~~~ 3 bulan sebelumnya ~~~
“Kemosintesis adalah reaksi anabolisme yang menggunakan energi dari reaksi kimia. Kemosintesis digunakan oleh beberapa jenis bakteri ....” Bintang menjatuhkan kepalanya di atas buku. Ia sudah bosan membaca bahasa rumit itu tapi tidak juga menghafalnya.
Dengan berat, Bintang mengangkat kepalanya kembali melanjutkan bacaannya. “Misalnya bakteri nitrit, Nitrosomonas dan Nitrosococcus. Bakteri nitrat, Nitrobacter. Bakteri belerang, Thiobacillus, Beggiatoa, dan Thiothrix. Serta bakteri besi, Cladotrix.” Seketika rasa gatal merambat di sela rambutnya hasil rasa frustasi. “Ah ... gimana bisa hafal?! Susah banget!” teriaknya.
Bintang berpaling membuka laptop, file bernama ‘kerangka cerita’ melanjutkan point yang sudah ada sebelumnya. Jemari yang menari di atas keyboard bersama detik jam yang berputar menghasilkan suara yang harmoni dalam keheningan. Imajinasi pun tergambar jelas di dalam pikirannya bagai sebuah film, lalu ....
“Bintang!”
Bintang menoleh mendapatkan Gina, ibunya, memasuki kamar dengan membawa setumpuk buku. Reflek laptop ia tutup sebelumnya karena terkejut.
“Singkirkan laptopmu!” Gina meletakan tumpukan buku itu di meja belajar Bintang. “Ibu sudah carikan buku-buku Ayahmu, kamu bisa mempelajarinya.”
Mata Bintang melotot horor. Bukan hanya tumpukan buku, tapi satu bukunya saja setebal kamus. “Ibu nggak bercanda kan? Ini banyak banget, gimana aku hafalinnya?”
“Melihat Ibu mencari dan membawanya sendiri, menurutmu bercanda? Ya kalau kamu mau jadi Dokter, pelajari mulai dari sekarang, baca berulang-ulang, nanti juga hafal sendiri di luar kepala. Kamukan pintar, Ibu yakin kamu bisa.” Dengan ringan Gina memberi wejangan, seakan apa yang dikatakannya itu mudah dilaksanakan.
Sudah mual Bintang hanya membayangkan isi buku ilmiah itu. Ya, buku ilmiah! Karena itu buku Ayahnya saat kuliah kedokteran, bukan sekedar buku pelajaran biasa. “Siapa juga yang bilang mau jadi Dokter.” gerutunya.
Gina mencubit lengan Bintang pedas. “Kamu ini kalau diomongin orang tua ngejawab aja! Kamu sendiri yang dulu masih kecil bilang cita-citanya mau jadi Dokter. Harusnya kamu tanggung jawab atas ucapanmu, dan bersyukur orang tua kamu mendukung. Dulu perjuangan Ayah dan Ibu untuk bisa menjadi sekarang itu tidak mudah. Kamu nggak kasihan sama Ayah yang kerja dari pagi sampai malam untuk mempersiapkan masa depanmu nanti?”
“Tapi, Bu-”
Gina memotong ucapan putrinya. “Daripada kamu baca novel nggak jelas, lebih baik persiapan untuk SNBT yang semakin dekat. Ibu perhatikan kamu sering di depan laptop. Ngapain? Nulis? Memangnya apa yang kamu dapat dari menulis? Kamu harus semangat belajar dong, Nak. Jangan buang-buang waktu, buktikan dan buat Ayah dan Ibu bangga kalau kamu berhasil meraih cita-citamu. Di saat itu terjadi, kami akan merasa berhasil menjadi orang tua.”
Pembicaraan Ibu sangat serius hingga sulit untuk Bintang tanggapi, namun ... hatinya tidak terima jika apa yang dilakukan dinilai tidak menghasilkan apapun. Untuk saat ini memang belum, karena baru seperti ini saja membuat Bintang sulit terbuka.
“Bu ... tolong jangan bilang kalau Bintang menulis untuk main-main. Itu passion-ku, dan memang nggak instan untuk-”
“Lalu apa yang bisa kamu buktikan?” Lagi-lagi Gina menghentikan pembelaan Bintang. “Ibu tahu kamu itu cuma suka sesaat, nanti juga bosan. Kamu menjadikan menulis alasan biar nggak mau belajar, bagaimana kamu bilang itu passion? Sekarang tugas kamu hanya fokus untuk SNBT. Dan sementara laptop kamu Ibu yang pegang.” Gina mengambil laptop tanpa izin putrinya, lalu pergi setelah memberikan cium tangan di pipi.
***
Tergesa-gesa Bintang melebarkan langkah kakinya di menit terakhir, sebelum bel masuk kelas berbunyi. Kesalahan besar saat ia kesiangan dihari yang memiliki mata pelajaran pertama seorang Guru killer, hingga berpacu dengan waktu yang tersisa hitungan detik ....
Teeettt~
Tepat kaki memasuki kelas, bel berbunyi menutupi suara deru napasnya yang memburu. Seperti keberuntungan berpihak pada Bintang.
Namun tiga langkah Bintang semakin memasuki kelas, Mrs. Emely, Guru Bahasa Inggris-nya pun sampai di depan kelas dan melihat Bintang masih dengan tas di punggungnya.
“Bintang, saya lihat kamu juga baru datang.” Sorot mata tajam Mrs. Emely tak terelakkan. Suara langkah sepatu mengisi pendengaran Bintang, berhasil memberi kesan horor tersendiri.
“Kenapa diam saja? Duduk di tempatmu. Beruntung saya telat satu menit, karena ada urusan. Kalau tidak kamu harus bernyanyi di depan kelas. Jangan ulangi lagi!” ucapan Mrs. Emely sambil berlalu begitu menyeramkan.
“I-iya, Mrs,” jawab Bintang bergegas ke meja-kursinya.
Yang benar saja, bernyanyi? Dan itu harus lagu inggris. Sedangkan Bintang hanya hafal lagu Frozen ‘Do you want to build a snowman....’ Ya, kira-kira begitu.
Pelajaran Bahasa Inggris begitu intens dan disiplin tinggi hingga sulit untuk siswa melakukan kesalahan, apa lagi tertidur di dalam kelas. Tapi yang namanya Bintang membenci mata pelajaran satu ini, perasaan bosan menyerangnya, kantuk pun mustahil untuk ditahan.
Mata Bintang sudah sangat berat, kepalanya pun mengangguk-angguk. Lagi-lagi keberuntungan memiliki teman yang baik, menggunakan trik kecil untuk menutupi kesalahannya.
Sasa, teman sebangku Bintang, menumpuk bukunya dan buku Bintang tinggi di depan tanpa dicurigai Mrs. Emely.
Sampai pelajaran Mrs. Emely pun berlalu, sebelum panggilan Guru killer itu membangunkan Bintang.
“Bintang!”
Seketika Bintang terbangun dengan sikap duduk sempurna dan matanya mengerjap-ngerjap. Mrs. Emely sempat mengerutkan keningnya dengan pergerakan Bintang yang tidak biasa, tapi ia tidak ingin berpikir panjang.
“Temui saya di ruang Guru.”
Masih keadaan setengah sadar Bintang mencerna perintah itu, sambil meratapi kepergian Mrs. Emely dengan tatapan kosong khas orang bangun tidur.
“Hei! Kok bengong. Cepat samperin Mrs. Emely.” Sasa jadi gemas tapi juga kasihan.
Mengucak kedua matanya Bintang dan ngulet sejenak. “Thank’s ya, udah bantuin.” Bintang melihat tumpukan buku di depannya pasti ulah Sasa. “Hah ... perasaan gue nggak ada masalah, kenapa dipanggil ya? Tadi nggak ketahuan, kan?”
“Nope. Lagian nggak perlu ada masalah juga kali buat Guru manggil lo.” Sasa merapikan bukunya kembali, sebelum keluar kelas. “Ya udah, gue sama yang lain ke kantin duluan ya. Nyusul loh ke tempat biasa.”
Bintang melambaikan tangannya, lalu merapikan diri untuk ke ruang Guru. Rasanya masih mengantuk, jadi ia ke toilet terlebih dulu untuk mencuci muka.
Memperhatikan diri di cermin toilet, Bintang mempertanyakan perasaannya yang tidak enak. Seperti akan ada hal buruk terjadi, atau ... hanya pikirannya saja terlalu memikirkan maksud Mrs. Emely memanggilnya.
Who know? Yang pasti Bintang merasakan kecemasan tanpa sebab sepanjang hari ini. Mood-nya pun menjadi tidak bersahabat.
***
Orang tua yang selalu mendukung penuh cita-cita anaknya, berusaha yang terbaik untuk sang anak, karena menganggap cita-cita sang anak adalah kesuksesan hidupnya. Tanpa disadari dukungan yang kaku tersebut menjadi tali mengekang, hingga membuat sang anak tidak memiliki pilihan lain.
Meraih cita-cita atau dianggap menghancurkan usaha orang tuanya.
Seperti Bintang kecil yang tidak tahu apa-apa dan hanya asal bicara, karena tidak paham betul arti cita-cita berkata ‘ingin menjadi Dokter’. Berakhir menyesal saat mengetahui kompetensinya bahkan tidak mencapai nilai minimum untuk kuliah Kedokteran. Tuntutan orang tua mencekiknya dan tidak diberi pilihan lain.
Keinginannya dulu yang bermaksud mulia terinspirasi dari perjuangan sang Ayah saat memulai karir sebagai Dokter, tapi sekarang seperti mimpi buruk untuk Bintang.
“Kamu tidak ingin mempertimbangkan lagi pilihanmu, Bintang? Dengan nilaimu, sayang jika kesempatan SNBP tidak dibuat strategi yang baik. Mungkin dengan kamu memilih jurusan yang lain, kamu bisa diterima.”
Di ruang Guru. Rupanya Bintang dipanggil oleh Mrs. Emely untuk membahas pilihannya di SNBP. Ya, Guru killer itu juga wali kelasnya.
Saat ini juga ada Bu Ifa, Guru Konseling yang sedang mencoba bernegosiasi dengan Bintang dengan apa yang dipilihnya. Sangat terlihat jika Guru itu lebih berhati-hati dalam menyampaikan, agar tidak disalahpahami oleh Bintang.
Bintang menunduk yang sebenarnya tidak ingin menjawab hal yang tidak bisa ia pilih lagi. Mau apa? Selain Kedokteran, orangtuanya menganggap keberhasilan pada pilihan lain tetaplah sebuah kegagalan.
“Bintang, tolong jawab. Kenapa kamu menunduk seperti itu? Kamu tidak melakukan kesalahan, santai saja,” seru Bu Ifa lagi, memecah keheningan mengira Bintang sedang gugup.
Bintang mengangkat kepalanya sedikit mencuri pandang dua Guru di depannya dengan tersenyum kikuk.
“Jika kamu tidak ada rencana mengubahnya, pilihan kedua jangan di jurusan yang sama dengan universitas yang sama terkenalnya. Kecuali dari awal kamu tidak berniat lolos SNBP ini.” Mrs. Emely sekali yang bicara dengan tajam. Walau begitu maksudnya juga baik, karena sayang jika kuota SNBP sudah ditangan Bintang namun seperti disia-siakan.
“Nilai saya cukup tinggi, Bu. Tapi kenapa harus dipertimbangkan lagi di jurusan yang saya pilih?” Bintang pura-pura polos untuk mengulur percakapan, ia merasa tertekan saat ini.
“Banar, hanya saja nilai pendukungmu tidak memenuhi syarat, Bintang. Lihat, nilai Biologi 80, lalu Bahasa Inggris 76. Ini saja nilai rapor yang sudah dibentuk sedemikian rupa agar menaikkan nilai aslimu. Jika kamu ingin di jurusan Kedokteran, minimal semua mata pelajaran memiliki nilai 90.” Sejenak Mrs. Emely membuat jeda.
“Saya heran, dibanding dua pelajaran yang saya sebutkan, nilai pelajaran lainnya kamu bisa menyentuh angka 90. Sebenarnya, kami Guru yang tidak becus mengajar, atau kamu yang membenci dua pelajaran itu?” lanjutnya.
Karena Bintang dianggap sulit diberitahu, Mrs. Emely menyampaikannya dengan blak-blakan. Apa lagi pelajaran Bahasa Inggris adalah yang diajarkannya sendiri. Jujur saja, sebagai Guru, Mrs. Emely sangat terganggu dengan nilai Bintang yang bisa seperti itu.
Bukannya Bintang tidak pernah memikirkan pilihannya dan realistis dengan kemampuannya. Tapi memang, aneh jika Bintang bisa hanya membenci dua pelajaran yang dipertimbangkan untuk jurusan Kedokteran saja.
Tanpa disadari, itu adalah bentuk protes Bintang yang sudah tidak ingin menjadi Dokter.
Walau begitu, orang tuanya juga tahu seperti apa nilai Bintang. Namun mereka seakan menutup mata dan telinga, terus berkata, “Kalau cita-citamu ingin menjadi Dokter sejak kecil, maka itulah yang harus kamu perjuangkan. Biar kamu tidak menyesal seperti kami, karena tidak pernah diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup kami sendiri. Kamu beruntung diberi kemudahan dengan kami yang akan mendukung keinginanmu. Dulu kami sangat sulit, bahkan kami harus bekerja sangat keras terlebih dahulu untuk bisa meraih cita-cita kami.”
Tanpa menghargai apa yang disukai dan diinginkan Bintang saat ini. ‘Apa bedanya nasib mereka dulu dengan gue yang sekarang?’ pikir Bintang.
“Bintang, kamu melamun?” panggil Bu Ifa menggonjang tangan Bintang yang sedari tadi hanya diam dengan tatapan yang kosong.
Bintang tersentak. “Ah! Maaf Bu. Saya baru teringat sesuatu tadi. Saya coba diskusikan lagi dengan orang tua, tapi sampai batas waktu saya belum mengubahnya berarti pilihan saya tetap sama.” Tidak ingin berlama-lama, Bintang menjawab dengan tarik ulur yang tegas. Ia tidak memberi jawaban langsung untuk menghargai maksud Gurunya.
“Dan untuk nilai ... saya minta maaf Bu. Saya memang tidak bisa mengikuti dua pelajaran tersebut. Bukan karena Ibu yang kurang dalam mengajar, tapi saya yang lemah dalam pelajaran itu.” Dan untuk pertanyaan tajam Mrs. Emely, Bintang menjawab dengan rendah diri. Guru killer harus dihadapi dengan kelemahan agar harga dirinya tetap tinggi.
Mrs. Emely mengerutkan keningnya, namun membiarkan Bintang yang menjawab seperti itu. Melihat jam istirahat sudah berjalan setengahnya, Mrs. Emely mengakhiri saja pembicaraan ini. “Baiklah. Kamu boleh istirahat.”
“Baik, Mrs. Terima kasih. Bu Ifa, saya pamit.” Tetap sopan, tapi sebenarnya Bintang senang karena berhasil keluar lebih cepat. Interogasi tadi sangat menguras energinya, apa lagi dengan perkataan Mrs. Emely yang ... seperti duri beracun.
“Tapi Bu, bagaimana dengan rencana kesepakatan-” Bu Ifa bingung dengan Mrs. Emely yang menyuruh Bintang kembali, padahal jawaban Bintang masih menggantung.
Mrs. Emely berpikir sejenak, ia bisa melihat jika Bintang adalah anak yang cerdas yang mungkin masalahnya bukan hanya karena kekeraskepalaan semata. “Apa Bu Ifa tidak sadar? Maksud anak itu tidak akan mengubah pilihannya. Alasannya, hanya anak itu yang tahu.”
Bu Ifa masih merasa sayang dengan nilai Bintang, tapi mau bagaimana lagi. “Kalau begitu saya akan input sesuai data yang ada saja. Terima kasih bantuannya, Mrs. Emely.”