Mara dan Daniel, aku banyak berhutang pada pasangan itu. Rasanya mereka mengetahui sebagian masalah yang tak pernah ingin aku bagi pada Mas Aksa, Ibu, apalagi Babeh.
Aku memang sudah mengenal Mara sejak awal ospek universitas dan akhirnya mengetahui bahwa ia adalah teman seangkatan Mas Aksa, Daniel, dan Ethan saat kejadian kebakaran di kafe tempo lalu. Siapa sangka bahwa sekarang perempuan itu berpacaran dengan Daniel?
"Kalau lo masih nge-bully Mentari ... gue nggak akan tinggal diam!" Mara berkata penuh penekanan. Ia terlihat berani dan percaya diri membelaku meskipun posisinya sedang sendirian.
"Gue tahu lo famous. Tapi bisa nggak lo nggak usah ikut campur?"
Lolly tak gentar sama sekali. Matanya begitu mengintimidasi, membuat siapa pun lawannya akan mundur teratur. Namun, tidak dengan Mara. Perempuan itu maju selangkah demi selangkah. Menghampus jarak di antara mereka. Kemudian senyumnya berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. "Kalau lo masih aja nekad nge-bully Mentari ... gue akan aduin ini ke Bram. Kalau ceweknya ini ... cuma cewek arogan dan sok jagoan yang beraninya menindas orang yang nggak bersalah!"
Ketika Mara menyebut nama 'Bram', ekspresi Lolly pun langsung berubah. Aku tak tahu siapa pria yang disebutkan itu, tetapi kata 'ceweknya' membuat aku berspekulasi bahwa ia adalah pacarnya.
"Lo bakalan menyesal ngebelain cewek sok polos ini, Ra!" Lolly memperingati, kemudian meninggalkan kami berdua di lorong kantin FRSD.
Punggung Lolly dan temen-teman satu geng-nya makin menjauh dan menghilang. Masih bersikap ramah, Mara pun mendekat ke arahku dan tersenyum tulus.
Alih-alih menanyakan alasan atau apa pun yang berkaitan dengan pembully-an dan Lolly, Mara malah mengalihkan ke arah pembicaraan lain. Seolah-olah tadi tidak terjadi apa-apa. Dan jujur saja, hal itu membuat perasaanku lebih baik.
Mara tahu betul bagaimana bersikap. Ia tak ingin aku makin bersedih karena bercerita tentang sesuatu yang tidak aku sukai. Menceritakan tentang Lolly, membuat aku mengingat seseorang yang benar-benar aku benci.
"Tar ... nanti malem gue sama temen-temen ke kafe, ya!"
"Mau ngapain, Kak? Kelas mewarnai cake kan hari Minggu?"
"Mau nongkrong sekalian bahas proker yang bakal jalan sih."
Mara ini anak HIMA aktif, tapi masih sempet double job, ikut kepanitian ini, itu.
"Kenapa nggak di kafe-nya Kak Daniel aja. Kan lebih luas?"
Mara mengibas telapak tangannya. "Di sana berisik sama fans-nya Daniel. Lagi pula ini temen satu divisi gue doang kok. Jadi nggak banyak-banyak banget. Paling 4 sampai 5 orang. Booking-in, ya? Oke?!"
"Oke!" Aku pun terkekeh sendiri mendengar celotehan Mara. Kemudian mengangguk paham. Sebenarnya aku tahu alasan Mara lebih memilih kafe O'Eight bukan karena berisik, melainkan karena ia ingin membantu krisis kafeku yang sepi pengunjung. Daniel pasti sudah cerita padanya.
Sudah kubilang. Aku banyak berhutang pada pasangan itu.
**
"Cewek lo emang jago banget dah!" kata Aksa dengan wajah sumeringah. "Sampein rasa terima kasih gue ke Mara, ya, Niel!"
Melihat Aksa yang punya semangat hidup lagi membuat aku juga ikut senang. Setelah Babeh sakit-sakitan, hidup Aksa tidak karuan. Ia bahkan pernah seharian duduk menatap jendela kamar kosanku tanpa bicara, makan, dan minum.
Aku dan Ethan khawatir dengan keadaan Aksa. Kami berusaha bicara pelan-pelan, membesarkan hatinya yang sedang down. Perlahan ia mulai bangkit menggantikan peran Babeh berjualan dan diam-diam daftar menjadi ojek online tanpa sepengatahuan Ibu dan Mentari.
"Lo ngomong sendiri lah. Gue masih kesel lo nggak cerita mau buka booth di acara FRSD-fest!"
Aksa terkekeh sendiri. "Sori, sori. Waktu itu gue nggak sengaja ketemu Mara di fotokopian belakang kampus. Dia lagi ngeprint berkas dan ngomongin booth makanan sama temen divisinya. Ya terus gue kepikiran aja mau buka booth buat jualan Mie Ayam. Acara FRSD-fest pasti rame, lumayan aja kalau laku keras. Kata Mara udah penuh, eh ternyata masih ada slot."
Aku menganggukan kepala. Apa pun yang Aksa lakukan, selama itu bisa membuatnya semangat dan bisa membantu perekonomian keluarga, aku pasti dukung.
Ya, sebenarnya Ethan juga sudah menawarkan pekerjaan untuk Aksa di salah satu toko furniture keluarganya, tapi Aksa menolak karena nggak mau masuk jalur nepotisme. Tahu sendiri kalau dia itu anaknya idealis banget, punya nilai-nilainya sendiri.
Tak lama, sosok Ethan masuk ke dalam kelas. Ia berjalan gontai, menggeret kakinya menuju kursi di sebelahku. Sahabatku itu mirip seperti pribahasa hidup segan, mati tak mau. Begitulah dia. Malas ketika masuk kuliah, paling semangat kalau sebat sama main game.
"Gue tidur bentar, ya! Kalau ada dosen bangunin," pesannya yang kemudian merebahkan tubuh ke atas meja.
Aku dan Aksa saling melemlar pandang, lalu menghela napas panjang. Betapa enaknya jadi Ethan yang tidak perlu pusing mikirin masa depan. Mau lulus kuliah atau tidak, ia masih akan tetap hidup bergelimangan harta orang tuanya. Sedangkan aku dan Aksa masih harus berusaha keras untuk bertahan hidup. Karena tak ada yang menjamin masa depan kami selain diri sendiri.
Quotes hidup tidak adil sepertinya relate dengan kaum seperti aku dan Aksa.
"Niel, thanks, ya lo udah mau anterin Mentari kalau gue telat jemput. Gue banyak utang budi sama lo."
"Santai-lah," balasku merasa hal itu tak ada apa-apanya dibandingkan segala perhatian tulus yang diberikan keluarga Aksa. "Lagi pula mana tega gue ngeliat Mentari balik sendiri malem-malem. Kalau Babeh sampe tahu, udah pasti khawatir dia."
Aksa pun mengangguk-anggukan kepala setuju. Wajar saja. Mentari kan anak perempuan satu-satunya. Anak bungsu lagi. Babeh dan Ibu sangat memanjakannya. Akan tetapi, untungnya Mentari tumbuh jadi anak yang mandiri dan nggak manja sama sekali. Buktinya dia mau kerja. Padahal orang tuanya sendiri tak menyuruhnya.
"Gue bersyukur banget deh punya sohib kayak lo! Thank you, ya, udah care banget sama keluarga gue."
"Ethan!!!!!" teriak seseorang dari luar kelas. Bukan dosen, melainkan Gisel yang datang dengan wajah tidak bersahabat. Ia pun bergegas masuk dan langsung menggebrak mejaku. Sontak saja hal itu menganggetkan seisi kelas, termasuk Ethan yang sedang tertidur nyenyak.
Semua pasti heran, kenapa Gisel yang anak Ilmu Pemerintahan masuk ke kelas Sosiologi.
"A-apa lagi?" katanya dengan suara parau. Wajahnya tidak berpaling ke sumber suara. "Kan gue udah nge-print tugas yang lo kasih kemarin."
Gisel berdecak lidah. "Iya udah! Tapi lo ngasih berkas yang salah!"
"Hah?????" Ethan terperanjat kaget. Mengambil berkas yang sudah dijilid rapih itu, lalu membuka satu per satu lembarannya.
"Lah ... ini tugas punya Mentari kok bisa di lo, Sel?"
"Mana gue tahu! Sekarang cepet ... mana tugas Ekologi Pemerintahan gue????!"
Semua orang tak bisa menahan tawa ketika melihat wajah Ethan yang kebingungan bercampur ngantuk, termasuk aku. Tanpa mereka sadari, ada satu orang yang menatap sedih interkasi lucu antara Gisel dan Ethan, yaitu Aksa.