“Pasti sulit, ya, hidup penuh tuduhan.”
Lana yang tengah terduduk, nyata terperanjat. Berpaling cepat pada sesosok lelaki bersurai gondrong yang berdiri, mengulurkan sebotol air di muka irasnya. Sepasang alisnya kontan bertaut temu.
“Nggak kenal, ya? Aku Fiat. Anak XII Bahasa 01,” sapa Fiat dengan ramah. Glabela Lana masih berkerut. “Pacar Tania,” imbuhnya.
“Oh ... hai.”
“Sorry aku nggak buat Tania berhenti gangguin kamu,” sesal Fiat.
Lana menggeleng cepat. “Bukan salah Kakak.”
Fiat tersenyum, lekas terduduk di sanding Lana. “Yaudah, ini ambil,” sodornya.
Lana mengangguk pelan. Tangannya mengambil minuman botol itu dengan sedikit sungkan.
“Makasih, Kak.”
“Aku minta maaf atas nama Tania, ya.”
Lana kembali mengangguk. “Gue juga minta maaf udah jambak rambut kak Tania kayak tadi,” cicit Lana.
Fiat tersenyum singkat. “Nggak apa-apa. Biar dia jera.”
Mereka saling melempar senyum lantas memandang depan. Di mana dapat mereka lihat dari jauh, berpuluh-puluh siswa yang kerap mengusik ketenangan Lana sedang dalam masa hukuman. Mengelilingi lapangan entah ke berapa kalinya.
“Harusnya aku ikut lari di sana. Aku diem aja waktu tahu kamu nggak baik-baik aja.”
“Nggak, dong. Kakak pasti udah coba bilang sama kak Tania, ‘kan?”
Fiat kembali tersenyum. Ia selalu suka siapapun yang berhati lembut tanpa memakai topeng apa pun itu. Lana sungguh sosok yang hebat, baginya.
“Kalau kamu butuh bantuan, aku maksa kamu buat hubungin aku. Permintaan maaf ini kurang resmi.”
Berbeda dengan jawaban sebelumnya, Lana segera menggeleng.
“Nggak usah, Kak. Udah cukup,” tolaknya.
“Enggak. Belum cukup. Tania udah kasar banget sama kamu. Aku bener-bener segan sama kamu. Justru mungkin aku harusnya malu untuk menampakkan diri di depan kamu.”
Lana tertawa canggung untuk menanggapinya. Sedang Fiat mendengus samar, memudarkan senyumannya. Suasana kaku tetapi hangat itu membuat Lana kelesah.
“Tania orangnya manja banget. Dia masih labil sama masa depannya. Katanya, jadi model buat dia frustrasi. Diet ketat, paksaan ekspresi, hujatan ... dan sebagainya. Dia kurang bahagia sama masa kecilnya. Dia selalu dapat tekanan dari Ibunya yang gila akan kesempurnaan. Dia cuma bisa bersandar sama aku—orang yang dia percaya cukup baik. Tapi sebenarnya ... aku gak sebaik itu.”
Lana menoleh, memandangi Fiat yang entah sadar atau tidak sedang mencurahkan segala isi hatinya tentang Tania.
“Dia bahkan rela masuk di SMA ini, biar selalu sama aku. Padahal katanya lagi, impiannya selama ini tuh buat ke Paris. Dia selalu suka dunia fashion. Tapi karna aku, dia justru terjebak di sini. Di kelas Bahasa yang sama sekali nggak dikuasainya.”
Fiat mengesah. Menengadahkan kepalanya.
“Makannya, aku menyesal udah buat dia—yang lebih memilih aku—melakukan banyak pelampiasan ke murid-murid di sini. Aku selalu marah, diemin dia. Tapi kerap kali juga, aku nggak bisa. Aku pasti luluh dan selalu maafin apa pun tingkah dia. Yang tanpa aku sadari, dampaknya besar banget. Aku udah rusak dia. Dia nggak bisa berhenti untuk menindas."
Lana mengangguk, menyimak cerita Fiat baik-baik.
“Lalu sekarang, aku bener bakal janji sama diri sendiri ... kalau kamu adalah korban terakhir dari pelampiasan dia. Dan karena itulah, aku nggak mungkin minta maaf dengan bualan semata. Aku harus lakuin suatu hal berarti untuk tebus kesalahan aku.”
Lana tersenyum. Pengakuan Fiat teramat menghangatkan hatinya, ia tersentuh. Rupanya Fiat sungguh tulus terhadap Tania yang mungkin berhati rapuh tersebut.
“Jadi ... boleh, ‘kan aku bantu kamu suatu saat?”
Lana mengangguk cepat, senyumannya melebar. “Selama itu bisa bikin Kakak membaik.”
Fiat tergelak manis, kian menghangatkan suasana. “Sebenarnya, anggukan dari kamu bisa buat aku tertawa.”
Lana menyeringai. Hatinya yang selalu murung berangsur membaik dengan sendirinya—dengan banyaknya fakta. Fiat sungguh sosok positif di hidup Tania. Ia jadi sedikit iri pada senior yang ternyata penuh rahasia itu.
“Seneng ya, kak Tania punya pacar kayak Kakak.”
Fiat kembali terkekeh samar sembari menggeleng kecil. “Enggak, dong. Justru kamu yang seneng bisa dapetin Varen. Varen juga beruntung BANGET bisa dapetin kamu.”
Lana membelalang, menatap Fiat yang tersenyum manis padanya.
“HAH?!”
🌻
Setelah peristiwa kala itu, hari-hari Lana berangsur membaik dan kian baik. Berbeda dengan loker yang biasa asak akan sampah basah; sekarang beralih padat oleh cokelat beragam jenis, makanan manis, atau mungkin makanan ringan beserta surat-surat tanda permintaan maaf. Kebanyakan dari mereka terlalu gengsi untuk menyampaikan ‘maaf’ secara tatap muka, jadi memanfaatkan surat sebagai perantara. Meski kadang tak mencantumkan nama, sepertinya anak-anak sungguh menyesali perbuatan mereka.
Fakta tersebut nyalar menciptakan seulas senyuman di bibir Lana. Meski sejauh ini Iris, Irena, Tania, dan orang sebangsa tak kunjung memberi warta, Lana masih mensyukuri kenyataan di mana masih ada yang berniat minta maaf kepadanya. Ucapan-ucapan maaf itu sangat berarti baginya—membuatnya terasa berharga.
“Akhirnya selesai juga penderitaan kita!” seru Dienka lega.
Lana tergelak melihat kelegaan Dienka yang nyata kebenarannya. Semua murid jadi segan dan enggan untuk mengusiknya—bahkan sekedar memberi satu dua cerca.
“Lo udah baca satu-satu? Wiii ... banyak juga, ya, yang minta maaf sama lo? Mereka beneran nyesel?” berondong Dienka sembari mengacak barang yang berserakan atas meja. Merasa tersentuh, tetapi juga skeptis—curiga.
“Lo mau coklat? Ambil, ya? Gue nggak begitu suka manis.”
Ain Dienka terbelalak, serempak dengan seringai yang mengembang manis. Sosok yang addict akan cokelat itu pastinya bungah ketika mendapat moodboster terbaiknya; pun dengan jumlah yang tak main-main. Persetanlah larangan kakak atau ayahandanya.
“Aaaa, Lana. Thanks! Gue ambil, ya?”
Dienka mengulurkan kedua lengannya, meraup cokelat demi cokelat yang ada selepas Lana mengangguk mantap. Sebab telah mengidamkan makanan satu itu jauh-jauh hari, lekas saja Dienka membuka satu kemasan. Melahapnya saat itu juga.
“Gimana PDKT lo sama Candra?”
Serta merta Dienka tersedak saat melahap satu bar coklat dari genggamannya. Gadis yang jauh dari kata feminin itu segera menyerobot minum Lana, menenggaknya sampai sebagian lebih.
“Cieee, yang salting,” goda Lana. Ia terkekeh renyah, menciptakan cebikan dari bibir Dienka.
“PDKT dari mana? Enggak! Gue nggak suka sama dia!” sangkal Dienka cepat. Tak menyadari bila suaranya bergetar dan terbata-bata.
“Dih, bohong banget.” Lana melanjutkan kekehannya. “Nggak usah bohong, Kaaa. Gue udah tahuu,” tambah Lana. Tersenyum manis dengan sepasang alis yang terus dinaik-turunkan.
Dienka mendengkus, memalingkan wajah. Meskipun ia telah menyembunyikannya mati-matian, tampaknya itu percuma saja bagi Lana. Atau mungkin ia memang gagal menutupi rasa.
“Sorry,” lirih Lana. Mendorong Dienka untuk memalingkan wajahnya.
“Sorry?”
“Lo cemburu, ya, selama ini?”
Dienka memperdalam kerutan di dahinya. Menunggu penjelasan selanjutnya.
“Perhatian Candra ke gue—jangan salah paham. Gue nggak suka sama dia. Gue juga ... nggak mau kejadian Irena terulang."
Raga itu mematung kaku. Sorotan netranya terlampau kosong. Namun, karena tengah menjaga ekspresinya—selekas mungkin ia tertawa canggung.
“Aaah ... nggak perlu khawatir, Lan! Toh, dari awal Candra suka sama lo. Bukan gue.”
Dienka mengusap bibirnya dengan tisu yang selalu tersedia di meja Lana, sampai daging tak bertulang itu mengering. Bangat dikunyahnya potongan cokelat yang lain—tak seantusias tadi. Meski ia telah berkata demikian, tetap saja, ada bagian yang terasa hilang; getir. Cokelat yang sekala membantu mengembalikannya—rasa itu—, tak berhasil entah mengapa.
“Lan ....” Dienka berusaha melupakan rasa pelik tadi dengan mengalihkan topik.
“Hm?”
“Yang lo dicium Varen ... itu beneran?" Dienka bertanya dengan ekstra hati-hati akibat Lana masihlah sama. Sensitif.
“Kenapa baru tanya sekarang?” balas Lana, sedikit tak suka masalah itu kembali diungkit.
“Ya, ‘kan ....” Dienka mengedip-kedipkan netranya berulang kali. Sangsi. “Ishh! Gue nggak bakal tanya sama lo di tengah penindasan, ‘kan? Gue juga paham kalau lo nggak akan mau bahas itu!”
Lana menganggut kecil, tetapi tak butuh waktu lama jadi mendesah dongkol.
“ISH! Gue beneran nggak nyangka dia bakal cium gue hari itu.”
“Eh, serius? D-dia First kiss lo?” beo Dienka.
Seraya mengembuskan napas, Lana manggut-manggut lemas.
“Candra?”
“Candra nggak akan berani. Dia tahu gue akan benci itu."
“Oh.”
Dienka tersenyum singkat. Namun, mengingat bukan Candra-lah topik mereka kali ini, ia kunjung kembali ke topik awal. “Gue setuju—Varen emang gila. Padahal kalau dipikir-pikir kayaknya ini sekolah.”
“Ya emang ini sekolah!” sahut Lana kesal.
“Hmm ... gue nggak yakin.” Dienka menelan bar cokelat ketiganya. “Gue yakin anak-anak cuma masuk buat lihat berita Breakbreak News nggak guna itu. Guru-guru pun penggemar telenovela. Pokoknya nggak ada satu pun yang bener di sini. Kecuali lo, Candra, sama Fiat, sih.”
Dienka berdecak lirih, “Cuma herannya, kok mereka bisaaa gitu dapet banyak prestasi.”
“Karena mereka pinter, tapi cuma agak ... gila.”
Dienka menghela napas panjang, sedikit frustrasi sampai mengunyah tiga bar sekaligus.
“Oh, iya—Varen gimana?"
“Ck, apalagi yang harus dibahas? Lagian dia cuma cium pucuk kepala gue,” cicit Lana pada kalimat terakhirnya. Terlihat menunduk entah untuk menyembunyikan apa.
“Hayoooo! Gilaa, sih, kalau lo beneran suka sama dia.”
Lana mengabaikan jeritan Dienka barusan. Acap beranjak dari kursi. “Gue duluan, ya! Lo juga mending cepet-cepet balik ke kelas, beresin barang lo!”
“Yupp! Thanks for the chocolate!”
🌻
“Candra?” Selepas membenarkan posisi kacamata, Lana melangkah mendekat. Menghampiri Candra yang berdiri di sanding salah satu pilar keramik berwarna putih lesi. Lelaki itu menatapnya lekat-lekat, membuatnya ragu jika beberapa saat lalu Candra mencari keberadaannya. “Lo ... cari gue?”
Candra lekas mengangguk, membentangkan senyuman. “Buat lo.”
Lana tak berkutik, memandangi benda yang berada pada genggaman Candra—yang bahkan tak ia sadari ada sebelumnya. Seikat bunga matahari. Tiga bunga yang dirangkai dalam plastik bening itu kentara amat segar dan bersinar. Kelopaknya yang teramat indah seolah menghipnotis Lana untuk lekas menyambarnya, atau mungkin mendekapnya. Hanya saja ... keadaan tak lagi sama. Ia bahkan segan untuk menatapnya lebih dalam lagi.
“Buat apa?” tanya Lana.
“Uhm ... tanda 'selamat' karena semua udah normal, mungkin?”
Candra kembali menyodorkan benda itu, menciptakan suara gesekan plastik yang semu-samar. Mendapati senyum langka yang terlampau manis dari bibir Candra, membuat Lana berapa bersalah entah mengapa.
Ia berdiam diri, masih enggan menunjukkan ekspresi maupun emosi diri. Pasti rasanya akan sangat tidak nyaman jika ia menerima bunga itu nanti.
“Udah, ini.”
Candra menarik lengan gadis itu, menaruh puspa adiwarna tadi pada telempap Lana yang lembut. Namun gadis itu malah gamam dan membeku.
Di sela acara tatap-menatap keduanya, sesosok wanodya dengan headset hitam yang melingkari leher menyembul dari koridor lebar. Terus melekati Lana yang belum menyadari keberadaannya. Pun wanodya tadi tak mengerti siapa yang tengah Lana hadapi.
“Lanaa!”