Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Vanta meraba lehernya, mencari sesuatu yang sejak lama melingkar di sana. Kosong. Ia baru ingat beberapa hari yang lalu melepas kalung itu. Vanta lalu membuka laci meja dan mencarinya. Tidak ada. Dia beralih ke ransel yang biasa digunakannya ke kampus. Membongkar dan menerbalikannya hingga barang-barang dari dalam tas berserakan di lantai. Tidak ada juga.

Bukan karena rindu pada orang yang memberikannya. Sama sekali bukan. Kebiasaan memakai kalung selama empat tahun terakhir membuat Vanta merasa aneh tanpa keberadaan aksesori itu di lehernya. Vanta akhirnya menghela napas pasrah. Mungkin ia lupa meletakannya di mana. Biasanya akan ketemu jika tak dicari. Lagi pula, lambat laun Vanta harus melepaskan kalung itu.

Setibanya di kampus, Jessi sudah menunggu di dekat parkiran. Cewek itu mengirim pesan sebelum Vanta berangkat. Pasti dia tidak sabar mendengar cerita tentang Ferdi.

“Gimana, gimana kemarin?” serbu Jessi tak sabar. “Sukses?”

Tuh, kan.

“Sukses apanya?” Vanta berjalan mendahului Jessi, tapi gadis itu buru-buru mengejar.

“Apalagi? Ya PDKT-nya lah ...” Gadis itu menyelipkan tangan di lengan Vanta.

Diliriknya Jessi sekilas, Vanta mendesah dan berkata, “Siapa yang PDKT sih? Kemarin cuma belajar kamera aja, kok.”

“Masa sih cuma itu? Nggak ngobrol lain-lain gitu?” tanya Jessi tak percaya.

“Ngobrol dikit, sih. Tapi sebentaran, habis itu gue balik.”

“YAHH, KENAPA?”

Mereka memasuki lift menuju workshop. Niatnya Vanta mau melanjutkan tugas di sana. “Ih! Si toa. Ya nggak kenapa-napa, soalnya gue udah harus pulang.”

Jessi terbelalak  mendengar alasan Vanta. Bisa-bisanya cewek itu mikirin pulang saat di sebelahnya ada cowok ganteng yang katanya tipe Vanta. “Padahal kemarin itu kesempatan tau! Kapan lagi kalian bisa berduaan? Timing udah pas, suasana mendukung, aturan lo ajak ngopi dulu kek, nonton, atau traktir di kantin minimal. Ini kenapa kabur pulang, deh? Emangnya lo anak SD yang pulang sekolah harus langsung pulang ke rumah? Yee ... si kampret, dia malah cengengesan.”

Benar, Vanta menyeringai mendengar komentar panjang lebar Jessi.

“Sorry kawan, usaha lo jadi sia-sia. Tapi kayaknya gue nggak bisa sama dia. Baik sih, orangnya. Tapi justru karena itu. Gue jadi ngerasa dia—”

“Terlalu baik buat lo,” sergah Jessi langsung.

Pintu lift terbuka. Vanta tertawa karena ucapan Jessi persis seperti yang akan dilontarkannya.

“Basi lo, Ta! Alasan klasik itu! Ngaku deh, pasti ada sebab lainnya.”

Tawa Vanta terhenti. Gadis itu berpikir selama beberapa saat sebelum menjawab, “Setelah ngobrol kemarin, gue cuma ngerasa kayaknya nggak bisa secepat ini. Kenalnya juga baru, belum ada feeling yang gimana-gimana. Asik sih orangnya, tapi ... apa ya? Nggak lebih dari itu pokoknya.”

Vanta mendorong pintu workshop dan menahannya agar Jessi masuk lebih dulu. Tindakan manis yang membuat Jessi betah berteman dengannya. Kalau kata Jessi, berasa punya pacar. Andaikan Vanta itu cowok, Jessi pasti sudah naksir!

Jessi menganga mendengar penjelasan Vanta. Padahal dia amat yakin, Ferdi itu tipe Vanta banget. Cowok baik-baik  berkharisma yang tampak bersahaja dan berwawasan luas. Akan cocok kalau mereka jadian. “Lo nggak deg-degan deket dia? Nggak ada getar-getar gitu?”

Vanta mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu, memasang raut berpikir. “Ada. HP gue yang getar-getar.” Kemudian terbahak.

Baru memutar mata sebal, tiba-tiba wajah Jessi memucat. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Tidak mengeluarkan protes seperti yang dipikirkan Vanta.

“Ta,” bisik Jessi tersekat.

Vanta yang sedang sibuk mengeluarkan peralatan gambar hanya menjawab dengan gumaman. Tak memerhatikan reaksi sahabatnya. Tapi kemudian Jessi menyiku lengannya sampai ia mengangkat kepala dan mengikuti lirikan gadis itu.

“Itu kan temennya Alvin,” ujar Jessi masih dengan suara super pelan.

“Yang mana?”

“Yang baju biru.”

Jujur saja, Vanta kesulitan mengingat wajah-wajah itu. Hanya wajah Alvin yang tersimpan di memorinya. Itu pun karena insiden lapangan basket. Kalau cowok itu tidak “menyapa” lebih dulu, mungkin Vanta akan lupa bentukannya.

“Jangan-jangan nanti orangnya  ...” Sebelum kalimat Jessi selesai, kedua cewek itu mendadak bergandengan tangan. Terperanjat ketika seorang lagi memasuki workshop.

Vanta dan Jessi langsung buang muka. Mereka pura-pura sibuk menyusun peralatan tugas Vanta di meja. Kerja tim yang sangat baik. Keduanya berharap cowok itu tidak melihat mereka. Atau jadi transparan saja sekalian.

Saat itu, Alvin yang belum menyadari keberadaan Vanta dan Jessi tampak serius mengobrol dengan temannya. Sampai suara benda jatuh membuat cowok itu berpaling.

Vanta langsung meringis ketika Jessi tanpa sengaja menjatuhkan gunting miliknya. Perlahan Vanta menunduk untuk mengambil gunting yang terjatuh. Detik-detik yang mencekam itu terasa seperti bertahun-tahun lamanya. Untuk sekadar bernapas saja Vanta tidak berani. Gerakannya bisa dibilang sangat lambat, entah apa gunanya, toh dia sudah ketahuan. Tapi insting bertahan hidup tetap diaktifkan.

Jantung Vanta berdegup kencang. Bicara soal getar-getar, sekaranglah saatnya Vanta merasa tangannya yang memegang gunting bergetar. Alih-alih karena Ferdi, Vanta justru berdebar karena Alvin dalam artian berbeda.

Sialan!

Vanta tidak takut pada Alvin, sungguh. Hanya saja, ulah cowok itu yang bikin Vanta mendadak sesak napas dan menerka-nerka, kira-kira apalagi yang akan dilakukan cowok itu padanya. Vanta memberanikan diri untuk melirik. Tepat pada saat yang sama, Alvin sedang menatapnya dengan ekspresi datar. Cowok itu lalu memalingkan muka dan kembali megobrol sambil tertawa dengan teman-temannya. Mereka tak bertahan lama di dalam workshop.

Desahan keras lolos dari mulut Jessi setelah Alvin cs keluar. ”Haah! Selamat, selamat ...! Untung, untung ...!”

Pandangan Vanta belum beralih. Masih di tempat Alvin berdiri tadi meski cowok itu sudah pergi.

“Dia nggak ganggu lo, Ta. Malah ngelihatnya seolah kayak nggak kenal gitu. Udah bosen kali, ya?” ujar Jessi lagi. “Bisa bernapas lega nih, kayaknya.”

Entah bagaimana Vanta merasa sangsi. Anehnya, dia akan merasa lebih lega kalau tadi Alvin menghampirinya dan cari ribut dengannya. Sinting, bukan?

Ketenangan cowok itu malah terasa janggal. Firasat Vanta berkata, Alvin tak akan membiarkannya semudah itu. Ini terlalu ajaib. Tetapi, apa benar Alvin sudah bosan mengganggunya?

 

***

 

Alvin mendengkus mengingat raut gadis itu di workshop tadi pagi. Vanta seperti tikus yang sedang tertangkap basah mencuri makanan. Pasti cewek itu super bingung saat melihatnya mengabaikan Vanta. Mungkin cewek itu sedang lega karena Alvin mengabaikannya. Namun sayang, ia tidak akan membiarkan ketenangan Vanta berlangsung terlalu lama.

Belum saatnya menghentikan gencatan senjata. Alvin sendiri tidak tahu, sampai kapan semuanya akan berakhir. Sampai kapan dia akan merasa puas membalas Vanta. Pertanyaannya, apakah yang Alvin lakukan semata-mata demi memberi pelajaran pada cewek itu? Rasanya dia sudah tidak terlalu memikirkan kejadian lemonade di kantin tempo hari.

“Vin, Pepsi lo lagi on the way kantin,” lapor Andre yang sedang menempelkan ponsel di telinga. Cowok itu mendapat kabar dari Edo yang telah diberi mandat oleh Alvin untuk mengawasi pergerakan Vanta.

”Oke. Pastiin jangan sampe ada yang dudukin bangku Sang Putri.” Mata Alvin terarah pada salah satu tempat kosong di sebelah jendela, tempat favorit cewek itu.

”Sip, man,” Andre mengacungkan jempol kanannya, kemudian menuju meja yang dipersiapkan untuk target mereka dan berdiri di sebelahnya.

Karena Andre tak kunjung duduk, beberapa mahasiswa bolak-balik menanyakan apakah meja itu kosong. Tetapi Andre langsung mengusir mereka. Cowok itu menjalankan tugasnya sama baik dengan Edo yang mengawasi Vanta sejak tadi tanpa ketahuan.

Sambil mengunyah permen karet, Alvin berdiri di samping salah satu food stall. Tempat terbaik untuk menyaksikan pertunjukan. Panggilan tak terjawab dari Edo menandakan Vanta sudah berada di kantin, artinya Andre harus menjauh dari meja itu agar tak dicurigai.

“Lo yakin dia bakal duduk di situ?” tanya Andre, menarik bangku dekat Alvin.

 “Dia selalu duduk di sebelah situ.”

“Kalo salah sasaran, gue nggak tanggung, ya.” Andre mengangkat kedua tangan di depan dada.

Alvin ikut duduk dan menyeringai. “Tenang aja. Kalo salah gue yang tangung jawab. Tapi gue yakin.”

Mereka memasang mata baik-baik ketika melihat Vanta dan seorang temannya memasuki kantin. Cewek itu mengatakan sesuatu pada temannya dan menunjuk tempat kosong yang disediakan Alvin khusus untuknya. Tinggal melihat, bangku sebelah mana yang diduduki cewek itu.

“Gila, gilaa!!” seru Andre takjub. “Persis kayak yang lo bilang, Vin! Bangkunya juga yang hadap ke taman.” Sementara Alvin hanya tersenyum bangga mengangkat sepasang alisnya tinggi-tinggi.

Tak lama, Edo dan Toto bergabung dengan mereka. Kebetulan Edo berpapasan dengan Toto di depan kantin. Toto tidak tahu-menahu mengenai rencana Alvin. Sebenarnya dia memang tidak pernah ikut terlibat dalam melaksanakan ’misi’. Toto tak suka iseng atau berulah seperti Alvin. Tapi mereka sudah berteman sejak lama.

”Ngapain lagi kali ini?” tanya Toto mengendus rencana sobatnya.

Alvin tersenyum miring. “Lihat aja nanti.”

Ck, tu cewek! Nggak kena, Vin, kayaknya.” Andre berceletuk dengan gemas. Di sampingnya, Edo ikut memantau.

”Sabar,” ucap Alvin santai.

Beberapa menit setelah mereka melihat Vanta menyantap habis makanannya, cewek itu menyandarkan diri di bangku. Andre dan Edo dengan kompak berdesis, “Nice!

Reaksi Alvin tentu saja puas. Hanya Toto yang keheranan, menatap mereka satu per satu mengisyaratkan pertanyaan. Tapi tidak ada satu pun yang hendak buka suara. Sampai Toto beralih pada Vanta, barulah ia paham apa yang terjadi.

Gadis itu menegakkan badan, namun sesuatu sesuatu seperti menariknya. ”Apaan nih?” Bahkan Alvin dan kawan-kawan bisa mendengar keluhan Vanta.

Dari tempat duduknya, Alvin bisa melihat dua cewek itu kelabakan. Dia mulai beranjak ketika Vanta meringis dan berusaha melepaskan sesuatu yang menempel di kuncir kudanya. Cewek itu mengumpat kesal.

“Perlu bantuan?” tanya Alvin menghampiri meja Vanta.

Cewek itu sontak mendongak. Berdiri dari bangkunya dan menatap Alvin murka. “Elo!” tujuk Vanta. “Pasti lo yang rencanain ini semua!”

Untuk kesekian kali, Alvin dan Vanta yang saling berhadapan menjadi pusat perhatian di kantin. Suara keras Vanta saja sudah cukup mengundang semua mata. Apalagi waktu mereka bersitegang.  Penghuni kantin pasti sudah bisa menebak, bencana akan menimpa Vanta yang diumumkan sebagai big enemy-nya Alvin.

“Main tuduh aja. Padahal barusan gue nawarin bantuan. Lagian buktinya apa? Mana mungkin gue bisa tau lo bakal duduk di situ? Emang gue cenayang?”

Andre yang menonton dari mejanya kehilangan kesabaran untuk menahan tawa. Buat dia, Alvin memang seperti cenayang. Buktinya, bisa memprediksi dengan tepat bangku pilihan Vanta. Rencana Alvin tidak meleset, sehingga permen karet yang sudah dipersiapkan menempel di rambut Vanta dengan sempurna.

“Gue nggak percaya!” Vanta mendelik pada Alvin.

“Nggak bagus tau, fitnah orang sembarangan. Beneran, mau gue bantuin nggak? Dari pada tuh permen karet nempel terus di rambut lo.”

“Nggak usah pura-pura, deh! Gue tau ini ulah lo, kan?!” Vanta menunjukkan rambutnya yang masih terkuncir rapi, namun benda lengket itu membuat rambutnya berantakan. “Makanya tiba-tiba lo dateng sok-sokan nawarin bantuan kayak gini. Udah bagus tadi lo bersikap kayak nggak kenal sama gue.”

”Oh, jadi lo tersinggung karena itu? Oke,” Alvin mengangkat kedua tangannya ke atas. “karena gue perhatian, gue bakal bantu.” Dia menurunkan tangannya. Dengan seringai licik, Alvin mengeluarkan sesuatu dari saku jinsnya. Lalu menarik kuncir Vanta dan ....

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
When Magenta Write Their Destiny
6096      1656     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
HIRAETH
504      348     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...
Asoy Geboy
6032      1659     2     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Negeri Tanpa Ayah
15085      2508     1     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Antic Girl
141      117     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...
Seiko
616      467     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Kau Tutup Mataku, Kuketuk Pintu Hatimu
5463      1854     0     
Romance
Selama delapan tahun Yashinta Sadina mengidolakan Danendra Pramudya. Laki-laki yang mampu membuat Yashinta lupa pada segudah masalah hidupnya. Sosok yang ia sukai sejak debut sebagai atlet di usia muda dan beralih menekuni dunia tarik suara sejak beberapa bulan belakangan. "Ayah sama Ibu tenang saja, Yas akan bawa dia jadi menantu di rumah ini," ucap Yashinta sambil menunjuk layar televisi ke...
SEMPENA
4127      1327     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1542      776     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...