Seorang model tampak berlenggak-lenggok maju di atas catwalk dengan baju dan makeup cantiknya. Semua mata terpana. Gaya anggunnya, senyumnya, penampilannya, riasannya.... Sempurna! Wanita itu pun berbalik ke arah balik panggung lagi. Semuanya bertepuk tangan, kecuali satu orang.
Yaitu aku.
"Vicky, kok melamun sih?" tanya Maurice disampingku sambil menyenggol lenganku. "Itu kan model lo, malah melamun!"
Aku tercekat dan menoleh. "Ah, sorry. Gue gak fokus," jawabku sambil nyengir.
"Ada masalah?" tanyanya, namun matanya masih ke arah catwalk tempat para model itu bergaya. “Sejak pulang dari gunung, elo jadi banyak diam.”
"Eh, gak kok! Gue biasa aja,” jawabku sambil mengukir senyum manis secara paksa. “Kayanya gue masih kecapekan."
"Oh, gitu. Pantesan, gue lihat tampilan model lo hambar gitu. Riasannya kaya kurang rapi, gak kaya elo biasanya," komentar Maurice. "Tapi mending sih, daripada gua yang elo jadiin model, kaya waktu di kelas."
“Haha,” tawaku garing. Ku pandangi modelku di panggung yang masih di jalan dan mau masuk balik panggung. Sebenarnya aku juga merasa kurang puas dengan karyaku sekarang. Tapi ya, entah kenapa instingku dalam merias jadi kurang beberapa hari ini. Sejak aku mendengar Reval mengucapkan kata-kata kejam itu : "Jijik!"
Sial! Kenapa harus Reval yang membuatku gagal?
“Betewe, terima kasih ya karena sudah gantiin gua jaga stand makeup wisuda dulu. Kalau gak ada elo, pasti gua diamuk para customer gue dan gak bakal dapat job lagi,” kataku dengan syukur.
“Gapapa. Santai aja. Pasti sulit ya punya bokap pemaksa kek gitu.”
“Haha.” Aku tertawa dengan garing lagi.
"Oh ya, ngomong-ngomong di gunung elo ngapain aja?" Tanya Maurice penasaran, namun tetap memandangi panggung. "Gue denger elo hampir dibunuh dan diperkosa disana. Itu beneran??"
Aku terkejut dan menoleh lagi. "Elo dapat kabar dari mana? Hah?!"
"Gua denger dari bokap lo pas gua ke rumah lo, tapi lo masih di gunung. Gue sih mikirnya itu kebohongan elo biar bokap elo cepet jemput elo disana. Gua pikir gak mungkinlah acara naik gunung malah jadi kaya film thriller ngeri gitu! Haha! Ada-ada aja elo, Vick!"
“Haha.” Sayangnya itu benar, Rice! Teriakku dlam hati. Aku hampir dibunuh Reval dengan pisau dapur dan diperkosa Angga di dekat api unggun. Aku cerita itu ke ayah agar segera dijemput di gunung dan tidak diikutsertakan naik gunung lagi. Dan sialnya beliau tidak percaya. Tapi sudahlah, aku tidak mau cerita ini tersebar. Jadi aku bilang ke Maurice kalau itu cerita karanganku. Semoga aja si Ariel dan Randa tidak menyebarkan hal ini! Kalau si Reval dan Angga tidak mungkin menyebarkannya. Ya masak mereka mau buka aib sendiri?! Eh, tapi si Reval udah terkenal psikopat yang punya banyak aib. Tapi ah, tidak mungkin kalau dia akan menyebarkannya.
"Vicky!" panggil seseorang.
Aku dan Maurice menoleh. Itu Ariel dan Reval! Bagaimana mereka bisa kesini? Dan kelihatannya mereka sudah baikan kembali. Tapi tunggu....
Ariel berlari di sela-sela orang-orang yang berkerumun melihat penampilan model diatas panggung. Sementara Reval berjalan pelan dibelakangnya, karena matanya fokus melihat para model cantik diatas panggung.
Kok kesel ya ngeliatnya?
Ariel segera menarik tangan Reval agar bisa berjalan cepat ke arahku. Reval tampak kaget dan kembali melihat ke depan. Mata kami pun bertemu. Dia terlihat tersenyum tipis. Sementara aku memalingkan wajahku. Entah kenapa aku merasa tidak ingin bertemu dengannya disini. Tapi Ariel malah mengajaknya.
"Loh, Vick! Cowok itu kan...." Suara Maurice terdengar gugup. Aku tahu. Dia mengenali Reval yang kemari. Dia heran kenapa psikopat itu disini.
"Halo, Vick!" Panggil Ariel. Dia juga menyalami Maurice yang tak kenal dengannya. Reval tersenyum menyalamiku dan Maurice yang tengah takut menatapnya. Aku sih sudah terbiasa, berbeda dengan Maurice yang sedang merinding sekarang. "Eh, model lo yang mana?"
"Udah duluan. Telat lo," jawabku cuek.
"Oh, kalian mau lihat modelnya Vicky. Cantik banget lo!" puji Maurice. Dia pun menyodorkan sebuah foto di ponselnya. Aku baru tahu, ternyata Maurice memotretnya ketika modelku muncul.
"Gila! Cantik banget," puji Ariel seperti orang kampungan.
"Iya, tapi kayanya ada yang kurang," tambah Reval kritis.
"Bener kata-" ucapan Maurice terputus, saat dia tahu yang mengatakan tadi adalah Reval.
Reval menyadarinya dan berkata, "Santai aja, mbak. Aku kan bukan musuhmu."
Ketika modelku muncul di layar, aku hanya bisa nyengir. Sementara Ariel mengamati foto itu. "Iya sih, kaya ada yang kurang. Coba kalau Vicky sendiri yang jadi model, pasti wah banget tuh!"
"Jangan ngawur lo!" ucapku.
"Iya bener!" tambah Maurice. Lalu dia menggeser layar ponselnya ke foto sebelumnya dan TARAAA! Muncullah fotoku yang sudah ku rias seperti modelku tadi, yang artinya aku berpenampilan seperti perempuan.
Kampret, kapan Maurice memotretku? Padahal itu aku cuma lagi uji coba jenis riasan lo!
Mata Ariel dan Reval berbinar melihat fotoku itu. Rasanya memalukan dan menyebalkan saat ditatap sesama laki-laki seperti itu. Mereka memuji kecantikanku berkali-kali. Aku berusaha menyingkirkan ponsel itu, tapi segera direbut Ariel dan dilihatin Reval.
"Coba kalau Reval juga dandan kaya gini, pasti jadi cantik banget dah!" celetuk Reval, seperti kemarin.
"Udah ku bilang, aku jijik kaya gitu," komentar Reval sambil tersenyum meledek.
Prak! Ku rebut ponsel Maurice dan ku banting di lantai. "Kalau jijik ya udah! Jangan dilihatin!" bentakku. Lalu aku pergi dengan kesal.
"Kenapa dia? PMS ya?" Tanya Ariel dengan kurang ajar.
"Gue kurang tahu. Dia jadi bad mood setelah pulang dari gunung," jawab Maurice bingung.
Aku segera berjalan ke belakang panggung. Kesal, kesal, kesal. Semua orang memandangku aneh. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin pergi dari sini, terutama dari laki-laki menyebalkan itu.
Semua yang dikatakan dan dilakukan Reval membuatku kesal.
"Vicky!" Panggil Reval sambil menarik tanganku hingga aku berbalik. Ternyata dia mengejarku sampai balik panggung ini. Semua orang melihat kami dengan pandangan heran. "Ada apa?"
"Tinggalkan gue sendiri. Gue capek abis ngurus acara ini. Apalagi abis dari gunung," ucapku bohong.
"Gak, kamu gak kesel karena ini. Kamu punya alasan lain kan?"
Aku melototinya. "Alasan apaan? Elu gak usah sok tahu deh! Elo bukan siapa-siapa gue!"
Dia tersentak. Mungkin baru kali ini dia tahu bahwa aku bisa membentaknya. Dia bertanya lagi, "Lalu apa? Vicky yang aku kenal kemarin gak kaya gini. Plis, bilang ke aku. Apa aku punya salah?"
Aku tambah melototinya. Ku cengkeram kerah bajunya, hingga wajah kami berdekatan. Kata-kata marahku pun berhamburan ke wajahnya. "Salah?! Banyak! Salah lo banyak! Elo udah nyerang gue tiba-tiba pas di gunung! Elu bilang gue jijik tapi elo tetap datang ke gue! Dan elo gak bertanggung jawab atas perasaan gue yang udah bikin lo campur aduk! Semua salah lo! Salah elo! Dan masalahnya, kenapa mesti elo! Hah?! Kenapa mesti elo, seorang kriminal yang dibenci semua orang malah buat gue begini??!!"
Reval tampak terkejut. Begitupun juga aku. Aku keceplosan. Sial. Suasana diantara kami jadi canggung. Segera ku lepas cengkeramanku dari bajunya dan ku tinggal pergi. Dia terlihat linglung dan tidak berusaha mengejarku. Haha, pasti dia bingung dengan kata-kataku barusan. Aku pun berhasil kabur dan bersembunyi duluan.
Sial! Kenapa aku bisa keceplosan?
Bagaimana aku bisa menjelaskan ini??!
***