Loading...
Logo TinLit
Read Story - Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
MENU
About Us  

Hari ini Babeh berulang tahun. Aku dan Ethan diundang ke rumah Aksa untuk makan malam Bersama. Tidak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya sebab ini bukan kali pertama Babeh dan Ibu mengundang kami kemari. Akan tetapi, sosok Mentari yang duduk di meja yang sama membuat hari ini terasa spesial. Biasanya perempuan itu selalu masuk ke dalam kamar, atau duduk di ruang tengah sambil menonton acara televisi.

Momen yang entah sengaja atau kebetulan ini makin terasa aneh, ketika aku menyadari bahwa sepasang bola mata milik Mentari selalu mengawasiku.

Waktu aku menolongnya di kantin fakultas FSRD beberapa hari lalu, Mentari langsung pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa. Bukan tanpa alasan, ternyata ia sudah lebih dulu melihat kedatangan Mara. Tidak sempat mencegahnya untuk meminta penjelasan, Mara memanggilku.

Setelah kejadian itu, aku dan Mentari tak pernah bertemu lagi.

Dan baru hari ini, aku bisa melihat sosoknya lagi.

"Ayoooo di makan Daniel sama Ethan. Jangan malu-malu lho." Ibu menyibak horden dari arah dapur. Satu tangannya membawa nampan berisikan potongan kue ulang tahun. Ibu meletakannya di space meja yang kosong.

"Widihhhhh. Pake acara potong kue, Beh?" Ethan nyengir kuda. Tangannya sudah menggeranyam untuk memilih potongan kue ulang tahun itu, lalu memakannya.

"Ini nih. Semalem Mentari sama Aksa ngasih surprise. Tumben kan? Padahal Babeh udah tua. Kagak perlu begini-beginan. Ngerepotin." Senyum seorang pria yang sudah tak muda itu menghangat. Sorot matanya mengatakan bahwa ia senang, ia terharu dengan apa yang anak-anaknya lakukan. Kami semua tahu meskipun Babeh tidak mengatakannya dengan gamblang.

Di rumah ini, aku selalu menemukan kehangatan. Di tengah-tengah mereka membuat aku merasa utuh, seolah-olah menjadi bagian dari keluarga mereka.

"Ngerepotin apaan, Beh! Kagak lah. Cuman bedanya ini agak gayaan aja soalnya Aksa sama Mentari beliin cake kekinian. Bisanya kan—"

"Emang biasanya pake apaan?" tanyaku sedikit menggoda sembari menyicipi cake itu.

“Ya biasanya cuma pakai ubi rebus.” Suara Mentari terdengar pelan. Sontak saja semua orang di meja makan tertawa. Wajahnya datar, barangkali ia tidak berniat melontarkan sebuah candaan. Namun, tak perlu berusaha keras, ia berhasil memecah suasana jadi lebih ramai.

Semua orang tertawa. Kecuali aku yang memandang Mentari penuh keheranan. Makin penasaran, seperti apa sosok Mentari sebenarnya? Selama mengenal Mentari, aku tak pernah mendengarnya bicara kalau tidak di tanya. Maksudku, pertanyaan yang memang benar-benar ditujukan untuknya. Aku melirik ke arah seberang—tempat yang perempuan itu duduki—di samping Aksa. Entah kebetulan atau apa, ternyata Mentari juga sedang melihat ke arahku.

Deg. Padahal aku tak melakukan kesalahan apa pun, tapi kenapa rasanya kayak ke-gap, ya?

“Oh iya … lo jadi ngekos?” tanya Aksa serius setelah sesi tertawanya.

“Ngekos?” timpal Babeh sedikit terkejut. “Kok ngekos?”

"Iya, Beh. Setelah Oma nggak ada, Daniel kagak enak kalau harus tinggal sama Om sama Tantenya," balas Ethan. "Padahal kan di sana juga ada hak lo."

"Bukan masalah rumahnya, Than. Lo tau sendiri, Om gue itu kerja shift di pabrik. Jauh lagi di Cikarang. Kadang kalau shift pagi, balik malem. Nah, kalau shift malem yaaa nggak tidur rumah. Gue gaenak kalau tinggal berduaan aja sama Tante Asih pas Om nggak ada. Ngerti, kan?"

Ethan mengangguk paham. “Terus rencana lo mau kos di mana?"

"Belum tau juga sih. Tapi tadi pagi Mara ngabarin kalau kosan temennya ada yang kosong."

"Kosan cewek?" tanya Aksa membulatkan matanya.

Aku berdecak lidah. "Ngarang! Yaa cowok lah!"

Aksa terkekeh pelan. "Kirain, Niel. Sori deh gue lupa kalau cewek lo Mara. Semua orang ditemenin sama dia. Bahkan sampe preman yang suka malak depan lampu merah kampus ... udah bestie sama dia."

"Yoi. Ajaib emang itu anak," balasku dengan menunggingkan senyum, teringat dengan tingkah laku Mara yang menggemaskan. Dia itu berisik, tapi lucu. Kayaknya kalau sama Mara, aku nggak pernah kehabisan topik. Ada aja bahasannya.

"Daripada ngekos, tinggal di sini aja. Nanti Daniel tidur sama Aksa. Ya, kan, Beh?" Ibu memberi usul. Lagi-lagi keluarga ini selalu baik padaku.

"Bener. Babeh nggak keberatan. Malah seneng Daniel tinggal sama kita."

"Sebagai pemilik kamar, gue juga nggak keberatan sih. Sebagai tanda terima kasih, lo cukup beli danusan gue aja. Hehe."

"Yeeeeee bisa-bisanya ini anak lebih prioritasin dagangan danusan dibanding dagangan bokap," kekeh Ethan yang membuat matanya makin sipit.

"Demi proker agar berjalan lancarrrrrr, Brader!"

"Eh, udah, udah," kata Ibu menengahi omong kosong antara Aksa dan Ethan. "Jadi gimana, Niel? Mau kan?"

"Makasih tawarannya, Bu. Daniel udah sering ngerepotin Ibu, Babeh, Aksa, sama Tari. Jadi ... kayaknya Daniel jadi kos aja. Lagian, itung-itung belajar mandiri."

"Sayang lho uangnya. Mending di tabung."

Dengan kerendahan hati, lagi-lagi aku menolak tawaran Ibu. "Gapapa, Buk. Kemarin aku udah cerita sama Ibuku. Beliau bilang masalah biaya nanti di transfer kok. Sekali lagi makasih udah berbaik hati nawarin tempat tinggal buat Daniel."

Begitulah ibu dan Babeh. Setiap tahu aku punya masalah, mereka orang pertama yang membantu. Mereka tulus tanpa pamrih. Kalau Aksa bilang aku selalu membantunya, itu salah. Yang ada keluarganya-lah yang selalu membantuku.

Keluarga ini harmonis. Isinya orang-orang baik. Aku berjanji akan terus mengingat kebaikan mereka. Semoga suatu saat aku bisa membalas kebaikan mereka.

Jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Tidak terasa sudah hampir 3.5 jam kami berbincang-bincang banyak hal. Dan ajaibnya Mentari tidak sama sekali bangkit dari kursinya. Ia mendengarkan obrolan kami. Bahkan sesekali menimpali. Aneh, bathinku.

Seluruh orang di meja makan sudah terlihat mengantuk. Aku dan Ethan pun pamit pulang sebelum hari makin larut. Namun, ketika ingin pulang Babeh melarang. Belakangan ini kasus begal motor memang merajalela. Kebanyakan korbannya adalah pengendara malam atau pun driver ojek online yang sedang mangkal.

Mengingat kejadian menyeramkan itu membuat aku dan Ethan setuju.

Agar tidak merepotkan yang punya rumah, aku membantu Tari membawa piring dan gelas kotor ke tempat cuci piring. Sementara, Ethan dan Aksa sudah lebih dulu masuk kamar.

"Kak!" panggil Mentari dari arah belakang menuju dapur. "Bisa ngobrol sebentar?"

"Boleh. Kenapa, ya?"

Mentari memberikan gestur agar kami tidak mengobrol di sini. Sepertinya ada suatu hal penting yang ingin ia sampaikan. Pantas saja sejak tadi ia tidak pergi ke dalam kamar. Rupanya Mentari sedang mencari waktu yang pas untuk berbicara padaku.

Perempuan itu pergi meninggalkan dapur, aku mengikutinya dari belakang. Di samping dapur, ada pintu menuju halaman belakang dekat sumur dan tempat cuci baju. Mentari melangkahkan kakinya lebih jauh ke rak pot bunga koleksi ibu. Kalau pagi terlihat cantik, tapi kalau malam jadi serem.

“Mau ngomongin apa sih sampai ke sini segala?”

Mentari menghela napas sebentar. “Sebelumnya, terima kasih, ya!”

“Makasih? Untuk?” kataku agak kebingungan dengan ucapannya yang setengah-setengah.

“Makasih karena kemarin udah nolongin gue," katanya dengan suara pelan. “Maaf waktu itu gua langsung pergi gitu aja tanpa bilang makasih. Dan please ... jangan sampai Ibu, Babeh, dan Mas Aksa tahu.”

“Lhoooo? Kenapa? Mereka itu udah keterlaluan—"

"Gue mohon!" Tiba-tiba saja Tari berlutut di hadapanku. Membuat aku pun refleks setengah berlutut untuk memapah tubuhnya kembali berdiri.

“Eh, nggak. Kalau lo begini gue makin curiga. Lo diancem? Kenapa? Lo punya salah apa sama mereka?” tanyaku tak sabaran. Apa pun alasannya, tidak pantas rasanya seseorang bersikap seperti Wanita berambut pink itu. Sikapnya pada Mentari sudah keterlaluan. Bullying bukan hal sepele. Akan ada dampak yang jauh lebih besar nantinya.

Mentari menggeleng pelan. Di remang malam, hanya ada pantulan cahaya dari bohlam kuning dekat dapur, aku bisa melihat gadis itu terisak bersamaan dengan pundaknya yang naik turun.

"Gue mohon, Kak. Tolong jangan bilang apa-apa. Anggep aja Kak Daniel nggak pernah lihat kejadian kemarin. Gue nggak mau bikin nambah beban Ibu dan Bapak. Tolong, Kak." 

Aku berpikir cukup lama. Sejujurnya aku tidak pernah berniat menutupi sesuatu dari Aksa. Apalagi ini perihal adiknya. Namun, melihat Mentari memohon dan menyeka air mata, membuatku tak tega.

Tanganku terulur lancang. Menyeka air mata yang tersisa di pipi gadis itu. Tari sedikit terkejut, tatapi setelahnya biasa saja. Matanya malah mendongkak menatapku dengan tatapan sayu.

"Iya. Tapi lo harus janji. Lo harus ceritain semuanya ke gue. Jadi ... kalau keluarga lo nggak tahu, seenggaknya gue tahu."

"..."

"Janji?"

Mentari pun mengangguk pasrah.

"Nah gitu dong. Yuk masuk rumah. Serem juga lama-lama di sini."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let's See!!
2211      956     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Story of April
2485      891     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Girl Power
2366      897     0     
Fan Fiction
Han Sunmi, seorang anggota girlgrup ternama, Girls Power, yang berada di bawah naungan KSJ Entertainment. Suatu hari, ia mendapatkan sebuah tawaran sebagai pemeran utama pada sebuah film. Tiba-tiba, muncul sebuah berita tentang dirinya yang bertemu dengan seorang Produser di sebuah hotel dan melakukan 'transaksi'. Akibatnya, Kim Seokjin, sang Direktur Utama mendepaknya. Gadis itu pun memutuskan u...
Listen To My HeartBeat
580      351     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Luka atau bahagia?
4820      1405     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
My Doctor My Soulmate
115      103     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Mendadak Halal
8041      2198     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Pacarku Arwah Gentayangan
5783      1736     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
AKSARA
6293      2154     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
KEPINGAN KATA
498      320     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!