Masih terlalu pagi untuk membuka mata, tetapi suara grasak-grusuk di sekitar kamar membuat Selgi terjaga. Netranya menyipit, menyesuaikan dengan sorot lampu yang menyala. Ia menggeliat sebelum bersandar pada kepala ranjang, menatap sosok wanita dewasa yang tengah bersiap di depan meja rias.
“Oh, maaf, aku membangunkanmu.”
Selgi tersenyum, menoleh sekilas pada jam dinding yang masih menunjuk pada angka setengah lima. “Kak Airin udah mau berangkat?”
Airin mengangguk.
“Tumben pagi banget.”
Airin merapikan kembali alat make up yang sudah selesai digunakan. Tampilannya yang sederhana tidak mengurangi kecantikan wanita itu. “Aku udah janji harus ada di sana sebelum dia bangun. Takutnya kalau telat, dia akan ngamuk. Tahu sendiri, ‘kan, pasienku nggak bisa diprediksi.”
“Pasien baru, ‘kah?”
“Heum, dia baru datang kemarin dan katanya langsung menyukaiku.”
“Seorang pria?”
Airin menggeleng. “Wanita itu sepertinya seusia ibuku atau mungkin lebih muda? Dia sangat cantik, tapi sayangnya ….” Airin tidak melanjutkan kalimatnya. Terlalu sakit mengingat kondisi wanita itu saat pertama kali datang.
“Kak Airin pasti bisa membantunya,” kata Selgi, tidak ingin melihat Airin bersedih.
“Pasti, aku akan berusaha.”
Airin berdiri, menyambar tas jinjing yang sudah dipersiapkan sebelumnya di kasur. Ia mendekat di sisi Selgi, menatap teduh gadis itu. “Aku berangkat, ya. Jangan terlalu keras bekerja sampai membuatmu stres!”
Selgi mengangguk patuh, meskipun seringnya abai akan pesan Airin. “Kak Airin juga nggak boleh lupa makan.”
Airin tersenyum manis, melambai sebelum keluar kamar dan menutup pintu perlahan.
Kamar itu kembali sunyi. Selgi termenung, mengingat awal pertemuannya dengan Airin di rumah sakit satu bulan lalu. Selaras dengan parasnya yang menawan, julukan dokter berhati malaikat sangat cocok disematkan padanya. Airin dengan tangan terbuka menerima Selgi untuk tinggal di apartemennya karena kondisinya yang tidak stabil kala itu, dan terus berlanjut hingga sekarang.
Selgi meraih scrunchie di nakas, mencepol rambut panjangnya. Ia merapikan kasur sebelum ke kamar mandi. Langkahnya terhenti, tidak sengaja melihat saputangan asing yang tergantung di sisi pintu.
Sudah seminggu berlalu, dan mereka tidak pernah bertemu lagi.
= DMG =
Jarak apartemen ke rumah sakit yang tidak jauh hanya membutuhkan waktu lima menit, didukung oleh lalu lintas yang masih sepi di pagi buta ini. Setelah memarkirkan mobil di basement, Airin bergegas menuju departemennya. Yang namanya rumah sakit selalu ramai sepanjang hari, sehingga ia tidak perlu was-was berjalan seorang diri.
“Hoaaam … Perasaan baru tidur, udah pagi aja,” gumam Bayu seraya menarik kedua tangannya ke atas guna menghilangkan pegal karena tidur dalam posisi duduk. Ia keluar dari ruang dokter, dan belum menyadari kehadiran Airin.
Berbalik, Bayu terlonjak mendapati Dokter Airin berdiri di belakangnya. Ekspresi kagetnya langsung berubah jadi senyum buaya. “Haduh, makin semangat, nih, pagi-pagi didatangi bidadari.”
Airin tertawa kecil, semakin membuat Bayu terpesona.
“Mau visit ibu cantik, Dok?”
“Hm, bagaimana kondisinya semalam?”
“Aman, Dok. Semuanya stabil, meskipun harus dibantu dengan obat penenang agar bisa tidur.”
Airin mengangguk. “Oke, sebisa mungkin kita harus memperhatikannya dengan baik. Mengingat kondisinya kemarin, lengah sedikit aja bisa berakibat fatal. Untuk keluarganya sendiri, apa udah ada kabar?”
Bayu menggeleng lesu. “Mungkin kita harus menunggu, Dok, karena pihak dinas sosial menemukan ibu itu mengamuk di pinggir jalan, dan tidak ditemukan kartu identitas apa pun bahkan untuk bertanya nama aja, ibu itu masih sulit diajak berkomunikasi.”
“Iya, kamu benar … Yaudah, kamu siap-siap dulu, kita mulai jam delapan.”
“Siap, Dok.” Bayu membuat posisi hormat, memperhatikan Dokter Airin yang melenggang pergi sampai sesosok makhluk tidak diundang mencemari penglihatannya.
“Biasa aja itu mata, minta dicolok,” sindir Salsa.
Bayu berdecak, telunjuknya mendorong pelan dahi Salsa yang berada tepat di hadapannya. “Ganggu aja, Kutil.”
Salsa mencibir, tak urung mengekori Bayu.
Di sisi lain, Airin masuk ke ruangan khusus. Di dalam ruangan putih itu hanya ada sebuah brankar dengan seorang wanita di atasnya. Tubuh wanita itu terbelit kain putih, menyisakan kepala dan telapak kaki yang lecet.
Airin berdiri di sisi kepala, memperhatikan wajah pucat yang masih damai di alam mimpi. Terbesit rasa iba melihat wanita cantik itu terbaring di sana. Airin tetap di posisinya, menunggu sampai wanita itu membuka mata.
= D M G =
“Tidak perlu menunggu menjadi orang terdekat untuk saling mengulurkan tangan. Sekecil apa pun kebaikan, selagi dilakukan dengan tulus, sangat bermakna bagi yang membutuhkan.”