Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku Biru dan Kamu Abu
MENU
About Us  

     Setelah sukses dibuat menangis oleh Abu, kini aku mengerti apa maksud dari perkataannya waktu itu. Menceritakan hal yang mengganggu pikiranku rasanya benar-benar melegakan. Seolah semua beban dalam hati maupun dadaku telah terangkat. 

     Ditambah lagi respons yang diberikan Abu sungguh menghangatkan hati. Kalau dipikir-pikir, hebat juga aku bisa mengenal laki-laki seperti dirinya.

     Abu yang datang tiba-tiba tak ubahnya sebuah anugerah. Dia ibarat api kecil dari lilin yang menerangi di kala listrik padam, yang jika kita meletakkan tangan di dekatnya akan terasa kehangatan. Sederhana tetapi berarti.

     Intinya aku senang sekali mendapatkan seorang Abu sebagai teman curhatku. 

     "Oke, sekarang aku tahu kalau kamu benci matematika," ucapnya menanggapi curhatanku.

     Wajah Abu terlihat cerah. Dari suaranya, aku tahu kalau saat ini dia tengah bersemangat karena bisa mendengar cerita dariku untuk yang pertama kali.

     Reaksi Abu itu membuat jantungku berdegup kencang. Aku merasa aneh, tetapi juga merasa hangat. Ternyata seperti ini rasanya saat ada seseorang yang benar-benar mau mendengarkan ceritamu.

     "Tidak cuma matematika, sih. Aku itu tidak suka semua mata pelajaran yang ada hitungannya," tambahku. "Karena aku kan tidak pandai hitung-hitungan. Makanya seperti yang aku bilang tadi, aku kesal kalau ada yang banyak bertanya kenapa aku tidak bisa jawab soal, padahal aku masuk peringkat tiga besar di kelas." 

     Sejenak Abu terdiam sebelum kemudian tertawa pelan. "Lucu juga lihat kamu kalau lagi kesal begini."

     Wah, anak ini malah mengomentari wajah kesalku. "Hei, Abu, aku lagi serius loh 
sekarang."

     Abu lantas meminta maaf secara singkat dan berkata, "Biru, meski aku tidak mengerti secara penuh perasaanmu karena tidak mengalaminya, tetapi aku di sini ada untuk mendengarkanmu. Dan menurutku kekesalanmu itu wajar kok. Lagi pula kecerdasan manusia tidak hanya ada satu. Aku juga heran kenapa ada banyak sekali yang suka menolok ukur kecerdasan seseorang hanya dari pintar tidaknya dalam kemampuan matematika."

     Aku manggut-manggut. Aku bisa memahami kata-kata Abu dan sangat setuju dengan pendapatnya. Meski begitu, tetap saja aku masih terganggu. Lebih tepatnya pemikiran dan komentar orang-oranglah yang menggangguku.

     "Tetapi jujur saja aku masih merasa terbebani. Dengan aku yang dapat peringkat pasti banyak yang berpikir kalau aku itu pintar. Padahal aku saja tidak tahu kenapa bisa masuk tiga besar."

     "Itu artinya kamu punya potensi diri."

     Ucapan yang keluar dari mulut Abu itu sepertinya pujian dan sudah seharusnya aku merasa senang. Namun, aku justru berakhir diam tak berkutik. Mulutku terbuka tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

     Abu kemudian menyerukan namaku dan membawa pikiranku kembali pada tempatnya. Mata kami berdua kembali bertemu. 

     "Biru, kamu tidak perlu merasa terbebani. Kamu jangan pedulikan omongan orang lain. Kamu fokus saja jalani hidupmu. Selagi tidak merugikan siapa pun, kenapa mesti diambil pusing?"

     Abu ini pemikirannya benar-benar luar biasa, ya. Selalu berhasil membuatku takjub. Tanpa sadar bibirku terangkat. Bagaimanapun, ucapan Abu itu benar sekali.

     "Kamu tersenyum?" tanya Abu.

     Wajahku langsung datar. "Tidak, aku sedang marah."

     Kini gantian Abu yang tersenyum. "Kamu bisa saja."

     Aku mengernyit. Ini bocah kenapa, deh?

     "Bi," kata Abu kemudian.

     "Bi? Bi apa?"

     "Ru," sambung Abu.

     Merasa keheranan, aku bertanya dengan bingung, "Abu kamu kenapa sih?"

     "Bi.... Ru...." 

     "Iya, aku Biru. Kenapa sih?" 

     Selang beberapa lama terdengar suara tawa Abu membelah udara. Aku cukup kaget karena baru kali ini melihanya tertawa dengan keras.

     "Apanya yang lucu?" tanyaku begitu menyadari Abu tengah mempermainkanku.

     "Reaksi kamu lucu."

     Aku mendengkus. Dasar bocah satu ini.

     Tangan Abu lalu mengusap pucuk kepalaku. Jangan berpikir ini hal yang manis, karena sepertinya tujuan Abu adalah membuat rambutku menjadi acak-acakan. 

     Keyakinanku ini semakin menjadi begitu mendapati wajah tampan Abu yang terlihat senang sekali saat menjailiku.

     "Biru."

     "Apa lagi?" tanyaku sewot.

     Setelah puas membuat rambutku tak keruan, Abu menarik tangannya untuk segera 
disembunyikan di balik badan. Laki-laki itu melempar senyum ke arahku.

     Seperti biasa, senyuman Abu selalu tampak manis. Mungkin semanis permen kapas?

     "Jangan berpikir berlebihan, Biru. Itu tidak akan baik buat kamu."

     Apa kataku. Respons yang kuterima dari Abu melebihi kata baik. Tidak hanya kata-katanya. Caranya menatap dan bersikap juga sangat berkesan dan kentara ketulusannya.

     Senyumku tak ayal ikut terbit, merasa benar-benar dihargai. 

     "Abu, terima kasih banyak ya sudah mau mendengar ceritaku."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags