Di meja paling belakang
yang terkenal ‘ada penunggunya’ adalah tempat biasa kumpul Bintang bersama
teman-temannya. Bersebelahan dengan tempat siswa bermasalah juga berkumpul.
“Udah selesai? Ada perlu
apa Mrs. Emely manggil lo? Srup~” tanya Sasa disusul dengan seruputan minum
yang hampir habis.
Bintang mengedikkan
bahunya, malas untuk menjelaskan. Energinya habis dan jadi merasa lapar.
“Pesenin gue apa kek, yang seger-seger.”
“Enak ya, baru duduk udah
nyuruh-nyuruh. Berasa Princess ya, Mbak.” Nyinyir Tiara,
walau begitu ia tetap bangkit dari duduknya menuruti permintaan Bintang.
“Hahaha ... Tiara! Sekalian
makanannya ya!” Tambah Rena, ia masih lapar. Lagi pula, Bintang tidak bisa
dibiarkan hanya minum saja tanpa makan bukan? “Tapi itu bukan masalah kan,
Tang? Selain tidur lo hampir telat hari ini,” tanya Rena khawatiran.
Memangku kepala dengan satu
tangan, Bintang memasang wajah lelah. “Hm. Cuma ngerasa capek aja ngadepin Guru
killer.” Lalu seperti ada sesuatu Bintang menegakkan tubuhnya tiba-tiba.
“Eh guys! Hari ini banget, novel barunya RedFox udah bisa dibeli di toko
buku.”
Menaruh pesanan
teman-temannya Tiara langsung menyambar, “Novel lagi- novel lagi.
Kurang-kurangin, Tang. Kita udah mau ujian.”
Sasa memutar matanya,
melihat mata Bintang jadi berbinar-binar saat membicarakan novel. Padahal
beberapa menit lalu ekspresi Bintang muram. “Kalau udah maniak novel susah
dibilangin, Ti. Lagian selama ini kerjaan Bintang cuma baca novel, tapi
nilainya juga fine aja.”
Ah, Bintang tahu kalau Sasa
iri padanya. Sasa itu anak gaming yang memiliki channel stream di
YouTube. Memiliki hobi yang sama menghabiskan waktu seperti Bintang, tapi Sasa
memang bukan orang yang cepat menangkap pelajaran dalam belajar.
“Karena gue cerdas, hahaha
....” Bercanda. Kepercayaan diri Bintang hanya bercanda, tapi cukup membuat
hati Sasa memanas. “Pokoknya hari ini gue mau beli novel! Ada yang mau temenin
nggak?” teriaknya yang berujung minta ditemani.
“Males gue! Mending gue
main bareng Nadim. Ya nggak, DIM?! Awas lo ninggalin gue lagi.” Sambil
beralasan, Sasa beraling ke salah satu siswa bermasalah. Di sana ada Nadim,
tetangga sekaligus sahabat Sasa dari kecil.
Sudah menjadi rahasia umum
jika Nadim sebenarnya menyukai Sasa, tapi Sasa-nya saja yang tidak peka. Bahkan
kenapa Bintang dan teman-temannya bisa mendapat tempat kumpul tetap di kantin,
ya, karena Nadim yang ingin melindungi Sasa dari dekat.
Bintang membiarkan tingkah
Sasa yang seperti itu. Tidak ada gunanya marah, lagian Sasa sudah baik padanya
hari ini. “Kalian?” tanyanya pada Tiara dan Rena.
“Ck! Lo tuh kalau ngajak
jangan dadakan makanya. Gue ada rapat OSIS pulang sekolah nanti, kecuali kita
perginya besok” Tiara malah menyalahkan Bintang. Bukan begitu juga sih, karena
sebenarnya Tiara ingin ikut menemani Bintang.
“Besok ya? Hm ... nggak ah,
gue udah nggak sabaran. Malam ini mau langsung baca novelnya, baut gue review.”
Walau Bintang tahu maksud Tiara, tapi ia sudah punya jadwal sendiri sebenarnya.
Bintang juga memikirkan
waktu belajarnya untuk ujian.
“Gue temenin deh, sekalian
mau beli kado Kakak gue yang baru married. Lo temenin gue juga ya?” Rena
yang tidak ada alasan menolak, sekalian saja mengambil kesempatan untuk
urusannya sendiri.
Bintang mengacungkan jempol
pada Rena. Hari yang dikira suram sepenuhnya, ternyata masih ada hal yang
membuat Bintang kembali bersemangat. Yaitu hobi membaca novel dan menulisnya.
***
Dua tumpuk novel di meja
kasir membuat Rena melongok. “Tang, yang benar aja. Lo baca ini semua, terus lo
review? Nggak sekalian aja lo beli tokonya.” Ini bukan pertama kalinya
Rena mengantar Tiara ke toko buku, tapi sampai seperti ini ....
Total ada lima belas buah
novel dan kebanyakan sudah pernah Bintang beli sebelumnya. “Nggak semua,
kayaknya cuma ada lima buku terbitan baru yang bakal gue review. Yang
lainnya itu cetakan kedua novelnya RedFox. Cover-nya lucu deh, karena nggak
tahan jadi gue beli.”
“Lo kebanyakan duit atau
gimana, Tang? Itu ... 600 ribu melayang cuma buat novel yang udah lo punya.”
Rena miris melihat Bintang membayar dengan ringan tangan. “Orang tuh jadi
kolektor apa, yang mahal tapi ada nilai jualnya. Kalau novel? Isi ceritanya
tetap sama kan?”
Bintang mengangguk,
membenarkan perkataan Rena. “Untuk novel pertama, gue emang beli untuk baca
ceritanya. Yang kedua ini, lihat, estetika buku ditingkatkan oleh penerbit.
Gambaran yang ada di novel diilustrasikan lebih dalam dan bermakna. Kalau lo
bilang gue kolektor novel, hm ... mungkin benar.” Bintang tersenyum bangga
dengan hobinya yang semakin fanatik.
Lagi pula, hobi Bintang
tidak merugikan siapapun. Ia membeli semua novel hasil dari 70% sisihan uang
saku sekolahnya.
“Hah... terserah deh. Lo
masih harus nganterin gue keliling mall, buat cari kado. Gimana lo bawa buku
berat itu sendiri?”
Pada dasarnya Rena memang
tidak suka apapun buku yang hanya berisi tulisan saja, sampai mual membayangkan
bagaimana ia membaca tumpukan novel Bintang.
“Susah banget sih hidup lo.
Kan ada penitipan barang, kita ke depan dulu buat nitip ini. Okey!”
Sia-sia mengkhawatirkan
Bintang yang terlihat sangat senang saat ini, dan bodohnya Rena tidak
terpikirkan jika ada penitipan barang. “Terus gimana pas pulang nanti? Ibu lo
nggak masalah kan lihat novel sebanyak ini? Apa lagi udah mau ujian.”
Siapa bilang Bintang tidak
khawatir, tekanan di rumah semakin besar menuntutnya untuk belajar. Tentu,
Bintang akan belajar dan berusaha mendapatkan nilai sebaik mungkin, tapi tidak
perlu diperlihatkan bukan?
Apa yang Bintang beli saat
ini adalah hiburan untuknya. Bintang sudah janji untuk belajar, bagaimana ia
belajar ... itu urusannya sendiri. “Santai aja, aman kok.”
***
Memasuki pagar rumah, dari
sela-sela tanaman hias Bintang bisa melihat sang ibu sedang duduk bersantai di
teras. Wanita itu terlihat lelah di wajahnya, pasti baru selesai menyirami
tanaman. Terhirup bau tanah yang basah dan kilapan air yang di helai daun
tanaman.
Beralih pada dua paper
bag yang ia bawa, Bintang jadi gugup membayangkan reaksi Ibu saat
melihatnya. Berusaha tetap teguh Bintang akan berpikir positif, ia akan membuat
alasan untuk lebih semangat belajar.
Melangkahkan kaki perlahan
Bintang mengatur napas, ingin sekali Bintang memeluk ibunya, entah kenapa ia
merasa rindu.
“Oh anak Ibu sudah pulang?”
Ibu bangkit dari duduknya, namun matanya langsung mengarah pada apa yang
Bintang bawa. “Apa itu Bintang?” Suaranya berubah menjadi dingin, langkah yang
ingin menyambut kepulangan sang putri terhenti.
“Tadi Bintang ke mall, Bu.
Nganterin Rena beli kado buat Kakak-nya, terus sekalian deh Bintang ke toko
buku dan membeli-“
“Novel?” potong Gina yang
tidak lepas memandang paper bag seperti sedang men-scan isinya.
Ekspresi Ibu terlihat tidak
baik. Apa mungkin ketahun Bintang berbohong dengan memberikan urutan yang
salah? karena sebenarnya Rena lah yang mengantar Bintang.
“Hehehe ... iya, Bu.
Bintang nggak tahan lihat novel terbitan baru.” Metode merubah suasana, dengan
jawaban sok polos Bintang berharap Ibu tidak menganggap serius hal ini. Lagi
pula saat membeli ia tidak meminta uang lagi pada Ibu-nya.
“Ibu dapat laporan dari
grup wali murid, untuk SNBP nilai pelajaran pendukungmu kurang dari syarat passing
grade jurusan Kedokteran. Artinya kamu sudah siap untuk SNBT.” Sarkas Ibu
yang semakin mendekat ke arah Bintang.
Bintang berusaha tetap
seperti tidak melakukan kesalahan, sampai akhir ia akan pura-pura tidak
mengerti maksud Ibu. “Itu benar, Bu. Mrs. Emely sudah menyarankan Bintang untuk
ganti jurusan, tapi Bintang tolak. Kalau tidak diterima, Bintang akan belajar
untuk persiapan SNBT, Bu. Sungguh!”
Lagi-lagi dengan bumbu
kebohongan, Bintang jadi terbiasa untuk itu. Senyum buatan Bintang juga
berusaha dipertahankan, namun pada akhirnya tetap runtuh.
“Apanya yang belajar, hm?”
Dua paper bag direbut paksa oleh Ibu dari tangan Bintang, lalu
melemparnya ke sembarang. “Apa itu belajar?!” tunjuk Ibu pada novel-novel yang
berserakan keluar dari paper bag. “Bintang, Ibu hanya ingin yang terbaik
untukmu! Kenapa kamu sulit sekali untuk diarahkan? Kamu ingin lihat Ibu mati
berdiri karena terus memarahimu yang keras kepala, huh?!”
Bintang menjadi kaku dan
menatap Ibu tidak percaya. Bukan hanya apa yang sudah dilakukan, tetapi juga
apa yang baru saja Ibu-nya katakan. Bukan sarkas, bukan tuntutan, atau hinaan
untuk Bintang. Itu seperti kutukan yang mengatakan Bintang sebegitu durhakanya
pada orangtua.
Senakal itukah Bintang di
mata Ibu-nya, sampai dinilai Bintang ingin melihat ‘Ibu mati berdiri’?
“Kamu bukan anak-anak lagi
Bintang, bisakan kamu bedakan waktu bermain dan belajar? Sedikit lagi kamu mau
ujian, dan masih sempat-sempatnya membeli novel baru. Ibu nggak percaya kamu
bisa belajar kalau ada novel baru. Ibu tahu sifat jelek kamu kayak apa.”
Selama ini Bintang bisa
menahannya, tapi sekarang tidak. Air mata Bintang berhasil lolos begitu saja.
Kata demi kata yang Ibu ucapkan menggores perasaan Bintang.
Ini memang risiko Bintang
yang tidak ingin memperlihatkan bagaimana usahanya belajar pada orang lain,
hingga ia dianggap hanya terus bermain. Tapi dari hasil ujiannya sampai saat ini
sudah cukup memuaskan, apa harus dianggap sebagai keberuntungan juga?
“Bintang belajar, Bu.
Ranking dua di kelas dan ranking enam seangkatan apa Ibu tidak lihat, hanya
karena dua mata pelajaran Bintang yang kurang?” Bintang hanya bisa membela diri
dengan suara yang lirih, tubuhnya pun gemetar saat ia berusaha tidak ingin
mengeluarkan isakan dari mulutnya.
Saat itu juga Gina
tersadar, dengan apa yang dilakukannya pada Bintang. Ia hanya berpikir jika
anaknya itu harus ditegasin, karena apa yang dilihat selama ini membuatnya
sulit percaya dengan ucapan Bintang yang berkata akan belajar.
Sampai membuat Bintang yang
keras kepala menangis, Gina merasa sudah berlebihan. Karena terlalu khawatir
Bintang tidak dapat meraih cita-cita, membuatnya sedikit emosional. “Huh ...
masuk ke kamarmu dan belajar. Ibu sudah membereskan novel-novelmu untuk
sementara, sampai kamu dinyatakan lulus kuliah Kedokteran.”
Novel yang baru Bintang
beli, hatinya miris melihat semua tergeletak seperti sampah. Mau bagaimana
lagi? Jika diteruskan dan Bintang melawan, pertengkaran itu hanya merugikan
Bintang. Pasti nanti akan sampai ke telinga Ayah-nya, yang tentu saja
diceritakan oleh Ibu dengan versinya. Di mana Bintang akan semakin jadi yang
bermasalah.
Saat Bintang ingin ke kamar
melewati Ibu. Ada satu kalimat yang membuat Bintang lega untuk tetap diam dan
membiarkan Ibu menuduh sesuka hatinya. “Ibu harap Ayahmu tidak pernah melihat
sikap keras kepalamu ini.”
Seperti sudah
terkonfirmasi, Bintang melesat ke kamar dan mengunci pintu ganda. Melempar tas
ke sembarang arah dengan dirinya duduk bersandar pada daun pintu.
Dadanya terasa sesak, air
mata tidak berhenti mengalir, Bintang sudah tidak kuasa mengendalikannya lagi.
Ia hanya bisa memukul-mukul dada berharap sesaknya menghilang.
Bintang sadar betul dengan
kemampuan dan kecerdasannya, ia pikir itu semua seperti sang Ayah. Tetapi
perasaan yang lemah dan keras kepala, itu murni diturunkan Ibu-nya. Walau
begitu, akar tidak bisa disalahkan, orang tuanya tidak salah walau sudah
membuat Bintang benci dengan keadaan saat ini.
Hati Bintang menolak
membenci orang tuanya. Ya, ada cerita yang membuat orangtua Bintang tidak bisa
fleksibel dengan pilihan Bintang. Dan itu tidak bisa diubah begitu saja.
Perasaan bimbang dan
terkadang terlintas ingin menyalahkan sesuatu membuat Bintang tidak mudah
menghentikan tangisannya. Sudah dua jam masih berlangsung, hingga rasanya
pasokan air mata Bintang habis dan kering. Tersisa sesegukannya yang terasa
sesak.
Setelah bisa menguasai
diri, ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak butuh waktu, Bintang
berbaring di ranjang mengatur napas dalam keheningan. Jika seperti ini ia jadi
tidak mood belajar, namun juga bosan tidak melakukan apapun.
Dalam pikirannya yang
random, ia kembali mengingat-ingat hal yang menyenangkan. Perasaan saat memilih
novel-novel yang ia beli hari ini. Bintang bahkan mengingat sinopsis novel
terbitan baru yang sangat membuatnya penasaran.
Seketika Bintang terbangun
dari pembaringan. Ia teringat jika masih ada novel yang selamat!