"Aku mencintaimu"
Itu bukan kata-kata bualan untuk orang itu.
Aku yakin, setiap orang yang bertemu orang itu pasti akan merasakannya dalam hati. Yaitu cinta. Tapi perasaan itu akan terhalang oleh ego dan gengsi.
Senyum indahnya, wajahnya yang tampan sekaligus cantik saat bersamaan, tawa ringannya, helai rambutnya yang selalu dibelai angin, penampilannya yang selalu memikat hati, wangi aroma khasnya, suara riangnya ketika memanggilku. Aku suka semua hal dari orang itu. Tak peduli apa kata orang, tak peduli dengan kata gengsi, aku sungguh menyayangi orang itu. Hanya dia yang menarik perhatianku di dunia yang busuk ini.
"Salah?! Banyak! Salah lo banyak! Elo udah nyerang gue tiba-tiba pas di gunung! Elu bilang gue jijik tapi elo tetap datang ke gue! Dan elo gak bertanggung jawab atas perasaan gue yang udah bikin lo campur aduk! Semua salah lo! Salah elo! Dan masalahnya, kenapa mesti elo! Hah?!"
Haha. Aku masih teringat bagaimana orang itu mengomeliku dengan kata-kata itu. Tentang salahku. Tentang aku yang harus bertanggung jawab atas perasaannya. Dengan wajah cantiknya, dia memarahiku dengan wujud menggemaskan. Rasanya ingin ku cubit dua pipi itu. Apalagi setelah mengucapkan kata-kata itu, rasanya aku....
Hampir gila.
Gila! Gila! Gila! Gila! Bagaimana aku seberuntung ini?! Perasaanku dengannya sama! Dan dia memintaku bertanggung jawab? Ya Tuhan! Rejeki nomplok ini! Dia memintaku untuk menjalin hubungan dengannya!? Tentu saja aku senang sekali saat itu. Setelah orang itu meninggalkanku dengan wajah merahnya di backstage panggung, aku tidak bisa berhenti tersenyum seperti orang gila! Ariel dan mamaku sampai heran, karena selama ini aku selalu berwajah muram.
Besoknya aku mengajak orang itu jalan, dan ku ungkapkan semuanya. Aku tidak pernah menyangka saat itu. Pada hari pertama jadian, aku langsung menciumnya! Dia pun tidak menolak sama sekali. Ya ampun, wajahnya sangat manis setelah ku lepaskan bibirnya itu. Apalagi saat ku peluk erat tubuhnya dan ku cium aroma khasnya. Aku benar-benar tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya aku pada hari itu.
Tapi saat itu aku berjanji, akan menyembunyikan hubungan kami di depan teman-temannya atau keluarganya. Aku tidak mau masa depannya rusak karena berhubungan denganku.
Karena aku sendiri sudah rusak.
***
Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar mandi. Aku yang masih di dalamnya segera membuka pintu.
"Lama banget! Elu ngelamun di dalam ya?" tanya Yulia di depan pintu.
"Hehe. Iya. Sorry," jawabku singkat sambil keluar kamar mandi. "Gila! Kalian semua disini nunggu aku, kaya jadi satpam kamar mandi!" candaku melihat semua teman cewekku yang berdiri di depan kamar mandi yang ku pakai.
"Elu sih! Pakai baju kaya gini lagi! Gua takut elu diapa-apain kaya tadi," kata Devi, salah satu dari mereka. "Apalagi tadi elu juga pernah digebukin tante-tante karena masuk kamar mandi sini, jadi kita jagain elu."
"Haha. Gak masalah. Aku gak takut tuh. Kalian juga tahu kan aku pernah bunuh empat orang," kataku sambil lihat cermin dan menata rambutku. Baju yang basah karena minuman Vicky tadi sudah ku ganti barusan dengan yang baru. Wajah dan rambutku juga sudah ku bersihkan.
"Tapi kamu tuh orang yang gak tega melawan cewek, jadi elu pasti nurut kalau diomelin tante-tante kan?" sindir Shania. "Apalagi cewek judes tadi."
"Hati-hati kalau omong, itu cowokku," ancamku sambil melap wajahku yang basah dengan sapu tangan.
Semua hening seketika. Pasti mereka merasa tidak percaya bahwa akhirnya setelah sekian lama aku punya pacar lagi.
"Eh, gila! Elu kok gak kasih tahu sih!"
"Ya Allah, cowok lu cakep banget! Dapat darimana?"
"Lah, nasib si Ariel gimana dong?"
"Ya ampun, pacar lu protektif banget! Elu deket sama kita aja langsung marah-marah dan minta putus. Masa dia gak tahu kalau hari ini hari terakhir elu bebas karena besok elu mulai tinggal di rumah sakit, Na?"
Aku hanya tersenyum pahit melihat kehebohan mereka.
***
Aku teringat saat aku makan siang bareng Vicky. Saat itu aku bersemangat sekali. Dan saat itu juga Vicky tersenyum sangat manis. Aku ingin membuat kenangan indah sebanyak mungkin dengannya.
Tapi semua rusak setelah Ariel dan Randa datang.
Ariel keterlaluan. Dia sangat teliti melihat kesalahan orang lain, seperti saat melihat ekspresi Vicky yang berbeda saat bersamaku. Tapi dia tidak pernah teliti melihat kesalahannya sendiri. Seperti saat dia berbohong pada Vicky dan Randa bahwa motornya mogok lalu dia memintaku untuk memperbaikinya. Padahal dia hanya menceramahiku.
"Salahku apa, Val? Kenapa kamu milih Vicku ketimbang aku? Apa bagusnya cowok suka dandan itu ketimbang aku hah?!" protesnya di belakang kantin saat berdua denganku.
"Hah.... Sudah ku bilang, dia seratus kali lebih baik darimu," kataku sambil menyalakan rokok dan menghirupnya.
Dia segera menarik rokok dari mulutku dan melemparnya ke tempat sampah, tanpa peduli itu jenis sampah apa. "Aku sudah bilang, berhenti merokok! Dan juga, apa kelebihan banci itu ketimbang aku hah?! Aku sudah menunggumu kembali sekian lama dan...."
Plak! Aku menamparnya lalu tertawa. "Haha. Lucu banget! Ada banci ngatain banci!" sindirku sinis. "Asal kamu tahu ya, kamu tuh yang banci. Dan kamu tahu kelebihannya? Dia lebih punya nyali timbang kamu yang bisanya cuma kabur pas pacarnya sekarat!"
Aku marah, tapi aku juga tertawa. Ariel benar-benar tidak waras. Dia mengejek orang lain dengan kalimat yang menggambarkan dirinya sendiri. Hah, dasar. Aku memilih berbalik meninggalkannya. Lebih menyenangkan melihat Vicky yang memang cantik daripada banci berlagak macho ini.
"Bukankah kamu udah maafin aku?" tanyanya bergetar, "Kapan kamu bisa bener-bener maafin aku dan kembali kaya dulu."
"Sudah ku bilang, aku udah maafin tapi gak bisa lupain. Seharusnya kamu tahu, luka yang kalian buat itu udah dalam banget disini. Aku cuma bisa jadi temanmu, gak bisa kaya dulu," ucapku sambil berjalan.
"Lalu kenapa harus Vicky? Kalau dia diposisiku dulu, dia pasti juga sama."
"Tidak," jawabku tegas sambil berbalik, "Dia itu berani. Kalau gak, pasti dia udah nyerah ambil jurusan yang dia mau dari dulu."
"Kalau gitu, gimana jadinya kalau aku bilang ke dia tentang jati dirimu yang sebenarnya?"
Deg! Aku kaget. Ku balik langkah kakiku kembali padanya. Ku cengkeram kerah bajunya. Tapi Ariel tetap menggertak, "Iya, dia memang pemberani. Gak kaya aku. Tapi gimana jadinya kalau dia tahu kamu yang sebenarnya? Apa dia masih mau pacaran dengan-"
Buk! Aku menonjok pipinya, bukan menamparnya lagi. Brengsek. Ku tumpahkan kekesalanku padanya melalui satu tonjokan itu. "Kalau kamu berani bilang ke dia, ku bunuh kau!"
Buk!
Ariel pun menonjok pipiku.
***
Ah, setelah jalan-jalan dengan para cewek, aku pulang ke rumah. Tidak ada yang istimewa di tempat ini. Cuma sebagai tempat untuk tidur saja bagiku. Mama, wanita yang melahirkanku itu seperti orang asing. Aku tidak pernah menyapanya, ataupun beliau menyapaku. Kalaupun kami saling bicara itu untuk hal penting saja atau sekedar ingin tahu.
Seperti yang ku lakukan sekarang. Aku masuk ke rumah dan beliau tidak menyambutku. Dia mengira aku seperti angin saja. Aku pun tidak mengucapkan salam.
Aku tidak menyukainya, tapi juga tidak bisa membencinya. Karena beliau adalah mamaku sendiri.
Jika kalian berpikir beliau adalah orang tua yang buruk, kalian salah.
Karena sebenarnya, beliau adalah orang tua yang sangat sangat sangat BURUK!
"Nak, tadi ada telpon dari Ariel ke nomor mama. Katanya pengen bicara sama kamu," kata mama sembari menonton TV.
"Oh ya, blokir aja."
"Dia itu pacarmu kan. Mama gak bisa berlaku jahat kaya gitu."
"Dia bukan siapa-siapaku, Ma."
Inilah yang ku sebalkan. Mama memihak pada anak lain daripada anaknya sendiri. Padahal sudah tahu siapa yang jadi korban. Tapi aku ogah menanggapinya. Aku tidak ingin dicap sebagai anak durhaka karena membantahnya.
"Oh ya, tadi Renata juga telpon," kata mama.
Aku langsung menjawabnya dengan semangat dari kamar. "Yang bener ma?"
"Lalu langsung mama blokir. Orang kok suka gonta-ganti nomor ponsel, ganggu anak orang lain lagi!"
Ya Tuhan.... Aku berusaha untuk sabar. Orang yang seharusnya dianggap pahlawan hidupku malah ditolak oleh mamaku sendiri. Tenang, tenang. Jangan jadi anak durhaka.
"Kalau ingin terima telpon orang, lebih baik kamu gak usah jual ponsel. Jual tas mama aja," katanya dingin.
"Gak mau. Itu ada kenangan dari pacarku. Lagian aku udah susah payah beli buat mama."
"Ariel ya?"
"Ya bukanlah!"
"Emang kamu dekat sama siapa lagi kalau bukan dia?"
Aku tidak menjawabnya. Aku memilih berbaring di kamar. Rasanya lelah hari ini. Jalan-jalan dengan teman SMA yang seharusnya menyenangkan malah jadi kacau. Vicky memergokiku dan mengira aku selingkuh. Dia tidak mendengar penjelasanku. Tapi kalau aku mau menjelaskan, apa aku bisa meyakinkan dia?
Sejak awal kan aku sudah berbohong padanya....
"Sebelum tidur, makan dulu," kata mama yang lewat di depan kamarku. "Besok kamu sudah tidak makan disini lagi kan?"
Oh, peduli sekali beliau, pikirku sinis. Aku segera beranjak dari kamar dan menuju meja makan. Dan astaga, mama sudah sudah siap di meja itu juga. Aku segera mengambil kursi di depannya dan mengambil piring untuk makan. Ada beberapa hidangan disini. Anehnya, ada makanan kesukaanku : Capcay. Mungkin mamaku ingin memberiku makanan enak terakhir sebelum aku keluar dari sini.
"Besok ke rumah sakit jam berapa?" tanya mama, sembari memakan makanannya.
"Jam delapan," jawabku singkat sambil menyantap masakannya.
"Besok mama libur, jadi bisa antar."
"Gak usah, aku bisa ke sana sendiri," kataku setelah menyelesaikan makanku dengan cepat. Aku segera membereskan alat makanku dan mencucinya langsung di westafel.
"Kok cepat sekali? Ini kan makanan kesukaanmu. Besok kamu harus mulai tinggal di rumah sakit."
"Tenang, aku gak berharap untuk sembuh kok," jawabku kejam sambil meletakkan piring di tempatnya.
Grep! Mama memelukku dari belakang.
Deg! Aku segera melepaskannya dan menjauh darinya. Napasku terengah-engah. Pikiranku berubah jadi kacau mendadak. Traumaku kembali. Mungkin mataku terlihat ketakutan sekarang. Seperti mata mamaku yang terlihat ingin menangis saat ini. "Kenapa? Kenapa mama masih gak bisa meluk kamu, Nak? Semuanya sudah selesai beberapa tahun lalu. Apa traumamu belum menghilang? Atau kamu masih membenci mama?" tanyanya beruntun dengan gemetar.
Aku mengusap wajahku yang mungkin tidak karuan. "Seharusnya mama lebih tahu dari siapapun, tapi mama memilih gak peduli kan?" kataku dengan kejam. Aku segera berlari keluar rumah. Tak ku pedulikan apapun. Aku berlari di jalanan seperti dikejar sesuatu, padahal tidak ada yang mengejarku. Napasku ngos-ngosan. Wajahku ketakutan. Kenangan burukku mulai bermunculan kembali. Mungkin orang-orang disekitarku mengira aku gila. Tapi aku tidak peduli.
Aku...
Aku ingin bertemu Vicky.....
Beberapa tahun terakhir ini, aku ketakutan untuk berhadapan dengan orang lain. Tidak terkecuali mama atau Ariel, yang padahal teman SMA ku sendiri. Kejadian itu sangat membekas di otakku. Bagaimana aku ketakutan dan sengsara, sementara tidak ada yang menolongku sama sekali. Saat kejadian itu, mama hanya melihatku jijik dan tidak percaya. Ariel malah membiarkanku tidak berdaya. Semua orang tidak ku percayai. Karena itulah, jika ada seseorang yang menyentuhku dari belakang, entah itu siapapun, aku langsung menghindar dan menyerangnya. Rasa takutku membangkitkan kebencianku pada semuanya.
Kecuali dia, Vicky.
Orang itu tidak hanya indah dari fisiknya saja, tapi juga hati dan mentalnya. Aku sudah pernah melukai seseorang didepannya, bahkan hampir menyerang Vicky sendiri. Tapi ketika aku terjatuh sakit, dialah orang yang tetap mengulurkan tangan padaku. Tidak peduli apa salahku. Dulu pun begitu. Ketika semua orang mendiamkanku dan membiarkanku menderita, hanya dia yang mau bicara padaku. Dia membuktikan bahwa dirinya berani melangkah maju melawan badai walaupun sudah jelas dia terluka. Aku justru merasa aman dan nyaman bersamanya. Saat tidur berdua di tenda, berjalan bergandengan tangan mendaki gunung, ataupun yang lain. Dia tidak menampakkan bahaya sama sekali untukku.
Vicky bukan banci, hanya androgini. Dia pahlawanku. Dialah orang yang paling ku cintai.
Langkahku pun berhenti. Aku merasa memang tidak waras sekarang. Setelah lari-lari tidak jelas belasan kilometer, aku berhenti tepat di depan rumah orang itu. Rumah Vicky. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Napasku masih terengah-engah. Ku sandarkan kepalaku di pagar rumahnya. Aku tidak berani memencet bel rumahnya, ataupun menyalami satpamnya untuk minta masuk ke dalam. Akulah yang pengecut. Sejak dari dulu aku hanya bisa sembunyi saat jatuh cinta padanya. Padahal dia yang bilang padaku untuk jadi 'pemberani'.
Vicky, aku kangen kamu...
Maafkan aku....
Aku duduk selonjor di depan pagarnya. Badanku serasa tidak bisa bergerak lagi. Ku pegangi perutku. Sakitnya terasa lagi. Kepalaku berat. Ku sandarkan tubuhku ke pagar, namun kepalaku tertunduk. Tersandar ke lututku yang ku tekuk dan peluk.
Ya Tuhan.....
Vicky.....
Ciiiiitttt!!!!! Datanglah sinar yang menyilaukan mata didepanku. Aku kepayahan untuk melihat benda apa itu. Oh, mobil pemilik rumah ini. Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil tersebut dan terkejut.
"Hei, apa yang kamu lakukan di situ? Bukankah besok kamu harus ke rumah sakit?!" tanyanya panik sambil berusaha menolongku.
Aku berusaha tersenyum manis, walaupun kelihatan pahit karena wajahku yang pucat. "Halo, Bu," balasku ramah.
***
"APA??!!! KAMU BERLARI DARI RUMAH?!" tanya Bu Lusi, ibunya Vicky tersebut sambil menggebrak meja setelah mendengar ceritaku.
Aku mengangguk sambil memberi isyarat pada beliau untuk tidak berbicara dengan keras. Lalu aku menaruh kepalaku di meja. Setelah bertemu di depan rumahnya, Bu Lusi membawaku ke sebuah cafe dekat rumahnya. Soalnya aku menolak untuk masuk ke dalam rumah itu. Walaupun sebenarnya aku ingin bertemu Vicky.
"Ya ampun! Inilah kenapa aku tidak suka menangani anak muda jatuh cinta. Masalah selalu jadi rumit," keluhnya lirih, namun aku bisa mendengarnya. "Dengar ya. Kamu sudah memutuskan bahwa besok kamu mulai dirawat intensif di rumah sakit. Jadi seharusnya kamu banyak istirahat, bukan lari-lari seperti ini. Sekarang perutmu sakit kan?"
Aku mengangguk sambil memegangi perutku.
"Lalu kenapa kamu ngotot untuk berlari?" tanyanya tajam.
"Aku kangen Vicky," jawabku polos seperti anak kecil.
Tante itu menepuk jidat. "Gak kamu. Gak anakku. Semua sama saja. Kamu ingin menjauh darinya karena kamu harus mengikuti perawatan sebelum ke rumah sakit. Akibatnya dia jadi hampir gila karena kehilanganmu. Ibu sendiri jadi sasaran kecurigaannya kalau ibulah yang memisahkan kalian berdua."
"Saya benar-benar minta maaf, Bu," ucapku sambil menunduk.
Wanita itu merasa tak enak setelah melihat perilakuku yang sopan. "Tenang. Mentalnya kuat. Dia harus tahan banting menghadapinya. Kalau tidak, ibu akan memberinya terapi khusus. Sebenarnya apa yang kamu sukai dari anak laki-laki kesayanganku? Ayahnya saja sampai sekarang masih sulit menerimanya."
Aku tersenyum saat mendengarnya. Rasanya seperti diinterogasi calon mertua. "Ada banyak kelebihan yang dimiliki putra ibu. Tidak bisa dijelaskan satu per satu. Pokoknya bagi saya, dia laki-laki yang indah dan sempurna."
Tante itu memandangku aneh. Pasti beliau berpikir, "Lagi-lagi bucin!" lalu beliau berkata, "Iya iya. Tapi jangan lama-lama menghilang darinya. Ibu tahu kamu tidak ingin memberitahu siapa kamu sebenarnya. Tapi karena itulah dia jadi menderita begini. Setiap pasangan lebih baik terbuka satu sama lain jika ingin serius. Dan anakku terlihat serius padamu."
Aku berhenti mengaduk kopiku. Kepalaku menunduk lagi, ku sembunyikan di meja. Di tempat tersembunyi itu aku menangis dalam diam. Hubungan yang serius? Saling terbuka? Aku ingin, aku ingin seperti itu. Tapi aku takut.
Aku takut dia malah benci dan jijik padaku, seperti yang mereka lakukan. Aku lebih baik ditakuti karena cap kriminal atau psikopat kejam daripada sisi lainku terungkap. Pokoknya Vicky tidak boleh tahu siapa aku sebenarnya!
Bu Lusi mengetahuinya. Beliau mengusap kepalaku untuk menenangkanku. "Kamu itu orang yang kuat. Kamu sudah berhasil menjalani semua ini. Kamu boleh mencintai siapapun, termasuk anakku sendiri asalkan kamu benar-benar bisa membahagiakannya. Jika berjodoh, kalian pasti bersatu lagi."
***