dia sesukses itu sekarang? Lo tahu siapa dia? Dia bapak gue! Bapak paling berengsek sedunia,” ucapnya dengan terengah karena menahan emosi. Tirta yang hendak menyentuh pundaknya untuk menenangkan, ia dorong jauh-jauh. “Gue kira dia sudah mati, tapi ternyata dia masih sehat walafiat. Lo bayangin—lo coba bayangin, dia pergi dari rumah, meninggalkan gue dan ibu gue hidup susah bertahun-tahun lalu. Terus, tahu-tahu gue dapat kabar kalau dia sudah jadi musisi sukses dan kaya. Gue harus apa dengan semua informasi sialan yang gue terima itu, hah?!” tandasnya sambil mengusap kasar bekas air mata di pipinya.
Zidan terkesiap mendengar penuturan Lisa. Richard Vroom ayahnya Lisa? Bagaimana bisa? Bukankah Richard Vroom itu baru saja menikah dengan seorang makeup artist?
Lisa menggigit bibir demi meredam isakan. Ia menarik napas panjang beberapa kali sebelum beralih kembali pada Tirta. “Sekarang, Kakak bisa cerita. Ayo, kasih tahu semua yang kalian sembunyikan dari Lisa.”
“Kita ke kantin aja, ya. Kata Tante, dari pagi kamu belum makan.”
Sejujurnya, yang Lisa inginkan sekarang adalah duduk di kasur, menutupi wajahnya dengan bantal, lalu menangis sambil menjerit-jerit dan menyumpah-serapah sampai tertidur, tapi itu tidak mungkin dilakukan. Jadi, dia pasrah saja saat Tirta mengajaknya ke kantin.
“Tapi, Zidan harus ikut.” Lisa sekonyong-konyong memegangi ujung hoodie yang dipakai Zidan agar cowok itu tidak bisa ke mana-mana, padahal Zidan baru saja ingin pamit pulang.
Tirta mengerenyit bingung. “Kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa. Lisa cuma mau dia ikut. Ada yang salah? Memangnya kakak siapa atur-atur Lisa?” katanya sarkas sebelum mengalihkan atensinya pada Zidan. “Ayo, ikut gue. Lo harus dengar seberapa toxic-nya keluarga Aunty Nina kesayangan lo ini. Dijamin nggak kalah dari keluarga lo,” tambahnya sambil menarik ujung lengan hoodie Zidan dan berlalu menuju kantin.
Sebenarnya, bukan itu tujuan asli Lisa mengajak Zidan. Saat ini, dirinya hanya tak ingin sendiri. Ia butuh kehadiran orang lain yang bisa anggap sebagai support system—tidak peduli jika itu palsu—meski pada kenyataanya yang dia hadapi saat ini adalah Tirta, orang yang selama ini ia jadikan sebagai sandaran tanpa pamrih.
Mereka bertiga pergi menuju kantin dalam diam. Zidan yang kepalang tanggung ikut terseret dalam masalah ini jadi tidak enak hati untuk undur diri. Beruntung, meeting dengan web developer hari ini tidak jadi dan ia juga tidak ada jadwal kursus. Lagi pula, bagaimana caranya dia pergi jika sedari tadi Lisa terus mencengkeram ujung hoodie-nya seperti memegangi ujung tali harness kucing?
Menyaksikan interaksi Zidan dan Lisa, Tirta yang berjalan agak di belakang mendadak gerah. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sejak kapan mereka menjadi sedekat itu?
Setibanya di kantin, Tirta segera memesankan Lisa soto dan teh manis dingin beserta satu jus alpukat untuk dirinya sendiri. Hanya itu. Dia sengaja melupakan eksistensi Zidan yang juga berada satu meja dengannya.
Zidan awalnya tak mengerti kenapa Tirta yang duduk di hadapannya ini tiba-tiba seperti tidak suka padanya. Namun, setelah beberapa kali tak sengaja menyaksikan tatapan tajam yang dilayangkan kakak kelasnya itu untuknya, dia jadi sedikit mengerti. Kemampuan bersosialisasinya memang payah, tapi dia bukanlah orang yang tidak peka. Dia sadar, Tirta cemburu. Apa Tirta dan anaknya Aunty Nina ini terlibat friendzone? Atau ... yang lebih parah, terjebak dalam hubungan brotherzone? Ia buru-buru beringsut ke samping, memberi jarak dari Lisa saat lengan mereka berdua tidak sengaja menempel.
Tak lama, makanan yang tadi dipesan Tirta datang. “Dimakan, dulu, Sa. Nanti keburu dingin,” ajak Tirta, tapi Lisa menggeleng dan menggeser mangkok sotonya ke arah Zidan.
“Tadi Lisa sudah makan lontong yang dibeli Zidan. Masih kenyang. Jadi, kakak bisa cerita sekarang.”
Helaan napas berat meluncur dari mulut Tirta. “Oke. Tapi, kamu janji dulu sama Kakak. Setelah kamu tahu kebenarannya, kamu nggak akan bertindak bodoh yang bisa membahayakan diri.”
“Tergantung.”
“Lisa,” panggil Tirta penuh penekanan.
Lisa lagi-lagi mendengkus keras. Dulu ia menyukai bagaimana Tirta mengatur dirinya, rasanya seperti dijaga dan diperhatikan. Namun, kali ini berbeda. Sekarang ia tak suka Tirta diatur-atur begitu. “Iya! Bisa dimulai sekarang, kan?” Nada suaranya sengaja ia tinggikan.
Tercipta jeda sejenak. Sesungguhnya Tirta tak ingin melakukan ini. Dirinya tak berhak menceritakan ini pada Lisa, tapi mengingat kondisi Tante Nina yang tak memungkinkan, apalagi papi juga merupakan salah satu orang yang ikut menjadi akar masalah, akhirnya dia pasrah dijadikan tumbal. Ia pun mulai bercerita hal-hal apa saja yang diketahuinya dari papi. Semua ini bermula dari pertemuan pertama Nina dan Eri.
Eri yang saat itu masih berumur sembilan belas adalah pemuda berjiwa bebas, urakan, dan sembrono. Band indie yang dibentuk bersama teman nongkrongnya saat itu tengah digandrungi dan digadang-gadang akan menjadi band paling hits setelah masuk dapur rekaman. Namun, sayang, popularitas yang makin menanjak membuat para anggota band salah jalan. Dunia malam, pergaulan bebas, dan alkohol telah menjadi makanan sehari-hari mereka, pun begitu dengan Eri.
Suatu hari, Eri ditangkap polisi karena penyalahgunaan obat terlarang. Karena masalah ini band yang dibangunnya dari nol pun bubar. Semenjak itu semua orang yang dikenalnya di dunia entertainment—terutama para bandmates-nya—menjauh, sekaan-akan tak pernah mengenalnya sama sekali. Di tengah keterpurukan itu, pertemuan pertamanya dengan Nina terjadi.
Berbeda dengan Eri yang tak perlu pusing memikirkan masa depan karena keluarganya yang berada, kehidupan Nina justru lebih memprihatinkan. Nina berasal dari Solo dan hanya hidup berdua dengan ayahnya yang merupakan bandar judi. Sudah tak terhitung banyaknya Nina mengingatkan ayahnya menjauhi pekerjaan itu, tapi perkataannya selalu dianggap angin lalu.
Suatu ketika, ayahnya menghilang. Selama berbulan-bulan Nina mencari sekuat tenaga, tapi tak kunjung menemukan hasil. Ayahnya seolah-olah lenyap ditelan bumi. Genap setahun berlalu, kabar menyakitkan datang. Ayahnya tertangkap di Jakarta.
Berbekal kalung peninggalan ibunya, Nina nekat ke Jakarta menyusul sang ayah. Satu prinsip yang selalu diingat Nina: sebejat apapun kelakuan sang ayah, darah yang mengalir dalam tubuhnya lebih kental dibanding air. Itu sebabnya ia akan selalu memaafkan dan menerima ayahnya kembali dengan lapang dada.
Ketika menjenguk ayahnya di lapas, lelaki tua itu marah besar dan mengusir Nina serta memerintahkannya untuk tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke ibukota. Nina jelas tidak terima. Ia bersikeras bahwa kedatangannya ke Jakarta justru untuk menemani sang ayah sampai masa hukumannya selesai. Ia akan tetap tinggal bagaimanapun caranya, tak peduli jika di Jakarta ini ia tak mengenal siapa-siapa.
Nina dan kenekatannya adalah hal yang paling dibenci sang ayah. Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu. Semua yang berada di dalam ruang kunjungan terkejut, termasuk para sipir beserta Eri yang saat itu tengah dikunjungi oleh Natasha, ibunya.
“Lisa nggak tahu kalau ternyata mbah kung sejahat itu.” Mata Lisa berkaca-kaca. Selama ini ibunya selalu bercerita yang baik-baik tentang mendiang orang tuanya, terutama tentang kakeknya itu. “Kenapa mama nggak pernah cerita?” tanyanya dengan suara serak.
“Karena Tante nggak mau kamu tumbuh dengan kebencian, Lisa.”
“Tapi, Lisa sudah terlanjur tumbuh dengan kebencian!” sambar Lisa penuh emosi.
Tirta menatap Lisa dengan pandangan sulit diartikan. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi Lisa buru-buru menghentikan.
“Kalau Kakak cuma mau ceramah, lebih baik nggak usah. Kakak lanjut aja ceritanya.”
Tirta kembali menghela napas dalam-dalam. Punggung ia sandarkan. Cerita masa lalu Nina dan Eri pun berlanjut.
Eri yang menyaksikan bagaimana Nina mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri sempat terpana. Dari semua perempuan yang pernah ia temui, selain ibunya, Eri tidak pernah melihat sorot mata seteguh itu. Tidak ada kebencian di mata Nina, yang ia temukan adalah tekad dan kasih sayang yang meluap-luap. Mata itu seolah-olah menyedotnya masuk ke dalam taman yang dipenuhi pepohonan dan bunga. Tak ada siapapun di dalam taman itu sehingga Eri bebas melakukan apapun sesuka hati.
Dalam imajinasinya, Eri melangkah dengan pasti ke tiap sisi taman untuk mengagumi dan mengidup harumnya bunga-bunga yang tumbuh. Di sudut paling utara, ia bisa melihat sebuah ayunan dengan tali tambang. Di atas ayunan tersebut Nina menunggu seraya menggenggam sebuah kunci berkarat.
“Key to The Secret Garden.”
Gumaman Eri masih bisa didengar Natasha, sehingga dengan cepat ia pun bertanya, “Kenapa, Eri?”
“I’ll just met my muse.”
“Did you?”
Eri mengangguk sambil mengerling ke arah Nina yang hendak beranjak dari kursinya. “Ma, mungkin Mama nggak akan percaya ini, tapi Eri yakin Mama akan selalu percaya semua pilihan Eri, kan?”
Sebelah tangan Natasha terjulur untuk mengelus kepala Eri. “Ya, Eri. Mama akan selalu percaya kamu.”
“Sorry, karena selama ini Eri selalu mengkhianati kepercayaan Mama. Sorry karena selama ini Eri selalu aja bikin Mama kecewa. Tapi, sekali ini, Eri boleh minta bantuan Mama?”
“Apa itu?”
“My muse.” Eri melirik punggung Nina yang menjauh. “Jaga dia untuk Eri, Ma. Eri janji, setelah ini Eri bakal berusaha untuk berubah jadi lebih baik. Selain itu, tolong kasih tahu Bagas, Eri mau tagih janji yang dulu pernah dia bilang itu.”
Bagas dan Eri memang berteman baik dari kecil. Dua belas tahun menimba ilmu di sekolah yang sama membuat mereka sangat dekat. Tetapi, setelah kelulusan SMA, mereka mengambil jalan yang berbeda; Eri dengan teknik industri dan Bagas dengan manajemen bisnisnya.
Suatu ketika, Bagas mengalami masalah keungan karena perusahaan keluarganya pailit, padahal saat itu Bagas tengah merintis bisnisnya. Bagas yang putus asa pun meminta suntikan dan pada Eri. Eri tentu saja membantu karena baginya Bagas adalah satu-satunya teman yang tidak meninggalkannya di waktu tersulit yang ia jalani di masa sekolah dulu.
Mendengar permintaan Eri, Bagas tentu menyanggupi. Ia pun menawari Natasha pekerjaan untuk Nina di event organizer-nya.
Setahun berselang, Eri bebas. Kehidupan baru baginya dimulai. Eri benar-benar menpati janjinya untuk berubah lebih baik.
Hal pertama yang Eri lakukan setelah keluar dari lapas adalah menghubungi Bagas. Ia mengajak kawan lamanya itu untuk membangun bisnis kuliner bersama. Hanya berdua. Eri sengaja tidak ingin mengikutsertakan bahkan meminta pertolongan pada keluarga Natasha, yang notabene adalah pebisnis sukses turun-temurun.
Selain bisnis ada hal lain yang membuat Eri bersyukur diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki diri, yaitu kehadiran Nina. Selama dua tahun belakangan, kedekatan mereka berkembang pesat. Dari hanya sekadar menyapa di ruang kunjungan, meningkat menjadi teman mengobrol setelah Eri keluar dari lapas. Kemudian, hubungan itu makin lama makin dalam dan tanpa disadari oleh mereka berdua menjadi sebuah keterikatan. Kehadiran Nina menjadi sebuah kebutuhan baginya, pun begitu sebaliknya.
Tahun berikutnya, Eri memberanikan diri untuk melamar Nina, meski keluarga besar Natasha melarang. Penolakan-penolakan yang dilayangkan mereka tak lantas membuat Eri gamang. Ia tetap berjuang hingga tiga bulan kemudian ia berhasil melangsungkan pernikahan, walaupun Natasha satu-satunya orang yang menyetujui.
Setelah berumah tangga, Eri memutuskan menarik diri dari keluarga Natasha, walaupun konsekuensi yang diterima adalah dia harus hidup sederhana bersama Nina karena uang yang mengalir ke dalam rekeningnya praktis terhenti. Namun, itu bukan masalah. Baik Nina dan Eri telah berjanji hanya akan bergantung sama lain. Natasha yang mengetahui keputusannya pun menyetujui, karena ia berpikir sudah waktunya Eri memilih jalan hidup sendiri.
Dari waktu ke waktu, bisnis yang dibangun bersama Bagas menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Kini ia memiliki pemasukan pasif yang membuatnya tak perlu lagi memusingkan masalah keuangan tiap bulan. Kebahagiaan yang diimpikan Eri pun semakin lengkap saat Lisa hadir di tengah-tengah mereka. Akan tetapi, di tahun sama dengan kelahiran Lisa, ayahnda Nina dikabarkan mengalami serangan stroke di penjara. Nina kalang kabut mendengarnya. Seminggu setelah dirawat intensif, nyawanya tak tertolong.
Lisa tak akan pernah melihat wajah mbah kung selamanya.
Kemudian, di tahun ketiga bisnis kuliner bersama Bagas berjalan, Eri tiba-tiba memilih untuk menyerahkan seluruh manajemen perusahaan pada Bagas karena menyadari jika bisnis bukanlah passion hidupnya. Musik adalah dunianya. Sejauh apapun dirinya berlari, seperti magnet, ia akan selalu kembali ke dunianya itu.
Eri berencana kembali ke dunia musik, tapi bukan sebagai performer. Ia akan bekerja di balik layar. Ia berncana membangun sekolah musik. Dirinya sudah merencanakan ini jauh-jauh hari di antara jatuh bangun mengurus bisnis kulinernya.
Untuk membuka sekolah musik, sebagai langkah awal, ia harus mencari modal. Dibantu Bagas dan mentor bisnisnya, Eri telah menghitung berapa modal yang dibutuhkan dan karena cukup besar, dia tak bisa mengambil risiko menggunakan tabungan masa depan Lisa atau uang bulanan rumah tangganya. Ia juga tak berniat meminjam dari keluarga ibunya maupun dari bank. Sebagai langkah awal, ia akan membangun relasi sekaligus mencari dana dengan menjajakan kemampuan musiknya sebagai guru musik lepas.
-oOo-
Lisa terhenyak mendengar penuturan Tirta. Ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang ayahnya.
Tirta yang duduk di hadapan Lisa meneguk jus alpukatnya sebelum melanjutkan, “Kamu tahu, nggak. Kepergian papa kamu ada hubungannya sama keberadaan kakek kamu, Lisa?”
Dahi Lisa mengerut dalam. “Kakek? Kakek yang mana? Mbah kung maksudnya?”
“Bukan mbah kung. Tapi, kakek dari pihak Om Eri.”
Lisa berusaha mengingat cerita-cerita keluarga yang pernah ayahnya bagi padanya. “Kata papa, kakek sudah lama meninggal bahkan sebelum papa lahir.”
“Nggak. Kakek kamu baru meninggal dunia sembilan tahun lalu.”
Sembilan tahun lalu? Lisa menghitung-hitung.
“Iya, Lisa. Tahun yang sama ketika papamu pergi,” lanjut Tirta. “Selama ini keberadaan kakek kamu disembunyikan oleh nenek kamu dan keluarganya.”
Lisa tersentak. Apakah kakeknya kriminal? Kenapa disembunyikan? Tanpa sadar ia meremas tangannya yang ia letakkan atas pahanya. Kukunya yang sedikit panjang ia tancapkan pada ujung-ujung jari hingga menimbulkan cekungan dalam—mungkin tak lama lagi mungkin akan mengeluarkan darah.
Zidan yang duduk di sampingnya pun terkejut melihat itu. Sebagai seorang musisi, terutama gitaris, jari adalah anggota badan yang sangat penting, jadi ia menggeser mangkok soto yang sempat terlupakan ke hadapan Lisa untuk mendistraksinya. “Kata Aunty, lo suka makanan dingin, kan? Sotonya sudah dingin, nih.” Ia tersenyum karena rencananya berhasil.
Tirta yang melihat aksi Zidan tadi meneguk jusnya sampai habis, lalu membanting gelasnya ke meja. Zidan menjengit kaget. Tadinya ia ingin membantu Lisa mengambilkan sendok dan garpu, tapi niat itu ia urungkan.
Suasana di sekitar dua cowok itu mendadak aneh, cuma Lisa yang tak terpengaruh karena dirinya sibuk tenggelam dalam pikirannya sendiri. Soto di hadapannya terabaikan lagi.
“Kenapa kakek disembunyikan? Kakek sama kayak mbah kung?” tanya Lisa bingung.
Tirta menggeleng. “Kakek kamu orang baik-baik, Lisa. Dia orang terkenal. Dia legenda.”
“Maksudnya?” Lisa menatap Tirta tak mengerti.
Tirta menyodorkan ponselnya padanya, yang pada layarnya terdapat laman wikipedia. “Kakek kamu adalah salah satu anggota band The Green Emeralds.”
Zidan terkesiap.
Melihat reaksi Zidan, fokus Lisa seketika teralih pada cowok itu. “Lo tahu siapa itu The Green Emeralds?”
“Mereka duo musisi dari Belanda yang terkenal di tahun 60-70an. Mereka—lo bisa baca sendiri di wiki.” Zidan tidak jadi melanjutkan ucapannya karena tidak sengaja melihat kilatan cemburu di mata Tirta.
Lisa mendengkus. Pandangannya berpindah ke ponsel milik Tirta. Dalam artikel wikipedia tersebut, disebutkan bahwa anggota The Green Emeralds adalah sebuah band beraliran rock and roll duo yang terkenal pada rentang tahun 60an sampai 70an. Mereka berdua adalah kakak-beradik kandung. Lagu terlaris mereka yang berjudul Elise menempati peringkat ke-73 di tangga lagu Billboard Hot 100 Amerika Serikat tahun 1960. Rekaman lagu tersebut terjual lebih dari 250.000 kopi di Belanda dan lebih dari satu juta kopi di Jerman pada 1961.
Lisa berdecak takjub. Salah satu dari bule blasteran ini adalah kakeknya? Mereka berdua berbagi darah yang sama, tapi ... tapi bagaimana bisa? Apalagi keduanya adalah musisi hebat. Ah, tidak. Tidak. Dia tidak boleh terkesima. Dia harus ingat bahwa anak orang ini adalah laki-laki yang meninggalkan dia dan ibunya. Mungkin kakeknya juga dulu begitu? Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kan?
“Jadi, di antara dua orang ini, yang mana kakek Lisa?” Lisa meletakkan ponsel Tirta ke meja. Di layar tampak foto lama dua personil The Green Emeralds.
“Yang kiri, kakaknya, Daan Vroom. Yang kanan, adiknya, Dennies Vroom.” Tirta menunjuk kedua lelaki di foto bergantian. “Daan Vroom kakek kamu, Sa.”
Zidan yang menjadi saksi di sana tidak berhenti berdecak kagum. Kalau semua cerita Tirta benar, cewek di sebelahnya ini punya gen yang luar biasa. Pantas saja.
Lisa memandangi potret kakeknya itu dengan perasaan tak keruan. Di satu sisi, ia senang karena ia bisa mengenal salah satu keluarga dari ayahnya tak pernah ia temui. Selama ini dia dan ibunya selalu sendirian. Tidak ada sanak saudara. Namun, di sisi lain ketidaksukaan merayap di hatinya. Mengapa hanya dirinya yang tidak tahu tentang semua ini? Kenapa Tirta yang merupakan orang asing tahu semuanya? Salahkah bila ia membenci Tirta?
Lisa meminum es teh miliknya untuk memadamkan panas di hati. Ada banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya, tapi ia bingung harus mulai menanyakan dari mana.
“Lisa pengin tahu bagaimana caranya nenek dan kakek ketemu. Mereka berdua ini orang Belanda, kan?” katanya setelah terjadi keheningan panjang di antara mereka.
“Mereka bukan asli sana, mereka blasteran Indonesia-Belanda. Keluarga mereka pindah di tahun 50an waktu ada repatriasi besar-besaran—maksudnya, di tahun-tahun itu semua orang Belanda dan keturunannya dipulangkan paksa ke Belanda, termasuk keluarganya kakek kamu itu, Lisa,” jelas Tirta dengan bahasa yang mudah Lisa mengerti.
“Terus, mereka balik ke sini lagi, begitu?”
Tirta mengangguk. “Di tahun 80an mereka datang ke sini, buat konser, terus kakek kamu ketemu sama nenek kamu di pub, love at first sight, lalu hamil Om Eri.”
“Mereka nikah, kah?” Zidan yang dari tadi diam kelepasan bertanya. Sadar kalau dia sudah memotong pembicaraan, ia pun melirihkan kata maaf.
Tirta menatap sengit Zidan, tapi pandangannya melunak saat ia menatap Lisa. “Nenek kamu Daan Vroom nggak pernah menikah.” Ada jeda sejenak untuk melihat reaksi Lisa.
Lisa mendesis tidak percaya. Semua lelaki di keluarganya kenapa buruk sekali? Bagaimana bisa ia percaya pada laki-laki sekarang?!
“Saat nenek kamu mengandung Om Eri, Daan Vroom itu masih punya istri, tapi akhirnya bercerai nggak lama setelah Om Eri lahir. Sampai meninggal ia nggak pernah menikah lagi dan nggak punya anak selain papa kamu, Lisa.”
“Jadi, Daan Vroom itu selingkuh? Dan nenek Lisa adalah pelakor?” Lisa tertawa miris. “Ingat, kan, ada pepatah yang bilang karma bapak bakal diterima anak perempuannya? Berdoa aja semoga Lisa nggak kebagian karma dari kakek dan bapak Lisa.”
“Lisa, jangan pernah merendahkan diri kamu begitu. Kakak nggak suka.”
Lisa menggebrak meja. “Suka nggak suka, tapi itu kenyataan!” Dadanya naik turun karena emosi. Ia sama sekali tak peduli dengan tatapan aneh dari pengunjung kantin lain. “Bagaimana caranya papa tahu semua itu? Tadi katanya keberadaan kakek disembunyikan? Coba jelaskan ke Lisa yang nggak tahu apa-apa ini.”
Tirta ingin sekali meninju dinding, tapi dorongan itu ia tekan kuat-kuat dengan cara menyatukan jemarinya di bawah meja. Ia menarik napas panjang sebelum berkata lagi, “Kamu tahu apa kesamaanmu sama papamu, Lisa?”
Lisa tidak menanggapi. Ia tetap diam, tapi sorot matanya menggambarkan antisipasi yang besar.
“Kata papi, Om Eri juga tumbuh besar tanpa ayah. Tapi dia nggak pernah dendam sedikit pun sama ayahnya.”
Lisa kembali menggebrak meja, lalu bangkit berdiri. “Kenapa sekarang Kak Tirta jadi banding-bandingin aku sama orang jahat itu?!” Ia sudah mau pergi. Untungnya Zidan menahan lengannya dan membantunya duduk kembali.
“Om Eri sudah tahu dari awal siapa ayahnya. Nenek kamu yang kasih tahu ini. Seharusnya dia marah karena harus menganggung cap sebagai anak haram yang nggak punya bapak, bahkan kata papi, di sekolah pun Om Eri sering jadi korban bully. Tapi, dia nggak pernah marah. Dia terima kenyataan bahwa ayahnya itu orang terkenal dan dia adalah anak hasil hubungan di luar nikah.”
Lisa tidak tahu apakah ia harus mengasihani ayahnya atau tetap teguh pada pendirian untuk membencinya.
“Seebanrnya, kata papi, papa kamu itu orang yang baik. Dia punya hati yang lembut.”
Lisa tertawa mencemooh. “Nggak ada orang baik yang meninggalkan keluarganya dalam keadaan miskin. Sedangkan dia jadi kaya raya sekarang.”
Tirta terdiam. Akhirnya ia sampai di topik paling sensitif dan sampai kapan pun ia tak akan mau menceritakannya pada Lisa. Dia yang mendengar ceritanya dari papi saja merasa sangat sedih, terluka, dan geram, apalagi Lisa nantinya? Namun, dia sudah sejauh ini meneritakan masa lalu Om Eri, jadi ia tidak bisa mundur.
“Atas nama papi, Kakak minta maaf.”
Lisa memandang tak mengerti.
Tirta menghela napas panjang sekali lagi. “Kepergian papa kamu itu karena papi.”
“Maksudnya?”
“Sembilan tahun lalu, surat dari notaris Belanda sampai ke rumah nenek kamu. Surat itu adalah surat wasiat dari kakek kamu.”
Semua terjadi berawal dari surat wasiat Daan Vroom itu. Surat itu menyatakan bahwa sebagian besar harta Daan diberikan kepada Eri. Sejak Daan mengetahui Natasha hamil, lelaki itu selalu mengirim uang dan hadiah untuk Eri yang bahkan belum lahir. Walaupun Daan absen melakukan kewajibannya sebagai ayah, tapi ia tidak pernah lupa untuk membiayai semua kebutuhan Eri dan Natasha.
Daan juga sering menyempatkan diri untuk menengok Eri dan Natasha kala libur natal dan tahun baru. Sayangnya, kedatangan Daan ke Indonesia terhenti saat media mencium skandalnya ini.
“Kenapa kakek nggak menikah sama nenek?” Lisa akhirnya menumpahkan unuk-unuk yang sedari tadi dipendamnya.
“Pernikahan beda negara itu rumit dan nenek kamu nggak mau menanggung risikonya.”
Lisa mendengkus. Bisakah ia mengumpat pada neneknya itu? Jadi, ia tidak mau menikahi kakeknya yang ingin bertanggung jawab? Bodoh sekali.
“Terus soal wasiat itu, bagaimana kelanjutannya?” tanya Lisa.
Tirta mendesah. “Mantan istri Daan Vroom nggak terima dan bawa kasus ini ke jalur hukum.”
Awalnya, Natasha menolak surat wasiat itu dan berniat untuk memberikan saja harta Daan kepada mantan istrinya, tetapi, keluarga besar Natasha yang serakah makin memperkeruh keadaan. Mereka memerintahkan Eri dan Natasha untuk ke Belanda guna menyelesaikan ini. Tidak. Mereka tidak peduli pada ibu dan anak itu, yang jadi fokus mereka adalah bagaimana caranya harta Daan Vroom jatuh ke tangan mereka seperti apa yang telah ditulis di surat wasiat.
Eri pun setuju dengan Natasha. Ia tidak mungkin meinggalkan Lisa dan Nina sendiri di Indonesia. Ia sudah cukup bahagia dengan kehidupannya, mengapa mencari perkara lain yang sulit dijalani?
Mendengar jawaban Eri, keluarga Natasha tak menyerah. Mereka melakukan berbagai cara untuk mencuci otak ibu dan anak itu. Namun, baik Eri dan Natasha telah membulatkan tekad bahwa mereka tidak akan mengambil sepeser pun harta Daan.
Usaha keluarga Natasha untuk membujuk Eri tidak selesai sampai itu.
Kemudian, tragedi itu pun terjadi.
Nina kecelakaan. Ia adalah korban tabrak lari.
Lisa terkesiap mendengar itu. Apa ... apa kecelakaan itu ulah keluarga neneknya?
Seakan mengerti pikiran Lisa, Tirta menjawab. “Ya, itu rencana mereka. Mereka tahu kelemahan Om Eri adalah Tante Nina dan kamu, Lisa.”
Air mata mentes lagi di pipi Lisa.
Tirta kembali berkata jika efek dari kecelakaan itu membuat indra pengecapan Nina tertanggu. Lisa mematung, tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Indra pengecapan Mama terganggu?” Lisa akui dia kurang pintar, tapi dia masih mampu menarik benang merah dari kejadian-kejadian yang selama ini ia lalui. Bagaimana ibunya jarang memasak. Bagaimana ibunya yang terkadang tidak bisa membedakan rasa manis gula dan asin garam. Bagaimana ibunya selalu memuji masakannya, meski rasa masakannya kacau sekali pun.
Lisa tersengguk-sengguk memikirkan penderitaan yang selama ini ditanggung ibunya. “Kenapa—kenapa mereka jahat banget sama mama?” Rasanya ia ingin menyumpahi seluruh keluarga itu terkena karma paling menyedihkan, mati mengenaskan, lalu membusuk di neraka. Jahat, memang. Akan tetapi, bukankah itu sebanding dengan apa yang sudah mereka lakukan?
Tirta yang tidak tega segera mengambil tisu dan lantas menyerahkannya pada Lisa. Namun, Zidan ternyata juga melakukan hal yang sama dan Lisa memilih mengambil tisu itu dari tangan Zidan tanpa melihat. Seketika Zidan menyesali perbuatan refleksnya itu.
“Lalu, apa hubungannya ini semua sama papi?” tanya Lisa yang telah berhasil mengembalikan pikirannya.
Ini yang paling sulit. Tirta jadi gamang untuk memberitahukannya. Biar bagaimanapun, papi adalah satu-satunya orang yang ia miliki, walau statusnya cuma ayah tiri. Ia tidak akan sampai hati jika ada orang membenci papi, walau itu adalah Lisa. Ia pun membuang muka.
“Kak, nggak mau jawab pertanyaan Lisa?”
Dengan ragu-ragu akhirnya Tirta berkata, “Setelah kecelakaan itu, surat kaleng yang isinya ancaman terus datang ke rumah. Om Eri nggak tahu itu karena Tante Nina menyembunyikannya. Tante Nina nggak pengin Om Eri tahu kebusukan keluarganya.”
“Terus, ke mana nenek? Dia kenapa nggak bela papa?”
“Nenek kamu nggak bisa apa-apa saat itu, karena nenek kamu juga punya masalah sendiri.” Tirta menjeda sebentar untuk menarik napas. “Nenek kamu kena kanker serviks.”
Lisa mendengkus. Miris sekali. Itu mungkin karma untuk perebut suami orang, kan? Maaf, Nek. Tapi itu benar, kan? Semoga Nenek tenang di sana.
Tirta menjelaskan bahwa bahkan sampai sebulan, ancaman itu tidak berhenti. Akhirnya, karena menyerah, Nina sengaja mengatur pertemuan dengan keluarga Natasha untuk bicara.
Hasil dari pembicaraan itu hanya diketahui oleh Nina. Sepulang dari pertemuan itu, Nina bertemu dengan Bagas. Kemudian, pertemuan itu menjadi pertemuan yang paling mereka sesali sampai sekarang.
“Papi dan mama dituduh selingkuh dan papa percaya?” Lisa tertawa sinis. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran papanya. “Papa nggak cari tahu dulu dan main tuduh begitu aja?”
Tirta meraih tangan Lisa, lalu menggenggamnya erat. “Maafkan papi dan mama kamu, Lisa. Itu semua memang rencana mereka berdua, buat papa kamu percaya kalau mereka ada affair. Pengkhianatan adalah kesalahan yang paling nggak termaafkan buat Om Eri. Setelah itu, Om Eri tarik semua aset di bisnisnya bareng papi dan pergi ke Belanda buat tuntut warisan kakek kamu dan dia menang.”
“Sialan!” Lisa sekarang menangis tersedu-sedu. Dadanya sesak bukan main. Ia tidak tahu lagi harus berada di pihak siapa. Semua rahasia yang baru terbongkar hari ini seperti truk yang mengantam lalu melindas tubuhnya sampai hancur.