Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bulan di Musim Kemarau
MENU
About Us  

Ranting pepohonan saling berpadu, menjalin harmoni layaknya suara instrumen musik yang bertabrakan. Angin malam mulai berembus, menyapa setiap dedaunan yang dihinggapinya. Kering, seakan tak ikhlas tuk singgah, melainkan terpaksa. Kemarau menggerus subur seperti waktu yang habis dimakan jarum jam yang berjalan dalam hening detik.

Di bawah cahaya bulan, yang pendarnya menerpa wajahku samar-samar, aku duduk di sebuah kursi taman dengan rileks dan mengobrol dengan seorang gadis yang berada di sampingku. Menghabiskan malam yang semakin larut dan pekat, begitulah kenyataannya. Namun nalarku justru berkata sebaliknya, kami sedang menyelami dunia lain. Dunia aku dan dia yang terang benderang.

Namanya Luna. Sudah dua minggu aku bertemu dengannya, di tempat yang sama seperti saat aku bersamanya sekarang. Setiap aku ke taman di depan rumahku sekitar pukul delapan, dia sudah ada di sana. Dan selalu seperti itu, dia selalu menjadi yang nomor satu.

Terkadang kami belajar bersama. Di lain waktu, kami habiskan waktu kami untuk saling berbagi cerita. Tentang pelajaranku di sekolah, tentang keluargaku yang heboh, atau tentang gadis-gadis yang mencoba mendekatiku. Tak ada yang luput dari obrolan kami. Kuceritakan semua padanya, seakan dia adalah tong sampah curhatanku yang tak pernah terisi penuh dan selalu menunggu cerita-cerita lainnya.

Luna adalah gadis yang cantik. kulitnya putih bak diterpa cahaya bulan. Pipinya tirus seakan para pemain ski sudah sering meluncur di sana. Rambutnya terurai lurus hingga memeluk punggungnya. Dan, senyumannya yang teduh, membuatku seperti sedang dipeluk sang dewi bulan yang jatuh cinta padaku. Rasanya, aku tidak bisa jika dipaksa untuk mengatakan bahwa aku tidak menyukai dirinya.

Keluarga Luna  baru saja pindah, bertepatan dengan saat aku pertama kali bertemu dengannya, sekitar dua minggu lalu. Rumahnya bersebelahan dengan rumah keluargaku. Namun keluargaku belum pernah sekalipun berbicara ataupun sekadar berkenalan dengan keluarganya. Papanya Luna kelihatan kurang minat bersosialisasi. Dia jarang terlihat ke luar rumah. Namun aku tidak pernah menanyakan hal itu pada Luna.

“Selama ini, aku selalu bercerita tentang kehidupanku padamu,” ucapku pada Luna. “Bagaimana jika saat ini, kamu yang bercerita padaku tentang kehidupanmu?”

Dia tersenyum singkat. “Untuk apa? Bukankah semua yang dibutuhkan manusia adalah pandangan pertama dan penampilan luar?”

“Hah, jadi maksudmu penampilan dalammu itu buruk ya?”

 “Dan, dengan kata lain, kamu mengatakan bahwa penampilan luarku itu bagus?”

Aku terdiam sejenak. Dia membalikkan situasi.

“Ya, menurutku, kamu menarik. Dan, aku menyukai dirimu yang seperti ini. Namun, tidak bisakah aku mengetahui tentangmu lebih dalam lagi?” ungkapku padanya.

Luna memalingkan pandangannya dari arahku, dan melemparkannya ke arah langit. Dia menatap langit dengan sempurna, seakan meminta rembulan menjemputnya kembali ke kahyangan.

“Kehidupanku berjalan seperti yang dirasakan manusia normal. Hanya saja, ya, aku sedikit sibuk. Aku dihadapkan dengan berbagai pelajaran tambahan. Jadi, jangan sekali-kali menghampiriku ke rumah di siang hari, ya? Kita, kan punya waktu yang panjang di sini. Di malam hari. Hanya kita berdua. Hanya cerita tentang kamu dan aku,” ujarnya tanpa membiarkan senyumnya sirna. Cahaya rembulan makin menguatkan senyumnya.

“Oh, iya, kamu sekolah di mana? Mungkin sesekali kita bisa pergi sekolah bersama-sama, jika sekolah kita berdekatan?” tukasku, mengharapkan lebih banyak informasi tentang Luna yang bisa kudapatkan.

“Jangan, Daren, aku tidak bisa,” kini matanya kembali menghunus ke arahku. “Setiap hari, aku selalu diantar-jemput oleh orang tuaku.” Matanya seakan menghela napas, berharap tidak ada pemaksaan.

“Baik, baik, maafkan aku, Luna.”

Kemudian, aku merebahkan tubuh dan memasrahkan pandanganku untuk mengalah ke hadapan langit malam yang luas. Bintang-bintang bertebaran di atas sana, seperti butiran gula yang baru saja ditaburkan ke dalam secangkir kopi hitam pekat. Luna merebahkan tubuhnya pula, mengikuti irama malam yang membungkus bulan yang kini bulat sempurna seakan mengandung harapan-harapan Luna yang akan lahir suatu saat nanti. Walaupun aku tidak tahu itu, aku selalu yakin, luna selalu menitipkan doa ketika memandang bulan. Seakan dia dan bulan adalah ibu dan anak yang selalu mampu berkompromi.

**

Aku dan Luna sudah semakin akrab. Sama seperti enam bulan yang lalu, saat pertama kali bertemu dengannya, kami hanya berbagi cerita di malam hari saja, di taman yang berada di depan rumahku. Namun aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bagiku, bisa bertemu dengannya setiap hari, merupakan  belahan dunia yang indah.

Tapi, sudah dua hari ini aku tidak melihat Luna. Setiap kali aku ke taman di malam hari, dia tidak memainkan perannya sebagai orang yang selalu mendahuluiku. Ketika kutunggu kehadirannya selama berjam-jam di sana, dia pun tidak kunjung tiba. Dia seolah lenyap, lupa akan dunia lain yang seharusnya hanya diisi olehku dan dirinya.

Aku sempat mencoba mengunjungi rumahnya, namun rumah itu seakan tuli, atau memang tak peduli. Tidak ada satu respon pun yang mendarat kepadaku.

Aku semakin khawatir. Aku merasa ketakutan. Takut kehilangan setengah kehidupanku. Kemanakah Luna? Akankah dia kembali? Atau, apakah benar teori kekanak-kanakkanku tentang dirinya yang merupakan bidadari yang turun ke bumi, lalu telah kembali ke langit?

Pertanyaan-pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan, dan akan tetap seperti itu hingga menjadi fosil.

Beberapa hari kemudian, rumah Luna ramai sekali. Banyak tetangga yang berdatangan. Kulihat ada ambulance serta mobil polisi yang parkir di depan rumahnya. Dari balik pintu, Papanya Luna terlihat seperti orang yang sedang mabuk. Ekspresinya kacau dan dirasuki amarah.

Aku bergegas ke sana, berlari sekencang-kencangnya.

“Ada apa ini, Pak?” sosorku ke arah salah seorang polisi.

“Orang yang barusan kamu lihat itu, dia adalah pelaku penculikan manusia. Dia menculik manusia untuk dijadikan pelampiasan nafsu. Lebih parahnya lagi, manusia itu disiksa, dan tak jarang pula menewaskan korbannya,” Pak Polisi berjanggut tebal itu menjelaskan dengan santai, seakan dia tengah membicarakan pengalamannya menonton proses pemotongan sapi kurban.

Pikiranku tak jernih lagi. Banyak tanda tanya yang belum terjawab. Kini, kekhawatiran lain pun mulai melanda. Kuterobos sejumlah polisi yang berdiri di sepenjuru rumah itu. Dan, ketika kulihat di salah satu kamar, kutemui sesosok gadis yang terbujur kaku. Wajah gadis itu pucat. Matanya ditutup kain berwarna hitam. Dia tidak mengenakan sehelai pakaian pun. Tangan dan kakinya telah diamputasi, menyisakan lengan dan paha saja yang melekat di tubuhnya. Jeratan tali melingkari tubuh gadis itu. Dia tampak seperti sebuah boneka yang kapan saja siap dipakai sebagai objek siksaan.

Kubuka kain yang menutupi matanya. Dan ketika kulihat, matanya telah tertutup. Bukan penderitaan yang menggurat di sana, tetapi secercah bahagia. Bibirnya juga tidak mengilaskan kesedihan. Walaupun samar-samar, namun aku yakin ada seutas senyum yang disampaikan oleh bibirnya.

Tubuh itu adalah tubuh Luna. Luna yang setiap malam membangun dunia lain bersamaku. Namun kenyataan yang kulihat bukanlah ilustrasi dari kisah yang Luna sampaikan. Tempat ini adalah gubuk derita baginya.

Ketika malam tiba, aku mencoba untuk pergi ke taman kembali. Tetapi aku tidak menemui apa-apa, selain angin musim hujan yang tak bersahabat.

 Saat aku hendak kembali ke rumah, tiba-tiba sekilat cahaya mengutus ke arahku. Ada sosok yang berpendar. Luna.

“Terima kasih sudah menemaniku selama musim kemarau yang lalu, Daren. Berkatmulah, Bulan senantiasa mendengarkan harapanku. Harapan melihat dunia ini untuk terakhir kalinya, walaupun bukan tubuhku yang menyaksikannya, melainkan sekadar jiwaku. Bagiku, kebersamaan kita adalah cerita yang tak akan bisa dipunahkan bahkan oleh masa sekalipun.”

“Mau kemana, Luna? Masih banyak waktu yang ingin kuhabiskan bersamamu!” seruku padanya. Aku tak kuasa menahan air yang mulai mengalir di kelopak mataku.

“Waktunya sudah habis, Daren. Bulan hanya berkuasa penuh di saat kemarau. Saat hujan turun, aku tak mampu bertahan lagi. ini adalah kesempatan terakhirku. Dan ini adalah pelukan pertama dan terakhirku padamu.”

Luna menghampiriku, lalu mendekapku dengan erat. Untuk pertama dan terakhir kalinya pula ia berkata, “Aku mencintaimiu.”

Kemudian, hujan turun deras.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
HARMONI : Antara Padam, Sulut dan Terang
1317      616     5     
Romance
HARMONI adalah Padam, yang seketika jadikan gelap sebuah ruangan. Meski semula terang benderang. HARMONI adalah Sulut, yang memberikan harapan akan datangnya sinar tuk cerahkan ruang yang gelap. HARMONI adalah Terang, yang menjadikan ruang yang tersembunyi menampakkan segala isinya. Dan HARMONI yang sesungguhnya adalah masa di mana ketiga bagian dari Padam, Sulut dan Terang saling bertuk...
Little Spoiler
1098      663     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Moment
328      280     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
KATAK : The Legend of Frog
434      351     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Nightmare
448      308     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
20653      3302     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Wanna Be
6245      1723     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
Pisah Temu
1069      571     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
Je te Vois
1100      681     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Hanya Untukku Seorang
1080      583     1     
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin “Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,” Hyun soo - Siwon “I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”