Kesibukan beberapa minggu ini setidaknya sedikit berhasil membuat Oji melupakan persoalan hatinya.
Semalaman Oji merenungi apa yang salah dari dirinya hingga membuat kisah cintanya selalu saja berakhir karena orang ketiga. Dan ketika ia tak juga menemukan jawabannya, ia memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan cewek manapun selain bersahabat dengan Ara. Setidaknya sampai dia menyelesaikan masa SMA nya.
Kalaupun situasi mengharuskannya untuk dekat dengan cewek, Oji akan membentengi dirinya sekuat mungkin untuk tidak terbawa perasaan.
Tekad baru Oji ; Oji gak boleh baper.
"Berasa banget ya jomblonya." Kata Danu.
"Siapa?"
"Elo lah." Katanya sambil menyuap sesendok batagor.
Oji memutar bola matanya. Si gembul yang satu ini mulutnya emang minta di sambelin.
Sebetulnya ada banyak respon yang ingin diucapkan Oji pada kawannya yang jago ngunyah itu, tapi ia urungkan karena memang hal itu jelas tidak ada gunanya. Karena selain jago ngunyah, mulut Danu tuh udah di setting jago ngoceh dari sananya.
Sambil menikmati makanan pesanannya Oji melempar pandangan kearah koridor kelas yang posisinya berseberangan dengan kantin. Koridor yang menghubungkan sebuah taman kecil dengan lapangan basket.
Koridor itu selalu jadi tempat ramai kedua setelah kantin di jam istirahat. Karena selain luasnya yang lebih besar dari koridor lain, juga merupakan posisi yang tidak terkena sorotan matahari disaat siang begini. Pohon-pohon di taman kecil itulah yang meneduhkan area itu.
Kedua netra Oji menangkap banyak hal yang terjadi disana. Muda-mudi yang menikmati masa SMA mereka terputar jelas seperti apa yang sering digambarkan sebuah film. Kasmaran, persahabatan, juga segala hal manis yang menjadi khas pengisi masa itu.
Sudut bibir Oji sedikit tertarik melihat sepasang cewek-cowok dari kelas sebelas yang berjalan bersisian dengan jemari bertaut dari koridor menuju kantin tempatnya berada.
'Harus banget ya pacaran di sekolah?'
Seketika Oji tersentak.
Kenapa dia jadi ngomentarin orang? Bukannya dia juga pernah melakukan itu ya?
Fix, ini pasti gara-gara mode belum move on-nya Oji gak sengaja kepencet, jadilah dia iri lihat orang lain pacaran sementara dia jomblo.
Apa? Jomblo?
Kok jadi kayak omongan Danu tadi ya?
Oji segera menggeleng lalu menyudahi makan siangnya. Danu sontak mendongak menatap sahabatnya yang berdiri tiba-tiba itu.
"Ngapa lo?"
Oji tersenyum sambil menepuk pundak Danu. "Gue duluan ya."
"Lah? Kok gue ditinggal?"
Tanpa menoleh lagi Oji tinggalkan sahabatnya yang masih terus mengunyah itu.
"Woy, Ji. Makanan lo belom abis nih." Teriak Danu.
"Makan aja." Balas Oji yang juga berteriak.
Danu berdecak. "Belom dibayar nih pasti, makanya dia kasih ke gue. Dasar kampret!"
Sambil mengomel dia tarik piring Oji yang masih penuh itu. Bagaimanapun juga, makanan selalu membuat hatinya senang.
"Untung babeh gue juragan lele, bayar batagor segini mah kecil buat gue." Katanya sambil kembali menyendok batagor yang kini porsinya jadi bertambah.
***
Masih dengan langkah pelan Oji membalas pesan singkat dari Ara yang bilang kalau dia sudah ada di kelas. Tadi cewek itu menolak diajak ke kantin dan memilih bertemu dengan si kapten di lapangan indoor entah untuk apa.
Ngomong-ngomong tentang Ara, akhir-akhir ini Oji jadi jarang bersama dia selain saat mereka bertemu di kelas. Saat jam istirahat pun Ara lebih sering bersama Naya atau kadang bertemu Bintang, seperti saat ini.
Ini gak sepenuhnya salah Ara, karena memang Oji sendiri sedikit lebih sibuk akhir-akhir ini. Kean, sang ketua OSIS, memintanya membantu menyelesaikan program akhir kepengurusan mereka karena wakilnya tak cukup sigap untuk hal ini.
Tapi Oji sedikit bersyukur, karena hal itu membuatnya jadi tak pernah melihat langsung Karenina yang kata Ara sering pulang berduaan bersama Aldo. Kegiatannya membuat cowok itu pulang lebih akhir, disaat parkiran sudah hampir kosong.
Baginya selama tak tertangkap oleh inderanya sendiri, itu berarti aman. Move on itu susah, apalagi kalau si tokoh utamanya sering lewat depan mata. Oji cuma manusia biasa, yang detik ini bilang mau move on dengan tekad sekuat baja, cuma dengan gak sengaja di senyumin doi aja bisa-bisa malemnya bikin sejuta puisi buat ngajak balikan. Bucin kan.
Tapi itu udah lewat. Untuk kasusnya yang sekarang ini, entah mungkin karena sudah terlalu sering kalah ditikung, Oji sudah memantapkan dirinya untuk tidak lagi baperan seperti sebelumnya.
Sudah cukup ketulusannya dikalahkan begitu saja bahkan oleh alasan-alasan yang sebenarnya tak bisa dia terima. Sisa masa SMA-nya harus berisi kenangan indah. Setidaknya bersama sahabat-sahabat berisiknya yang lebih sering merepotkan daripada membantunya. Tidak apa, mereka adalah salah satu penguat Oji hingga saat ini.
Oji memelankan langkahnya ketika netranya menangkap satu sosok yang berjarak sekitar sepuluh langkah di depannya juga melakukan hal yang sama. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain tanpa adanya ekspresi yang terlihat di raut mereka.
Hingga saat keduanya berada dalam jarak yang kurang dari rentangan tangan, untuk beberapa detik yang tak kentara mereka menahan langkahnya.
"Hai, Ji."
Sapaan yang tepat terucap di telinga kanan Oji. Sebuah suara rendah dengan nada ramah yang bagi Oji sendiri amat bertolak belakang.
Karena Oji tahu, ada banyak makna yang hendak disampaikan dari sekedar menyapa. Ada banyak peringatan yang tak boleh sampai terbaca. Dan ada perlawanan untuk sebuah ancaman yang sempat dia lontarkan pada sosok itu beberapa waktu lalu.
Langkah yang perlahan kembali menciptakan jarak itu membuat Oji menyunggingkan senyum miringnya.
Dia melanjutkan kembali perjalanannya yang sempat tertunda menuju kelas dimana sahabatnya kini tengah menunggu.
Beberapa langkah menjelang tiba di depan pintu kelasnya yang terbuka lebar, kedua matanya tak sengaja menangkap dua sosok yang akhir-akhir ini luput dari perhatiannya. Atau lebih tepatnya coba ia acuhkan dengan dalih kesibukan OSIS. Berjalan bersisian dengan tangan bertautan yang sontak membuat Oji mendesis melihatnya.
Tak ingin berlama-lama memfokuskan mata juga pemikiran anehnya yang mulai muncul pada dua sosok itu, Oji melanjutkan langkahnya yang terasa lunglai.
Ada banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat ini. Yang Oji tahu pasti kalau pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin begitu saja bisa ia lontarkan. Karena untuk mencari jawabannya sendiri pun Oji membutuhkan banyak alasan untuk sekedar meyakinkan dirinya sendiri.
***
"Assalamualaikum."
Ara mendorong pelan pintu rumahnya setelah beberapa saat memerhatikan sepasang sandal yang ia kenal ada di teras depan rumahnya.
Terlalu sore untuk dibilang Ara baru pulang sekolah. Karena nyatanya jam pulang sekolah telah berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan Oji pun sudah berganti pakaian dengan kaus dan celana kargo saat Ara dapati tengah berbincang dengan Ibunya di meja makan sambil menuangkan bakso dari plastik.
"Ih lagi pada ngebakso gak nungguin aku dulu." Kata Ara sambil menarik kursi disamping Oji.
"Ibu mau ganti anak aja katanya, Ra. Abis lo diminta tolong gak nyaut-nyaut. Keasyikan pacaran sama si kapten."
Ara melotot. Disikutnya Oji yang tampak acuh sambil mulai mengaduk baksonya.
"Ih apaan sih. Emang ibu minta tolong ke aku?" Tanyanya pada Ibu.
"Ibu tadi chat kamu minta tolong belanja bahan kue di toko deket sekolah itu lho, yang dulu kita pernah kesana, eh gak dibaca." Kata Ibu.
"Masa sih?"
Ara buru-buru mengecek ponselnya yang ditaruh di dalam tas.
"Ya ampun, Bu.. maaf, Aku gak tau ada chat dari ibu." Sesal Ara sambil meraih tangan sang Ibu.
Setelah di cek ternyata ada tiga pesan dari Ibu yang belum sempat dia baca.
"Tau tuh, Bu, kebanyakan pacaran tuh si Ara." Timpal Oji sebelum melahap baksonya.
"Sirik aja lo jomblo. Gak usah ngomporin deh."
Kali ini Oji yang melotot, Ara udah berani ngatain dia jomblo, emang Ara udah gak jomblo?
Oji udah hampir membalas sebelum tatapan Ibu Ara memperingatinya. Adu mulut sama Ara gak akan selesai begitu saja, keburu baksonya dingin. Jadi demi menjadi anak baik buat Ibu Ara, Oji memilih diam menikmati bakso yang dibelikan Ibu dari sahabatnya itu.
"Kamu abis darimana sih, Ra? Kalo nungguin kamu pulang bisa-bisa ibu gak jadi bikin kue karena keburu tokonya tutup. Untung tadi ketemu Oji di depan, jadi Oji deh yang belanja."
Ara menggaruk pelipisnya, merasa malu karena sudah mengabaikan perintah dari Ibunya dan terlalu asyik dengan dunianya sendiri.
Sepulang sekolah tadi Bintang mengajaknya ke suatu tempat, dengan hanya meminta ijin lewat pesan singkat pada Ibu, Ara lalu mengiyakannya.
"Tadi Ara pergi sama Bintang, Bu. Maafin Ara ya."
Ara sedikit tersentak saat Oji tiba-tiba berdiri dan berlalu ke arah dapur. Tapi Ara tak peduli. Satu hal yang telah terjadi tadi melintas di ingatannya. Sebuah kejadian yang membuat pipinya terasa memanas.
Tanpa sadar Ara tersenyum.
Sungguh Ara masih berpikir kalau ini sebatas imajinasinya saja. Orang yang dulu Ara pikir tak akan pernah teraih itu ternyata memang berada sedekat ini dan melakukan hal yang lebih jauh dari sekedar angannya.
Dan tak perlu berpikir dua kali lagi, untuk hal yang jelas-jelas membuatnya merasa bahagia itu, Ara dengan segenap hatinya memenuhi permintaan Sang Bintang.
Sebuah keputusan yang untuk pertama kali dalam hidupnya ia ambil. Keputusan pertama tanpa dia minta pendapat dari orang-orang terdekatnya. Karena untuk urusan hati, tak ada satu pun yang paham selain sang empunya.
"Nih,"
Ara mengerjap saat semangkuk bakso tanpa mie terhidang di depannya. Oji yang menyiapkannya.
"Sambelnya dua sendok, kan?"
Sambil mengangguk Ara tersenyum. Sahabatnya ini emang paling paham. Bukan berlebihan kalau Ara menyebut Oji sahabat terbaiknya, karena nyatanya memang begitu. Untuk hal-hal sekecil apapun tentang Ara, Oji paham betul.
Ara jadi penasaran bagaimana reaksi cowok itu kalau dia menceritakan semuanya. Dia sudah akan memulai cerita ketika kemudian didapatinya Oji tengah menatapnya dengan penuh tanya.
"Lo.. jadian sama Bintang?"
Tepat. Sambil menggigit bibirnya Ara mengangguk pelan.
Ada helaan nafas Oji sebelum akhirnya cowok itu mengerjapkan mata.
"Oh."
Oh doang?
Ara mengernyit. Tadi dia sempat mengira kalau Oji akan sedikit lebih heboh dari sekedar 'oh' saja. Bagaimanapun cowok itu tahu betul seluk beluk kisah perjuangannya mendapatkan hati Bintang.
Telah banyak waktu pula yang mereka lewati hanya sekedar untuk mengamati Bintang, hanya demi rasa penasaran Ara pada cowok itu.
Jadi Ara pikir kalau Oji akan sama bahagianya dengan dia saat mengetahui hal ini.
"Ji, kayaknya kemungkinan kita nikah di sepuluh tahun mendatang itu semakin menipis ya. Siapa tahu nanti gue emang jodohnya sama Bintang."
Oji mencibir mendengar ocehan cewek bawel disampingnya itu.
"Baru juga jadian udah segitu pedenya. Tenang aja, gue juga gak lama lagi bakal dapetin cewek. Gue sih jomblo juga sebentar-sebentar, Ra.."
"Gak kayak lo." Lanjutnya tepat di telinga Ara.
Ara sontak mendorong wajah Oji.
"Cewek dari mana? Move on aja susah. Atau mau bales nikung si Aldo?"
Dengan cepat Ara berdiri menjauh dari Oji beserta semangkuk bakso dalam kedua tangannya. Sebelum benar-benar menjauh keduanya saling memeletkan lidah, saling mengejek.
Tak berniat menyusul cewek yang kabur ke depan televisi itu, Oji kembali mengaduk baksonya yang mulai dingin tanpa berniat memakannya.
Pikirannya mendadak melayang pada satu kejadian yang lagi-lagi tak bisa dia ungkapkan secara gamblang. Helaan nafas menjadi satu-satunya latar hingga selera makannya menguap entah kemana.
Keresahan kini mengambil alih segala isi pikirnya.
***
To be continue..