Tidak aku sangka ada orang yang secara sadar melakukan hal-hal keji untuk menjatuhkan orang lain hanya demi, tahta, jabatan, dan anggapan kehormatan.
Ia sudi untuk melakukan apa pun untuk mencapai kepuasan duniawi yang jelas tidak dibawa mati.
Mungkin kehidupanku kurang bertemu asam dan garam, sekalinya bersenggolan, sungguh kaget bukan kepalang.
Terus terang saja, kehidupanku hanya berorientasi pada sawah, mesin, pasar, bertemu orang asing seperlunya, jarang menengok berita, tidak menggulati politik, dan hanya menilik kehidupan dunia luar secukupnya.
Kurasa, itu adalah kesalahan.
Beberapa hari yang lalu, aku diajak pegi ke suatu tempat oleh Pak Bah.
Di depanku berdiri sebuah rumah yang tidak terlalu luas tapi rasa-rasanya desain bangunan seperti ini tidak mungkin digarap oleh arsitek murahan.
Baru sampai halaman saja, tata letaknya sudah terlihat berkelas.
"Tunggu, aku sepertinya pernah ke mari. Oh ya, ini di Perumnas Klipang, dekat Jalan Berian Raya. Yap! Pekerjaanku dulu sebagai pengantar barang membuatku jadi mengenal banyak tempat," ucapku pada Pak Bah.
Butuh waktu lima menit untuk menunggu respons dari penjaga rumah yang terlihat sedang sangat sibuk.
Beberapa ornament klasik dan pajangan bernilai mahal tengah terpajang di halaman teras, mungkin sedang dibersihkan.
Di halaman yang dipenuhi rumput jepang, teronggok sebuah pohon Dewandaru yang tengah berbuah, bagus sekali untuk dipandang.
Tiba-tiba dari dalam rumah keluar tiga temanku waktu masih bekerja di Merpati Nusantara dulu, ada Seli, Apoy, dan Ipan.
"Nadif, sejak kapan di sini? Ada keperluan apa?" Seli menurunkan beberapa barang yang tengah dibawanya.
Mereka bertiga terlihat sibuk dan pusing memikirkan sesuatu.
Aku hanya melirik Pak Bah, aku masih canggung untuk bertemu mereka, lagi pula pemecatanku yang terakhir tidak ada perpisahan sama sekali.
Dan mungkin memang tidak dibutuhkan.
"Kami mencari Arief, ya Mr. Arief. Apa ia ada di rumah?" Pak Bah yang menanggapi mereka.
"Beliau ada di Primavera. Sudah lama ia tidak ada di rumah ini semenjak kejadian…" Seli menghentikan bicaranya.
Seperti ada maksud yang ia tutup-tutupi.
Dari dalam dapur seorang perempuan paruh baya keluar dan berteriak penuh haru melihat kehadiran kami.
"MasyaAllah, apakah gerangan yang membawa Bapak Bachrudin kemari? Sudilah untuk mampir ke dalam rumah sebentar."
Namanya adalah Ibu Sulastri. Ia asisten rumah tangga yang ditugasi untuk merawat rumah besar ini.
"Sepertinya tidak usah, Bu. Mr. Arief-nya tidak ada. Saya akan coba kunjungi rumahnya yang di Primavera saja."
"Tuan sedang tidak bisa ditemui oleh siapa pun, Pak Bachrudin."
Pak Bah yang tadinya sudah berniat melangkahkan kakinya menjauh dari halaman rumah ini, menjadi urung.
Ada nada ganjil yang diucapkan oleh Ibu Sulastri ini.
"Mengapa demikian, Bu? Tidak lama ini saya baru saja mengunjungi Arief di sini. Dan ia terlihat baik-baik saja."
"Duduklah sejenak, mungkin Pak Bachrudin perlu tahu. Sudah sejak berbulan-bulan yang lalu hal ini terjadi. Ceritanya sudah tidak terlalu saya ingat secara runtut, maklumlah Pak, usia memakan kemampuan ingatan saya."
Kulihat Pak Bah mendengarkan dengan mafhum. Seolah ia tidak akan terkejut mendengar ucapan apa pun yang keluar dari mulut perempuan tua ini, tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di hatinya.
"Aku tidak terlalu ingat bagaimana awalnya, tapi yang jelas pada malam itu Non Asya, istri dari Tuan Arief berteriak, menangis, memaksa ingin bunuh diri. Itu benar-benar terjadi secara tiba-tiba. Awalnya belum ada yang mengerti betul mengapa Non Asya melakukan hal demikian. Sudah ada gunting, cutter, obat nyamuk liquid, cairan pembersih WC di meja kamarnya. Tuan Arief sendiri yang menemukan beliau dalam keadaan seperti itu."
Terlihat dari matanya, Ibu Sulastri tengah mencoba mengingat kisah ini dengan usaha yang cukup keras.
Ia bercerita dengan nada seorang ibu bercerita kepada anaknya.
"Setelah diselidiki, ternyata siangnya ada sebuah paket misterius menyambangi rumah ini. Sebuah paket yang tidak ada nama pengirimnya. Non Asya tidak mau berbicara dari siapa paket itu. Jangankan berbicara, membuka mata pun sepertinya enggan, dan itu terjadi hingga saat ini. Isi paket dengan kertas pembungkus berwarna coklat itu adalah serifikat rumah dan surat pajak tentang pembagian warisan."
"Apa yang salah dari paket tersebut?" Pak Bah seperti tidak sabaran untuk segera mengerti apa yang terjadi.
"Istri kedua. Ini adalah tentang Tuan Arief yang ternyata punya istri kedua. Sertifikat itu adalah pembagian warisan bagi istri kedua Tuan Arief. Non Asya sungguh tidak tahu menahu tentang ini, begitupun aku. Aku telah merawatnya selama puluhan tahun, usia rentaku adalah usia yang aku gadaikan untuk mengasuhnya sejak kecil. Arief kecil sungguh selalu menceritakan apa pun yang terjadi padanya kepadaku, tapi tidak mengenai istri kedua ini."
Pak Bah menunjukkan ekspresi tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Aku telah mengenal Arief cukup lama, aku tahu perangainya di depan orang lain hampir secara keseluruhan. Terus terang aku tidak bisa menerima berita ini dengan pemahaman yang baik, ia adalah orang yang santun dan bijak, meskipun dalam beberapa hal kadang ia kasar dan terlalu terburu-buru."
"Aku percaya tentang Tuan Arief yang baik, santun dan bijak itu, tapi manusia bisa membuat kesalahan, termasuk Mr. Arief. Malam itu Non Asya meledak-ledak dan bilang ingin melabrak istri kedua tersebut, sepertinya ia mengenalnya. Apabila dilarang ia mengancam akan menyakiti dirinya sendiri."
Perempuan tua itu menghela napas.
"Sejujurnya aku tidak paham mengapa paket kejam itu bisa sampai ke rumah yang selalu damai itu. Siapa orang jahat yang dengar sadar mengirimnya. Meskipun aku tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan Tuan Arief, tapi aku rasa, aku mungkin bisa menerima alasan mengapa ia melakukan hal demikian, aku telah sangat lama mengenal dan mengerti emosi serta paham bagaimana jalan pikirannya, sungguh ia adalah anak yang baik. Mungkin jika Non Asya mengetahui langsung kabar buruk ini dari Tuan Arief sendiri, Non Asya mungkin akan lebih bisa dikendalikan. Tapi nasi sungguh sudah menjadi bubur, tak ada yang bisa menggembalikannya ."
Pak Bah terlihat mengangguk-angguk dan memasang simpati dengan apa yang terjadi. "Bagaimana kabar Asya sekarang?"
"Belum terlalu baik, ia sudah terlanjur meminum cairan pembersih yang mengandung soda api. Meskipun tidak banyak, tapi itu membuat usus di perut yang tadinya memiliki panjang sekitar sebelas meter-an, kini hanya tersisa beberapa bagian saja. Organ pencernaannya porak poranda karena zat berbahaya itu. Sungguh sebuah keajaiban mendengar ia bisa selamat."
Pak Bah meminta diri setelah bertanya beberapa hal dan memastikan keadaan. Ia terlihat banyak berpikir mendengar berita ini.
Ia menjadi banyak menunduk dan tidak berbicara.
Sewaktu berpamitan, Seli, Apoy, dan Ipan juga sempat menjabat dan memelukku yang tubuhnya kaku.
Semua orang di ruangan tadi tidak ada yang mengira bahwa akulah seseorang yang mengirim paket berisi malapetaka yang mencelakakan keluarga Mr. Arief.
Aku ingat betul kejadian di hari itu, aku yang mengatarkan paket sambil berteriak "Kak, paket." di depan pagar rumah ini.
Rahangku membeku dan hatiku gemetar selama mendengarkan cerita Ibu Sulastri.
Aku adalah orang kejam yang tidak diketahui olehnya yang secara sadar memberikan paket dengan hati riang gembira tanpa tahu bahwa orang yang menerimanya menderita batin dan perasaannya.
Hatiku mendadak beku, mataku kelu, tangan dan jariku kaku, kaki yang aku langkahkan terasa berat seperti menyeret batu.
**3 CERITA TERAKHIR DARI CERITA 'JANJI-JANJI MASA DEPAN' DAPAT DI BACA LANJUTANNYA DI 'KARYA KARSA' DENGAN JUDUL YANG SAMA, ATAU MELALUI LINK BERIKUT (https://karyakarsa.com/littlemagic/series).**
TERIMA KASIH KARENA TIDAK MENYERAH UNTUK MEMBACA KISAH INI HINGGA AKHIR!
SALAM HANGAT,
LITTLE MAGIC
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog