“LO?!” pekik orang itu. Menuding iras Candra, tetapi tak selang lama segera terkekeh tanpa tenaga. “Oooh ... hahaha. Lo beneran mau ngajak gue baku hantam?!”
Dalam sekali jurus saja, Elard sudah berdiri di hadapannya. Merenggut kerah Candra dengan membabi buta, membuat si empunya terseret beberapa senti dari titik mula.
“Gu—”
“Elard! Apaan sih lo?!”
Kehadiran Dienka yang kentara biasa-biasa saja makin memperdalam gelombang pada keningnya. Gadis itu berlari menghampiri Elard, lekas mendorongnya sampai sukses menjauh dari Candra.
“Dia orang yang gue bilang! Yang buat gigi gue patah!" Elard terus menuding Candra yang melangah sempurna.
“Kan elo yang salah! Lo juga kenapa, sih, harus pacaran sama Iris?!”
“Suka-suka gue mau pacaran sama siapa! Gue cuma pengen patahin gigi dia balik!” jerit Elard merawak rambang.
Keadaannya jelas kontras pada Candra yang hanya menyaksikan pertengkaran keduanya—dari tempat dan posisi yang sama.
“Oke—” Elard buru-buru memberontak dari cekalan Dienka. Bermaksud menyerbu Candra selanjutnya. “—tapi habis itu gue patahin tulang leher lo!” ancam Dienka kemudian.
Merasa menemukan keganjilan, Elard langsung memandang gadis itu lurus-lurus. Memicingkan kedua netra tanpa sepatah kata, tetapi kemudian membentuk sebuah tawa.
“Jangan bilang lo pacaran sama dia?!” Lagi-lagi Elard menuding pada sosok yang sama.
“G—”
“Ya, ‘kan?!”
Dienka tergemap, terbata-bata—tetapi tendasnya terus menggeleng. Lengannya pun membentang guna menahan Elard tetap di tempatnya. Memaksa lelaki yang berangsang untuk tetap tenang.
“S-suka-suka gue, dong, mau suka sama Candra ataupun orang lain! Lo nggak berhak marah! Lo pun kacangin larangan gue untuk pacarin Iris!" Dienka membela diri. "Jadi kalaupun lo bebas milih ... gue juga.”
“Tapi gue kakak lo!” pekik Elard bersikeras.
“Gue juga adik lo!” Dienka tak mau kalah.
Candra terperangah, mulut beserta ainnya jadi kian melangah. Kerutan pada glabelanya pun bertambah parah.
“HEH, ADA APA INI?! MAU TIDUR DI KANDANG MACAN?!”
Serta merta Candra menoleh ke arah suara—yang tak lagi asing pada telinga. Terkinjatlah ia kala menjumpai sosok yang paling disegani seisi sekolah—Pak Burhan a.k.a Guru Bledek—berdiri berkacak pinggang; mendelik atas Elard serta Dienka yang otomatis menghentikan pertengkaran mereka.
“Maaf, Pa,” desis Dienka seolah terpaksa.
Sosok beraura negatif itu masih menyalangkan netra, yang punya kilatan mematikan pada setiap kedipannya. Candra nan telah lama mengenalnya pun sampai tak berani untuk bersuara.
“Hm?! Mana cowok yang mau kamu kenalin?”
Terperanjat, Candra gegas membenarkan posisi duduknya. Mengacungkan lengan sebagai bentuk spontanitas. “S-saya Pak.”
Burhan menoleh tajam, membelalang padanya yang menunduk—dan lagi tanpa suara.
“Eh, Candra?!”
“Iya, Pak.”
“Ooo ... Candra.” Burhan mengangguk penuh senyuman. “Ya sudah. Nggak usah pakai cara kenal-kenalan segala, Papa udah tahu dia siapa. Dia pasti juga tahu, hahaha.”
Jelas saja Candra kehabisan kata ketika Burhan benar-benar pergi begitu saja; kembali mengurusi bonsai tercinta. Tanpa salam sapa atau meninggalkan sepatah dua patah kata. Sungguh, hanya begitu pertemuan mereka?!
Candra menelan salivanya—tak percaya. Namun tetap berusaha menelan baik-baik fakta yang tersaji di depan mata. Jadi: Elard Arkana adalah kakak dari Dienka Anindita; lalu, Guru yang kerap disebut Pemegang Kunci Neraka merupakan ayah dari gadis yang sama.
Glupp
Wajar saja Dienka tomboi dan serampangan mengenai penampilan; ia telah hidup bersama Kakak pun Ayah yang disegani banyak insan, dari kesangaran maupun ketegasan yang tak perlu lagi diragukan. Sungguh keluarga yang mengesankan.
“Lo!” Candra menatap langsung ke kedua mata Elard yang tengah berseru padanya. “Karna lo udah terlanjur bikin adik gue jatuh cinta, gue tekanin lo untuk JANGAN BERANI SAKITIN DIA! Jangan berani untuk sentuh dia seenaknya!” Elard menjeda peringatannya, beralih menciptakan seringai mengerikan pada bibir tebalnya.
“Kalau suatu hari lo bikin adik gue nangis ... gue bersumpah bakal masak tulang kering lo untuk Cindy.”
“Cindy?!” beo Candra sekuat-kuatnya.
Maksudnya, hei, apakah ada saudara Dienka lainnya? Cindy ini seorang psikopat atau bagaimana?!
“Anjing gue,” terang Dienka lirih. Irasnya datar dan tak lagi membentuk ekspresi.
Setelah tersenyum miring, Elard berlalu meninggalkan keduanya bersama suasana yang senjang dari mula.
🌻
“Dienka?”
Sosok yang baru keluar dari bilik toilet itu segera menaikkan kepala. Memandang asal suara dengan sarat bahagia.
“Lanaaa!”
Segeranya ia peluk tubuh Dienka dengan erat serta hangat. Beberapa saat tak bertemu membuat keduanya saling memendam rindu.
“Gue denger Varen masuk rumah sakit, ya? Kenapa?” Dienka langsung melempar pertanyaan yang kerap muncul pada benaknya. Namun yang ditanya hanya menundukkan kepala. “Lan?”
“Itu ... itu salah gue. Gue bakal cerita, tapi nggak untuk sekarang, ya?”
“Oke-oke, gue ngerti.”
“Gimana kabar Candra?” Kini Lana berani menyuarakan pertanyaan yang terus menghantuinya; yang kerap terasa kelu saat ingin diungkapkan; yang tadinya hanya tertahan pada tenggorokan.
“Lo ... mau temuin dia?”
Lana menggeleng cepat; mencegah terjadinya sesuatu yang tak pernah terpikir dalam benaknya. Pilihan ini, pilihan untuk menjauh dari Candra merupakan preferensi terbaiknya.
“Lo dapet salam dari Candra. Dia ingetin lo untuk terus makan teratur, belajar secukupnya, sikat gigi setiap malem dan ... bahagia.” Suara Dienka memarau pada akhir kalimatnya, menimbulkan rasa bersalah yang cukup menyakiti relung hati. Namun Lana hanya berdiam diri.
“Ya udah ... gue balik, ya, Lan? Hari ini kelas Bu Rosa pertama, bahaya kalau gue telat,” kekeh Dienka. Kentara tulus dan sungguh-sungguh.
Lana mengangguk dengan senyuman, mengiyakan.
“Lo nggak mau balesin salam Candra?”
Lana mengulum bibirnya; terdiam cukup lama. “Terserah lo.”
“Oke gue balik, ya?”
“Iy—”
“Dienka Anindita, XI IPS 03. Kelahiran Bogor, 22 Oktob—” Dienka menoleh cepat. Tampak jelas gadis berzodiak Libra itu melempar tanda tanya dengan tidak santai. “—er.” Irena menyeringai, menelisik iras Dienka dalam-dalam.
“Gue nggak tahu apa yang menarik dari lo, sampe lo berani deketin Candra,” kekehnya.
“Yang—”
“Ka, udah lo pergi aja!” sela Lana cepat, tak mau melihat terciptanya pertengkaran.
Dienka tentu tak setuju begitu saja, ia keras kepala untuk menyerang Irena balik seperti prinsipnya. Namun, kala melihat keseriusan Lana—Dienka memilih untuk mengalah. Gadis itu berlalu setelah melayangkan tatapan dingin pada Irena, tetapi Irena hanya terkekeh seakan mengejek aksinya.
“Gue nggak peduli apa pun yang mau lo tegasin. Gue udah bilang: gue bakal berusaha cintai Varen! Nggak peduli segila apa ancaman lo.”
Irena tergelak. Manggut-manggut dengan raut yang mengejek.
“Gue ngerasa lucu. Lo beneran berubah karna masalah itu,” desis Lana dingin.
“Kenapa? Gue suka, kok, dengan perubahan gue.”
“Dengan menjadi seorang pengecut?” sindir Lana lalu tergelak singkat.
“Apa maksud lo pengecut?!”
Lana tersenyum simpul, “Lo pikir, gue nggak tahu selama ini lo kabur untuk cari pelampiasan? Lo selalu nggak ada, alpa.” Sekali lagi Lana menyunggingkan senyuman. “Tapi percuma ... karna menghindar nggak akan menyelesaikan masalah.”
Sukses terbungkam, Irena hanya meremas rok dengan dua telempapnya sekuat tenaga.
“Udah, Ren ... gue capek. Lo juga pasti capek. Semua yang lo lakuin bakal berakhir sia-sia. Akhirnya lo akan hancur kalau lo anggap ucapan gue bualan semata.”
Lana bermaksud untuk lekas angkat kaki, akan tetapi satu tangan yang terasa hangat berhasil mengurungkan keinginannya untuk pergi. Sentuhan itu mengalirkan suatu getaran aneh yang telah lama mereka nanti. Getaran penuh makna dari hati.
Irena masih mencekal lengannya, Lana pun tetap mematung tanpa kata.
“Terus gimana, Lan—" Kening Lana berkerut, menoleh Irena sesegera mungkin. “Gimana caranya lo bisa maafin gue?”
Secara impulsif Lana menggigit bibir merah itu sekuat tenaga. Jelas terkejut dan tersentuh akan bisikan Irena yang teramat tiba-tiba.
“Gue udah maafin lo, Ren. Gue udah maafin lo dari dulu.”
🌻
Tok, tok, tok
“Iyaa, siapa?” Ketika membuka pintu rumahnya, kontan saja Lana tergemap saat menemukan Varen di depan muka—membawa dua kantong keresek yang tak terkira beratnya. “Lo ngapain di sini? Udah sembuh?!”
Hanya embusan napas yang menjawab pertanyaan Lana, hingga gadis itu cepat-cepat membuka lebar pintu utama. Mempersilahkan Varen untuk segera memasuki kediaman sederhana miliknya.
“Itu apa?”
Bukannya terduduk pada sofa, Varen malah bersila pada permukaan keramik di bawahnya. Menghela dan mengembuskan napas kuat-kuat. “Nih, ya, Lan! Inget nasihat gue! Jangan lagi masukin cairan pel ke dalam botol bekas minuman!” desisnya.
“Kenapa? Kan hemat! Bukannya itu juga bentuk daur ulang yang mudah dilakukan?”
“Tetep aja berisiko!”
Rolling eyes tercipta, “Terus oknum yang minum botol yang jelas berbusa itu nggak patut disalahkan?”
Varen mengibaskan tangan kanannya, menyuruh Lana untuk berhenti mempermasalahkannya.
“Ya udah ... sekarang jelasin ke aku—itu apa?”
Varen tersenyum, segera beralih mengacak-acak keresek besar di samping kanan raganya. Mencari dan menghasilkan suara gaduh, yang juga menciptakan banyak tanda tanya.
“Eee ... ah, udah! Gue nggak tahu nama-namanya. Lo liat sendiri aja!”
“Itu apa?!” Lana jelas curiga.
“Udaaah, cek aja.” Varen mendorong keresek itu sampai ke depan tungkai Lana. “Kalau itu bom, lo boleh hubungin intel!”
Dengan gumaman sebagai bentuk keluh kesah, sang wanodya akhirnya berjongkok. Bersilih mengacak benda-benda itu meski masih ragu.
Entah ekspresi apa yang harus ditampakkannya saat mendapati botol kosong untuk cairan pel, botol spray besar, pengki, sapu ijuk, kemoceng, pel, kain, lap, serbet, vacuum cleaner, sikat lantai, sikat toilet, dan berbagai benda bersih-bersih lainnya di sana. Pada dua kantong keresek yang berbeda.
“I-ini—”
“Iyaa! Itu biar lo semakin rajin dan semangat bersih-bersih. Dan yang pasti, NGGAK BAHAYAIN ORANG LAIN.”
Mata Lana berbinar-binar, tersentuh dengan apa yang Varen lakukan untuknya. Ini benar-benar out of the box, dan dia menyukainya.
“Kemarin, gue lihat sapu ijuk lo udah pada patah. Rontok. Pasti nggak nyaman, ‘kan? Kain serbet lo juga udah usang, mesti udah dicuci berkali-kali. Jadiii, gue beliin ini—karena nggak mungkin gue kasih lo mie ayam tiap saat, ‘kan?” Varen menghela napas samar. “Gue harap lo suka, ya?”
“T-tapi semua ini mahal banget, Ren! Nggak cukup tiga bulan gue cicil! Mungkin setengah—enggak, satu tahun!” cicit Lana.
“Nggak usah lebay, deh. Sejak kapan ada cowok yang lagi PDKT kok perhitungan?”
“Ada, ah. Banyak.”
“Yang pasti itu bukan gue,” kelakar Varen.
Mencebik, Lana kembali menatap alat-alat di depan muka—yang mungkin akan menjadi barang-barang terfavoritnya.
“Ini beneran boleh buat gue?”
“Pure!”
Sepertinya salah satu dari bagian hati Lana telah meleleh, membuatnya jadi terkekeh. Buru-buru didekapnya barang-barang tadi penuh cinta dan rasa. Boleh jadi bila tak ada Varen, wajah Lana sudah berurai air mata.
“Makasih, Ren! Gue nggak tahu harus bales lo—”
“Cukup cintai gue balik.” Varen memandang Lana dalam-dalam. “Simple, ‘kan?”
Gadis itu hanya tersenyum santun. Kembali memilih untuk tak menimpali ucapan Varen dalam bentuk apa pun.