Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Vanta meraba lehernya, mencari sesuatu yang sejak lama melingkar di sana. Kosong. Ia baru ingat beberapa hari yang lalu melepas kalung itu. Vanta lalu membuka laci meja dan mencarinya. Tidak ada. Dia beralih ke ransel yang biasa digunakannya ke kampus. Membongkar dan menerbalikannya hingga barang-barang dari dalam tas berserakan di lantai. Tidak ada juga.

Bukan karena rindu pada orang yang memberikannya. Sama sekali bukan. Kebiasaan memakai kalung selama empat tahun terakhir membuat Vanta merasa aneh tanpa keberadaan aksesori itu di lehernya. Vanta akhirnya menghela napas pasrah. Mungkin ia lupa meletakannya di mana. Biasanya akan ketemu jika tak dicari. Lagi pula, lambat laun Vanta harus melepaskan kalung itu.

Setibanya di kampus, Jessi sudah menunggu di dekat parkiran. Cewek itu mengirim pesan sebelum Vanta berangkat. Pasti dia tidak sabar mendengar cerita tentang Ferdi.

“Gimana, gimana kemarin?” serbu Jessi tak sabar. “Sukses?”

Tuh, kan.

“Sukses apanya?” Vanta berjalan mendahului Jessi, tapi gadis itu buru-buru mengejar.

“Apalagi? Ya PDKT-nya lah ...” Gadis itu menyelipkan tangan di lengan Vanta.

Diliriknya Jessi sekilas, Vanta mendesah dan berkata, “Siapa yang PDKT sih? Kemarin cuma belajar kamera aja, kok.”

“Masa sih cuma itu? Nggak ngobrol lain-lain gitu?” tanya Jessi tak percaya.

“Ngobrol dikit, sih. Tapi sebentaran, habis itu gue balik.”

“YAHH, KENAPA?”

Mereka memasuki lift menuju workshop. Niatnya Vanta mau melanjutkan tugas di sana. “Ih! Si toa. Ya nggak kenapa-napa, soalnya gue udah harus pulang.”

Jessi terbelalak  mendengar alasan Vanta. Bisa-bisanya cewek itu mikirin pulang saat di sebelahnya ada cowok ganteng yang katanya tipe Vanta. “Padahal kemarin itu kesempatan tau! Kapan lagi kalian bisa berduaan? Timing udah pas, suasana mendukung, aturan lo ajak ngopi dulu kek, nonton, atau traktir di kantin minimal. Ini kenapa kabur pulang, deh? Emangnya lo anak SD yang pulang sekolah harus langsung pulang ke rumah? Yee ... si kampret, dia malah cengengesan.”

Benar, Vanta menyeringai mendengar komentar panjang lebar Jessi.

“Sorry kawan, usaha lo jadi sia-sia. Tapi kayaknya gue nggak bisa sama dia. Baik sih, orangnya. Tapi justru karena itu. Gue jadi ngerasa dia—”

“Terlalu baik buat lo,” sergah Jessi langsung.

Pintu lift terbuka. Vanta tertawa karena ucapan Jessi persis seperti yang akan dilontarkannya.

“Basi lo, Ta! Alasan klasik itu! Ngaku deh, pasti ada sebab lainnya.”

Tawa Vanta terhenti. Gadis itu berpikir selama beberapa saat sebelum menjawab, “Setelah ngobrol kemarin, gue cuma ngerasa kayaknya nggak bisa secepat ini. Kenalnya juga baru, belum ada feeling yang gimana-gimana. Asik sih orangnya, tapi ... apa ya? Nggak lebih dari itu pokoknya.”

Vanta mendorong pintu workshop dan menahannya agar Jessi masuk lebih dulu. Tindakan manis yang membuat Jessi betah berteman dengannya. Kalau kata Jessi, berasa punya pacar. Andaikan Vanta itu cowok, Jessi pasti sudah naksir!

Jessi menganga mendengar penjelasan Vanta. Padahal dia amat yakin, Ferdi itu tipe Vanta banget. Cowok baik-baik  berkharisma yang tampak bersahaja dan berwawasan luas. Akan cocok kalau mereka jadian. “Lo nggak deg-degan deket dia? Nggak ada getar-getar gitu?”

Vanta mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu, memasang raut berpikir. “Ada. HP gue yang getar-getar.” Kemudian terbahak.

Baru memutar mata sebal, tiba-tiba wajah Jessi memucat. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Tidak mengeluarkan protes seperti yang dipikirkan Vanta.

“Ta,” bisik Jessi tersekat.

Vanta yang sedang sibuk mengeluarkan peralatan gambar hanya menjawab dengan gumaman. Tak memerhatikan reaksi sahabatnya. Tapi kemudian Jessi menyiku lengannya sampai ia mengangkat kepala dan mengikuti lirikan gadis itu.

“Itu kan temennya Alvin,” ujar Jessi masih dengan suara super pelan.

“Yang mana?”

“Yang baju biru.”

Jujur saja, Vanta kesulitan mengingat wajah-wajah itu. Hanya wajah Alvin yang tersimpan di memorinya. Itu pun karena insiden lapangan basket. Kalau cowok itu tidak “menyapa” lebih dulu, mungkin Vanta akan lupa bentukannya.

“Jangan-jangan nanti orangnya  ...” Sebelum kalimat Jessi selesai, kedua cewek itu mendadak bergandengan tangan. Terperanjat ketika seorang lagi memasuki workshop.

Vanta dan Jessi langsung buang muka. Mereka pura-pura sibuk menyusun peralatan tugas Vanta di meja. Kerja tim yang sangat baik. Keduanya berharap cowok itu tidak melihat mereka. Atau jadi transparan saja sekalian.

Saat itu, Alvin yang belum menyadari keberadaan Vanta dan Jessi tampak serius mengobrol dengan temannya. Sampai suara benda jatuh membuat cowok itu berpaling.

Vanta langsung meringis ketika Jessi tanpa sengaja menjatuhkan gunting miliknya. Perlahan Vanta menunduk untuk mengambil gunting yang terjatuh. Detik-detik yang mencekam itu terasa seperti bertahun-tahun lamanya. Untuk sekadar bernapas saja Vanta tidak berani. Gerakannya bisa dibilang sangat lambat, entah apa gunanya, toh dia sudah ketahuan. Tapi insting bertahan hidup tetap diaktifkan.

Jantung Vanta berdegup kencang. Bicara soal getar-getar, sekaranglah saatnya Vanta merasa tangannya yang memegang gunting bergetar. Alih-alih karena Ferdi, Vanta justru berdebar karena Alvin dalam artian berbeda.

Sialan!

Vanta tidak takut pada Alvin, sungguh. Hanya saja, ulah cowok itu yang bikin Vanta mendadak sesak napas dan menerka-nerka, kira-kira apalagi yang akan dilakukan cowok itu padanya. Vanta memberanikan diri untuk melirik. Tepat pada saat yang sama, Alvin sedang menatapnya dengan ekspresi datar. Cowok itu lalu memalingkan muka dan kembali megobrol sambil tertawa dengan teman-temannya. Mereka tak bertahan lama di dalam workshop.

Desahan keras lolos dari mulut Jessi setelah Alvin cs keluar. ”Haah! Selamat, selamat ...! Untung, untung ...!”

Pandangan Vanta belum beralih. Masih di tempat Alvin berdiri tadi meski cowok itu sudah pergi.

“Dia nggak ganggu lo, Ta. Malah ngelihatnya seolah kayak nggak kenal gitu. Udah bosen kali, ya?” ujar Jessi lagi. “Bisa bernapas lega nih, kayaknya.”

Entah bagaimana Vanta merasa sangsi. Anehnya, dia akan merasa lebih lega kalau tadi Alvin menghampirinya dan cari ribut dengannya. Sinting, bukan?

Ketenangan cowok itu malah terasa janggal. Firasat Vanta berkata, Alvin tak akan membiarkannya semudah itu. Ini terlalu ajaib. Tetapi, apa benar Alvin sudah bosan mengganggunya?

 

***

 

Alvin mendengkus mengingat raut gadis itu di workshop tadi pagi. Vanta seperti tikus yang sedang tertangkap basah mencuri makanan. Pasti cewek itu super bingung saat melihatnya mengabaikan Vanta. Mungkin cewek itu sedang lega karena Alvin mengabaikannya. Namun sayang, ia tidak akan membiarkan ketenangan Vanta berlangsung terlalu lama.

Belum saatnya menghentikan gencatan senjata. Alvin sendiri tidak tahu, sampai kapan semuanya akan berakhir. Sampai kapan dia akan merasa puas membalas Vanta. Pertanyaannya, apakah yang Alvin lakukan semata-mata demi memberi pelajaran pada cewek itu? Rasanya dia sudah tidak terlalu memikirkan kejadian lemonade di kantin tempo hari.

“Vin, Pepsi lo lagi on the way kantin,” lapor Andre yang sedang menempelkan ponsel di telinga. Cowok itu mendapat kabar dari Edo yang telah diberi mandat oleh Alvin untuk mengawasi pergerakan Vanta.

”Oke. Pastiin jangan sampe ada yang dudukin bangku Sang Putri.” Mata Alvin terarah pada salah satu tempat kosong di sebelah jendela, tempat favorit cewek itu.

”Sip, man,” Andre mengacungkan jempol kanannya, kemudian menuju meja yang dipersiapkan untuk target mereka dan berdiri di sebelahnya.

Karena Andre tak kunjung duduk, beberapa mahasiswa bolak-balik menanyakan apakah meja itu kosong. Tetapi Andre langsung mengusir mereka. Cowok itu menjalankan tugasnya sama baik dengan Edo yang mengawasi Vanta sejak tadi tanpa ketahuan.

Sambil mengunyah permen karet, Alvin berdiri di samping salah satu food stall. Tempat terbaik untuk menyaksikan pertunjukan. Panggilan tak terjawab dari Edo menandakan Vanta sudah berada di kantin, artinya Andre harus menjauh dari meja itu agar tak dicurigai.

“Lo yakin dia bakal duduk di situ?” tanya Andre, menarik bangku dekat Alvin.

 “Dia selalu duduk di sebelah situ.”

“Kalo salah sasaran, gue nggak tanggung, ya.” Andre mengangkat kedua tangan di depan dada.

Alvin ikut duduk dan menyeringai. “Tenang aja. Kalo salah gue yang tangung jawab. Tapi gue yakin.”

Mereka memasang mata baik-baik ketika melihat Vanta dan seorang temannya memasuki kantin. Cewek itu mengatakan sesuatu pada temannya dan menunjuk tempat kosong yang disediakan Alvin khusus untuknya. Tinggal melihat, bangku sebelah mana yang diduduki cewek itu.

“Gila, gilaa!!” seru Andre takjub. “Persis kayak yang lo bilang, Vin! Bangkunya juga yang hadap ke taman.” Sementara Alvin hanya tersenyum bangga mengangkat sepasang alisnya tinggi-tinggi.

Tak lama, Edo dan Toto bergabung dengan mereka. Kebetulan Edo berpapasan dengan Toto di depan kantin. Toto tidak tahu-menahu mengenai rencana Alvin. Sebenarnya dia memang tidak pernah ikut terlibat dalam melaksanakan ’misi’. Toto tak suka iseng atau berulah seperti Alvin. Tapi mereka sudah berteman sejak lama.

”Ngapain lagi kali ini?” tanya Toto mengendus rencana sobatnya.

Alvin tersenyum miring. “Lihat aja nanti.”

Ck, tu cewek! Nggak kena, Vin, kayaknya.” Andre berceletuk dengan gemas. Di sampingnya, Edo ikut memantau.

”Sabar,” ucap Alvin santai.

Beberapa menit setelah mereka melihat Vanta menyantap habis makanannya, cewek itu menyandarkan diri di bangku. Andre dan Edo dengan kompak berdesis, “Nice!

Reaksi Alvin tentu saja puas. Hanya Toto yang keheranan, menatap mereka satu per satu mengisyaratkan pertanyaan. Tapi tidak ada satu pun yang hendak buka suara. Sampai Toto beralih pada Vanta, barulah ia paham apa yang terjadi.

Gadis itu menegakkan badan, namun sesuatu sesuatu seperti menariknya. ”Apaan nih?” Bahkan Alvin dan kawan-kawan bisa mendengar keluhan Vanta.

Dari tempat duduknya, Alvin bisa melihat dua cewek itu kelabakan. Dia mulai beranjak ketika Vanta meringis dan berusaha melepaskan sesuatu yang menempel di kuncir kudanya. Cewek itu mengumpat kesal.

“Perlu bantuan?” tanya Alvin menghampiri meja Vanta.

Cewek itu sontak mendongak. Berdiri dari bangkunya dan menatap Alvin murka. “Elo!” tujuk Vanta. “Pasti lo yang rencanain ini semua!”

Untuk kesekian kali, Alvin dan Vanta yang saling berhadapan menjadi pusat perhatian di kantin. Suara keras Vanta saja sudah cukup mengundang semua mata. Apalagi waktu mereka bersitegang.  Penghuni kantin pasti sudah bisa menebak, bencana akan menimpa Vanta yang diumumkan sebagai big enemy-nya Alvin.

“Main tuduh aja. Padahal barusan gue nawarin bantuan. Lagian buktinya apa? Mana mungkin gue bisa tau lo bakal duduk di situ? Emang gue cenayang?”

Andre yang menonton dari mejanya kehilangan kesabaran untuk menahan tawa. Buat dia, Alvin memang seperti cenayang. Buktinya, bisa memprediksi dengan tepat bangku pilihan Vanta. Rencana Alvin tidak meleset, sehingga permen karet yang sudah dipersiapkan menempel di rambut Vanta dengan sempurna.

“Gue nggak percaya!” Vanta mendelik pada Alvin.

“Nggak bagus tau, fitnah orang sembarangan. Beneran, mau gue bantuin nggak? Dari pada tuh permen karet nempel terus di rambut lo.”

“Nggak usah pura-pura, deh! Gue tau ini ulah lo, kan?!” Vanta menunjukkan rambutnya yang masih terkuncir rapi, namun benda lengket itu membuat rambutnya berantakan. “Makanya tiba-tiba lo dateng sok-sokan nawarin bantuan kayak gini. Udah bagus tadi lo bersikap kayak nggak kenal sama gue.”

”Oh, jadi lo tersinggung karena itu? Oke,” Alvin mengangkat kedua tangannya ke atas. “karena gue perhatian, gue bakal bantu.” Dia menurunkan tangannya. Dengan seringai licik, Alvin mengeluarkan sesuatu dari saku jinsnya. Lalu menarik kuncir Vanta dan ....

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Let's See!!
1492      727     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
KILLOVE
3336      1098     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Lily
1184      554     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Play Me Your Love Song
3070      1251     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Manuskrip Tanda Tanya
3976      1347     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...