Hah, sial~
Gara-gara ayah dan Nicky, aku harus membeli peralatan tugasku lagi! Bagaimana bisa, mereka membuang peralatan itu ketika aku gak di rumah?! Aku sudah menghabiskan banyak tabunganku dan bekerja keras untuk membelinya. Bahkan, peralatan yang dulu ku beli itu bermerk mahal dan berkualitas tinggi agar hasil karyaku bisa memuaskan. Ya ampun....
Sampai kapan mereka tidak bisa menerima impianku ini?
Aku tahu, impianku memang aneh untuk seorang laki-laki. Tapi aku menikmatinya. Ini jalan yang sudah ku pilih dan membuatku bahagia. Yang ingin ku lakukan berkreasi sebanyak dan sebagus mungkin hingga semua orang mengakuiku.
Haha. Aku menantikan hari itu, ketika mereka semua mengakuiku dan memuji namaku atas semua karyaku. Haha, tawa jahatku dalam hati.
Hah, lebih baik aku fokus pada masalah sekarang. Untung tabunganku masih ada, jadi aku bisa beli peralatan lagi –walaupun tidak sebagus peralatanku yang dibuang mereka. Hiks. Setidaknya aku bisa mendapatkannya lagi. Penderitaanku semakin lengkap dengan motorku yang tiba-tiba mogok di jalan. Pasti ini ulah si Nicky –dasar anak SMK jurusan teknik otomotif- yang mengotak-atik motorku, sehingga aku terpaksa meninggalkannya di bengkel dan aku pulang dengan jalan kaki. Mau pesan ojek daring, tapi semua menolakku. Alasannya, daerah yang ku lewati ini terdapat banyak preman di malam hari. Yaelah, padahal pas aku lewat tadi pun sepi gak ada apa-apa. Mungkin premannya lagi pindah lokasi untuk ikut arisan antar geng kali ya. Jadi ku putuskan untuk berjalan kaki melewati jalan kecil yang gelap dan sepi itu seperti sekarang dengan mengandalkan Google Maps.
Jangan tanya kenapa aku tidak beli peralatannya secara daring aja. Jika pengantar paketnya datang ke rumah saat aku gak ada, sama saja mempersilahkan ayahku untuk membuangnya lagi. Mau nitip ke temanku juga gak enak, takut mereka tahu rumitnya keluargaku. Jadi aku memilih datang sendiri ke toko dan membelinya sendiri.
Oh ya, ngomong-ngomong, kenapa jalan ini gelap sekali. Padahal terdapat rumah warga, walaupun cuma beberapa dan kebanyakan tanah kosong. Tapi tidak ada satupun rumah yang menyalakan lampu. Adapun lampu jalan, cuma terlihat hanya ada dua. Itu pun nyalanya kedip-kedip kaya bintang di langit. Cuma cahaya bulan yang bersinar dengan baik menerangi jalan. Seram kalau tiba-tiba ada setan yang muncul.
Drap, drap, drap.
Terdengar suara derap banyak langkah kaki yang sedang mendekat. Aku terkesiap. Mati aku! Siapa yang akan muncul di tengah jalan gelap tak jelas ini?!
Tenang, setan gak punya kaki. Jika itu benar mereka, bukan gini suaranya, yakinku dalam hati.
Cahaya rembulan bersembunyi di balik awan, menambah suasana mencekam ini. Suara langkah kaki itu berasal dari tikungan jalan di depanku. Aku memperlambat langkah kakiku untuk mengantisipasi apa yang muncul disana. Semoga bukan....
Loh?
Mereka muncul. Ada banyak preman yang berlari dari tikungan itu ke arahku. Aku terkejut hingga tubuhku terasa kaku, sulit untuk bergerak. Ada apa ini? Kenapa mereka berlari ke arahku? Padahal aku tak berbuat apa-apa pada mereka! Jangan-jangan mereka mau datang untuk mengeroyokku? Aku harus memaksa kakiku untuk segera berbalik dan lari, meski rasa takut membuat seluruh tubuhku kaku.
Sial! Kenapa hari ini aku sial sekali! Aku harus lari dari para preman itu!
Bruk!
“Tolong!”
Aku menoleh kaget. Seseorang meraih bagian belakang jaketku hingga aku jatuh terjengkang dan mengaduh. Tas belanjaanku ikut jatuh dan isinya berhamburan di tanah. Sial!
Preman yang menarikku itu tak peduli dengan keadaanku ini. Dia malah menatapku dengan panik. Suaranya memelas minta belas kasihan, “Tolong aku! Nyawaku dalam bahaya! Aku gak mau mati disini!”
Apa? Preman ini malah minta tolong?! Kagetku dalam hati sambil berusaha bangkit dari posisi jatuhku yang memalukan.
“Hei, sudah ku bilang kan! Jangan ganggu cewek!” bentak seseorang yang tiba-tiba datang dari tikungan gelap ke hadapan kami. Tangannya memegang sebuah linggis jumbo. Suaranya yang serak penuh ancaman pun keluar lagi, “Dasar laki-laki memuakkan! Bahkan sekarang kau tega membuat gadis terjatuh.”
Preman-preman yang sedari tadi terlihat panik dan pucat disekitarku pun langsung lari tunggang-langgang. Sementara bapak paruh baya yang membuatku terjatuh itu memohon ampun pada laki-laki yang wajahnya gelap karena tak ada lampu disini. "Tolong, mas! Saya minta maaf! Ampuni saya! Saya punya istri dan anak di rumah!" Pintanya dengan panik.
"Oh, punya istri ya," kata orang itu dingin dan datar. "Aku prihatin. Jadi...."
Bruk!!! Dia mengayunkan linggis itu ke punggung preman itu tanpa perasaan. Aku bisa melihat muncratan darah keluar menghiasi jalanan. Erangan sakit dari bapak paruh baya itu terdengar mengenaskan. Seketika aku bisa merasakan apa yang dirasa preman-preman ini.
Takut. Panik. Bahaya.
Para preman itu bukan lari untuk mengejarku, tapi karena psikopat ini.
Gawat.
Aku dalam bahaya!
"Aku prihatin dengan anak istrimu karena punya kepala keluarga sepertimu. Sebaiknya ku hancurkan saja syaraf tulang belakangmu agar jadi cacat sekalian, sehingga kamu gak bisa mengganggu orang lain. Anak istrimu pun tak akan malu lagi punya kepala keluarga seorang preman," oceh pria linggis itu dengan dingin.
Gawat. Aku panik. Tanganku segera membereskan peralatanku dan ku masukkan ke dalam tas.
Aku harus pergi. Atau aku akan mati disini.
"Hoy!" Panggilnya.
Aku terkesiap dan tak berani menoleh. Gawat! Gawat! Gawat!
Tiba-tiba orang itu jongkok di hadapanku dan bertanya, "Kamu gak apa-apa?"
Cahaya bulan kembali muncul dari balik awan. Aku dapat melihat wajah orang itu, meski belum terlalu jelas. Tapi aku tahu, bagaimana wajah manisnya atau ekspresi khawatirnya.
Sial! Aku takut! Aku segera berlari meninggalkan orang itu dan tidak memperdulikan barang belanjaanku lagi. Aku terlalu takut menghadapinya! Semoga orang mengerikan itu tidak mengejarku, meskipun suaranya selalu memanggilku!
Ini memang hari sialku! Seharusnya aku tidak beli peralatan hari ini! Sial! Sial! Sial!
Sementara orang yang membawa linggis jumbo berdarah itu memungut benda yang ku tinggalkan. Orang itu heran dan mengernyitkan dahi.
"Make-up?"
***