Sambil mengeringkan rambutnya Oji berjalan ke balkon kamarnya lalu sedikit mencondongkan badannya melihat kearah kanan. Ke rumah sebelah yang jendela dan pintu ya masih tetap tertutup sejak sepulang sekolah tadi.
Dan untuk kesekian kalinya Oji ingin memastikan kalau si pemilik kamar ada disana atau tidak.
Oji menghela nafas sambil memandangi layar ponselnya yang tak juga menampilkan notifikasi yang ditunggunya.
Ini tak seperti biasanya. Ada apa? Apa gadis itu marah?
Ck. Oji berdecak sambil kembali masuk ke kamarnya lalu merebahkan diri disana.
Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Seketika bayangan Nina memeluk cowok tadi melintas dipikirannya.
Sial.
Kalau sendiri begini ternyata galaunya makin kerasa ya.
Karenina bukanlah cewek pertama yang jadi pacar Oji. Selama ini ada beberapa nama yang sempat jadi pacarnya meski tak selama dan sesusah mendapatkan Nina.
Oji bahkan harus menunggu satu semester untuk meyakinkan cewek itu untuk menerimanya. Dan saat gadis itu meminta putus, dia sungguh tak percaya. Sebelumnya dia dan Nina baik-baik saja.
Menurutnya, Nina bukanlah cewek yang gampang membuka hati apalagi untuk orang yang baru dikenalnya. Dan cowok tadi Oji yakin dia belum lama jadi murid di sekolahnya, karena ia masih asing pada wajah itu.
Jika untuk menerima Oji saja yang sudah kenal sejak kelas sepuluh butuh waktu enam bulan, kenapa dengan mudahnya dia menerima orang itu?
Atau mungkin mereka sudah saling mengenal sebelumnya? Atau jangan-jangan..
Oji langsung terduduk ketika teringat sesuatu.
***
Selepas sholat magrib tadi, Oji langsung mengunjungi rumah Ara yang hanya beberapa meter saja jaraknya dari rumah. Ditangannya sudah ada buku matematika dan alat tulis yang siap dijadikan alibi jika cewek itu menanyakan maksud kedatangannya.
Oji yang sudah terbiasa mengunjungi rumah Ara entah mengapa jadi sedikit merasa takut.
Bukan. Bukan takut. Apa ya? Khawatir mungkin.
Sejak sepulang sekolah tadi ia merasa aneh dengan Ara yang tak mengajaknya bicara hingga saat ini.
"Biasanya juga kalo dateng gak pake alasan buat belajar, Ji." Kata Ibu Ara sambil menyodorkan segelas susu coklat. Oji menerimanya sambil tersenyum rikuh.
Oji meringis, "Hapal banget ya, tan?"
Ibu Ara hanya menggeleng sambil berlalu meninggalkan Oji di ruang tamu. Sepertinya wanita itu mau melanjutkan menonton sinetron, karena tak lama terdengar suara televisi menyala.
"Oji."
"Astaghfirullah." Oji mengelus dadanya pelan.
"Dih, kaget."
Oji menggeser duduknya karena Ara tiba-tiba duduk disebelahnya tanpa permisi. Kebiasaan.
"Lo ngapain bawa buku matematika? Pengen ngalahin rankingnya si Panji? Percuma lo gak akan bisa jadi Panji. Kecuali kalo nama lo huruf U nya diganti jadi N."
Melihat Ara yang bawel seperti biasa ini, Oji jadi bingung. Bukannya dia lagi marah?
"Malah bengong."
Oji terkesiap ketika tangan Ara menyentuh wajahnya.
"Lo..gak marah sama gue?" Tanya Oji pelan.
Ara mengerutkan kening mendengar pertanyaan aneh Oji. "Kenapa harus marah?"
Oji menggaruk tengkuknya. "Ya.. gue kira lo marah karena tadi gue hampir ninggalin lo."
Ara melongo mendengar pernyataan Oji yang menurutnya lagi-lagi aneh. Kenapa sih? Apa putus cinta bikin orang jadi bego?
"Lah, kan udah biasa. Ini bukan yang pertama kali, dulu gue malah pernah lo tinggal beneran di minimarket. Dan apa gue marah?"
Iya, ya. Kenapa dia harus kepikiran hal ini.
"Tapi dari siang lo gak ngajak gue ngomong. Di motor juga diem aja. Gue berasa bawa karung."
Ara meninju bahu Oji. Sembarangan dikatain karung.
"Lo gak liat ya tadi gue nguap di motor lo? Bengong ya lo bawa motornya? Gue tuh ngantuk. Sampe rumah langsung tidur dan baru bangun tadi magrib. Lo gak liat nih baju gue?"
Oji meneliti baju Ara. Dia masih mengenakan rok sekolahnya dan hanya mengganti baju seragamnya dengan kaos.
Oji menepuk keningnya. Kenapa dia bisa jadi over thinking seperti ini? Dia mengacak rambutnya sambil menunduk.
Dia tidak menyangkal kalau memang akhir-akhir ini dia jadi lebih hati-hati dalam melakukan sesuatu. Dia takut melakukan kesalahan tanpa disadarinya. Dia takut dengan melakukan itu dia akan kembali ditinggalkan. Seperti.. Nina.
Sebaik apapun yang dia lakukan, sebanyak apapun pengorbanan dia, nyatanya dia tetap ditinggalkan. Dia jadi berpikir kalau mungkin saja dia melakukan kesalahan yang tak dia sadari terhadap gadis itu.
Dan dari pemikiran itulah Oji jadi takut Ara marah karena hal yang Ara bilang sepele tadi. Oji tak ingin melakukan kesalahan yang sama, apalagi pada Ara, sahabatnya. Dia tak akan pernah bisa jauh dari gadis itu.
Dan sekarang dia merasa lega. Ara tidak marah. Gadis itu memang terlalu baik untuknya yang kadang keterlaluan.
Ara mengusap pelan punggung sahabatnya. Dia paham. Sangat paham.
Dilihatnya Oji tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Ara balas tersenyum.
Keduanya lantas tertawa geli.
Detik selanjutnya adalah mereka menghabiskan waktu dengan obrolan ngalor ngidul.
Niat awal yang katanya mau belajar nyatanya benar-benar cuma alibi Oji saja. Bahkan bukunya saja tak disentuh sama sekali.
"Lo bilang tadi lo tidur sampe magrib? Gak sholat lo!"
Ara mengangkat sebelah alisnya. Dia hendak menjawab sebelum Oji kembali bicara.
"Oh iya jadwal merah lo ya."
Sehapal itu. Oji memang sahabat terbaik yang Ara punya. Kalimat itu ternyata memang dalam artian yang sebenarnya.
Apapun tentang Ara, Oji tahu. Begitupun sebaliknya. Apapun tentang Oji, Ara paham.
Ibu Ara yang melihat anaknya keluar lantas menghampiri.
"Belajarnya udahan? Tugasnya emang udah beres?"
Jelas saja Ibu Ara merasa heran, mengerjakan tugas matematika sesebentar itu?
"Udah dong tante." Jawab Oji yakin.
Ara tersenyum geli mendengarnya.
'Beres dari mana? Orang sama-sama bego wkwk.'
***
Tepat ketika menginjakan kaki di teras rumahnya, Oji teringat sesuatu. Dilihatnya pintu rumah Ara yang sudah tertutup.
"Niat gue kan mau nanyain soal Nina, kenapa bisa lupa sih?"
Dasar Oji.
***
Sekolah sudah hampir kosong sejak sejam yang lalu. Hanya tinggal tersisa beberapa anak OSIS yang kebetulan ada jadwal rapat siang itu.
Matahari tiada ampunnya menyoroti segala yang ia terpa di permukaan bumi, membuat setiap orang yang berada diluar ruangan bermandikan peluh karenanya.
Seseorang yang tengah berlari memainkan bola basket di tengah lapangan itu seolah tak gentar dengan panas yang menyengat kulitnya. Tak peduli meski peluhnya terus membasahi seragamnya. Nafasnya yang memburu karena lelah, juga kakinya yang sedikit bergetar karena dipaksa terus berlari.
Brukk
Meleset. Kali ini bola itu hanya menyentuh pinggiran jaring saja. Rasa lelahnya ternyata memang sudah tak bisa dia tahan lagi. Tapi lagi-lagi dia memaksakan tubuhnya untuk kembali berlari.
Dengan gerakan tangan yang mulai memelan dia kembali membawa bola untuk kemudian dia lempar lagi.
Basket bukanlah olahraga favoritnya. Tapi kapanpun dia butuh pelampiasan dari segala emosinya, basket selalu jadi pilihannya.
Sama seperti saat ini. Dia perlu menyalurkan segala keresahan hatinya pada olahraga itu. Berharap agar semuanya menguap setelah ia merasa lelah. Ya, minimal dia bisa tertidur kelelahan setibanya nanti dirumah. Dengan begitu ia bisa sedikit melupakan permasalahan hatinya sejenak selama ia tidur.
Dia tak menyangka kalau cerita yang Ara dan Naya sampaikan tadi di jam istirahat bisa membuatnya sekacau ini.
Rasanya seperti kalah. Ternyata dia tidak ada apa-apanya. Semua perasaan yang membuatnya gila itu nyatanya tak seberapa. Dan seluruh waktu yang ia berikan hanya untuk menunggu perasaannya terbalaskan juga nyatanya tak seberapa.
Hati itu memang sudah ada yang punya. Jelas saja ia amat susah menembusnya.
Lalu untuk cerita yang sempat mereka buat itu artinya apa?
"Hahh!" Oji mendesah kasar.
Obrolannya dengan Ara dan Naya kembali terngiang ditelinganya.
"Saat itu bahkan mungkin sampai sekarang Karenina belum putus dari cowoknya. Meskipun ditinggal tanpa kepastian, dia tetap setia nunggu. Dia masih yakin kalau cowoknya masih punya rasa yang sama."
Oji menatap Naya, menunggu cewek itu melanjutkan ucapannya.
"Untuk cewek sebaik dan setulus Karenina, gue rasa dia gak akan mungkin bisa dengan mudah ngelupain cowok itu. Karena.."
"Karena?"
"Dia cinta pertama Karenina."
Bahu Oji melemas mendengarnya. Sekarang dia paham kenapa dulu Nina seakan ragu menerima cintanya.
Di ingatannya kini kembali terputar kejadian dimana cewek itu dengan sukarela nya melingkarkan tangannya pada seseorang yang tak Oji kenal itu. Kenapa dia bisa dengan mudah dengan orang itu? Sementara dengan Oji saja dia harus diyakinkan selama berbulan-bulan?
"Siapa nama cowok itu?" Tanya Ara yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
"Aldo."
"HAH?!"
Oji mengernyit melihat respon dari sahabatnya yang tampak kaget. Pasti ada yang dia ketahui soal nama itu, pikir Oji.
"Lo kenal?" Tanya Oji.
Ara menggigit bibirnya sambil menatap Oji ragu. Haruskah ia ceritakan apa yang ia lihat beberapa hari sebelum Oji dan Karenina putus?
"Ra?"
"Eh.." Ara masih menimang, sebelum akhirnya dia putuskan untuk bicara.
"Gue liat mereka berdua di cafe sebelum dia mutusin lo, Ji." Kata Ara hati-hati.
"Apa? Kenapa lo gak bilang?"
Ara menghela nafas ketika Oji sedikit menaikkan nada bicaranya meski tampak sekali dia tahan.
"Gue.. bingung."
Oji membuang nafas kasar.
"Lo yakin dia sama Aldo?" Tanya Naya. Pasalnya dia belum sama sekali melihat wajah orang yang Oji maksud. Selain karena cowok itu katanya murid baru, juga karena dia beberapa hari absen menemani ibunya yang sakit.
Ara mengangguk yakin.
"Gue denger Karenina manggil dia 'Aldo'. Yang gue lihat, Karenina hampir nangis sebelum akhirnya..
dia peluk Aldo."
Brakk
Bola oren itu menghantam tempat sampah di pinggir lapangan hingga terguling. Untung saja tidak ada isinya.
Oji menatap bola yang menggelinding itu dengan nafas memburu. Semua emosinya kini bercampur.
Ara yang sedari tadi diam mengawasi di pinggir lapangan menatap sahabatnya kasihan. Sebenarnya ia ingin menghentikan permainan gila itu sejak tadi, tapi dia tahu kalau Oji butuh samsak dari kekecewaannya.
Ini salah satu yang Ara takutkan jika ia jujur pada Oji tentang mantan pacarnya itu. Saat itu ia tak tega menghapus senyum yang selalu mengembang di wajah Oji yang berhasil mendapatkan cintanya Karenina. Selain itu, ia juga takut hal seperti ini terjadi.
Kalau jatuh cintanya saja sudah se'gila' itu, apalagi patah hatinya.
"Ji, udah." Kata Ara pelan. Menyadarkan Oji bahwa dia tidak sendiri.
Oji menghampirinya perlahan sambil mengernyit bingung.
"Kenapa masih disini, Ra?"
Ara hanya tersenyum. Mana bisa dia meninggalkan sahabatnya yang sedang kacau sendirian.
"Gue nungguin lo. Takut bunuh diri." Katanya sambil menyodorkan air mineral.
Oji tersenyum tipis. Diambilnya botol plastik itu sambil meluruskan kakinya yang gemetar di tanah, dibawah bangku yang Ara duduki.
Melihat tangan Oji yang sedikit gemetar saat membuka tutup botol, Ara yakin kalau cowok itu sudah amat lelah. Dia merebutnya untuk membantu cowok itu.
"Jangan bikin gue nyesel karena cerita yang tadi."
Oji menoleh lalu tersenyum tipis.
"Iya. Makasih ya, Ra."
***
To be continue..
Salam dari Oji, si lelaki yang lagi patah hati 😘