"Lo ngeliatin apa sih, Dek?"
Laura terlonjak dari tempatnya berdiri. Ia tengah berada di dekat pintu balkon lantai dua, mengintip melalui sela gorden yang ia buka sedikit. Pandangannya terus tertuju pada sedan berwarna hitam tapi ia tidak yakin apakah sedan tersebut milik seseorang yang ada dipikirannya kini.
"Kaget gue!" Laura memegang dada melihat Dira— kakak kandung yang terpaut usia lima tahun dengan dirinya. Dira si kebanggaan keluarga yang kini tengah menjalankan koasisten tahun pertama. "Lo kok udah pulang, Kak?"
"Kan gue jaga malem." Dira menatap adiknya sejenak lalu menyibak gorden mencari tahu apa yang tengah dilihat Laura subuh-subuh begini. "Lo liat apa sih?"
"Iya gue tau lo jaga malem. Tapi biasanya sampe rumah juga jam lapan."
"Disuruh pulang sama dokternya. Udah ada yang ganti juga. Lo liatin apa?" ulangnya lagi.
"Gak ada."
"Liatin tetangga baru depan rumah ya?"
Laura mengernyit. "Ada yang baru pindah?"
"Lah. Lo yang lebih sering di rumah, gimana sih?" kata Dira sembari berjalan ke arah kamarnya. "Dek, pulang sekolah gue jemput ya? Pengin jajan gue."
"Serius?" Laura berjingkat senang, berlari ke arah saudara kandung satu-satunya yang ia miliki. "Gue jajanin juga ya!"
"Iyee..." Di depan pintu kamar Dira kembali berbalik menghadap Laura. Memperhatikan adiknya dari atas ke bawah dan baru ia sadari Laura sudah mengenakan seragam pramuka lengkap. "Lo mau berangkat sekolah jam segini?"
"Hah? Oh ini—" Laura menggaruk kepalanya, matanya bergerak menghindari tatapan Dira. "I... iya soalnya di sekolah mau ada... sholat dhuha berjamaah!"
"Oh ya?"
"Iya Kak!"
Dira mengernyit lagi. Lelaki itu juga alumni SMA Gharda, sebuah sekolah swasta bergengsi yang seingat Dira tidak begitu memperdalam keagamaan muridnya. "Sejak kapan?"
"Minggu ini." Laura tersenyum lebar. "Khusus yang kelas tiga aja. Tiap jum'at, biar lancar ujian terus bisa masuk kampus pilihan."
"Baguslah kalau gitu, tapi lo gak akan berangkat jam segini kan? Ini masih setengah lima loh."
"Takut telat."
"Iya tapi apa gak kepag—"
"Lo mau nganterin gu—"
"Oh gak. Thank you." Dira langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.
Laura langsung mengembuskan napas lega. Perempuan itu segera masuk ke dalam kamar dan berbaring kembali untuk tidur paling tidak sampai jam setengah enam pagi.
Laura terkejut ketika badannya digoyangkan oleh Anna— ibunya yang mengenakan daster bermotif bunga dengan rambut dicepol asal. "Adek. Dek. Bangun sih udah jam enam."
"Hngg?" Laura menggeliat. "Kenapa Ma?"
"Tumben udah pakai seragam? Kamu belum mandi ya dari kemarin?"
Alis Laura nyaris bertaut atas tuduhan ibunya.
"Ih jorok amat! Bangun gih. Mandi!"
Dengan gerakan malas, masih memeluk boneka kucingnya ia bergerak untuk duduk. "Ma, kemarin kan aku pakai batik. Sekarang hari jum'at."
Anna yang memegang keranjang pakaian kotor anak bungsunya menatap Laura heran. "Kamu... mandi sore habis itu ganti seragam terus tidur gitu?"
"Ya enggaklah Ma!"
"Ya masa kamu bangun pagi?"
"Ya kenapa enggak?" Kesadaran Laura benar-benar pulih sekarang. Turun dari ranjang dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi untuk cuci muka. Selesai memastikan wajahnya lebih segar ia kembali keluar dan Anna masih berada di tempat yang sama. "Kenapa sih Ma? Gak percaya banget anaknya bisa bangun pagi?"
"Percaya kok... tapi kenapa?"
"Ya... gak apa-apa. People change, kan?"
Anna terkekeh geli, mengedikan bahu kembali mensortir baju-baju kotor Laura. "Tetangga beli sedan kepenginan Papa tuh, La. Kamu jangan bikin ricuh ya. Mama dari semalem udah nenangin Papa kamu."
"Sedan... hitam?"
"Iya! Om Arman itu loh. Bulan lalu Papa bilang mau ganti mobil, cerita-cerita dia ke Om Arman. Pengin ini pengin itu. Giliran keduluan aja, marah-marah!" Anna menghela napas panjang tiba-tiba kesal sendiri sementara Laura tersenyum lega. "Itu orang dua kenapa egonya gak ada yang bisa dibuang salah satu sih?!"
"Namanya juga laki-laki Ma..."
Anna menatap anak bungsungnya menelisik. "Punya pacar ya kamu?"
"H-hah? Eng—enggak apaan sih, Ma." Laura langsung sok sibuk melihat isi ranselnya.
"Mama gak ngelarang kamu pacaran ya, Dek. Tapi inget udah kelas tiga. Harus bisa pinter-pinter ngatur waktu."
Laura tidak berbohong. Ia tidak punya pacar dan tidak sedang dekat dengan siapapun. Tapi kenapa dirinya menjadi canggung karena ketahuan menyembunyikan sesuatu?
"Iya Ma. Iya."
***
Ternyata ucapan Sergio masih tidak bisa dipercaya seperti dahulu, saat Laura masih merasa ia adalah salah satu orang yang tahu segalanya tentang Sergio. Perempuan itu memejamkan mata merasakan semilir angin bercampur polusi berembus menerpa wajahnya, membuat beberapa helai rambutnya yang bebas dari helm yang ia gunakan berterbangan mengikuti arah angin.
Laura lebih suka naik ojek atau bis untuk berangkat sekolah, ia tidak mau diantar supir apalagi Heru— papanya, sebab sudah pasti imbasnya adalah pembicaraan tentang rencana masa depan Laura dan jika diantar supir, Pak Oman sudah pasti ia akan darah tinggi karena pria itu sudah terlalu berumur untuk masih bekerja. Heru sudah menawarkan uang pensiun, tapi Pak Oman tidak mau jadilah Pak Oman dipekerjakan untuk beberapa perjalanan singkat seperti ke supermarket, pasar, dan seringkali mengurus taman kecil milik Anna.
"Mbak nanti dijemput sekalian?"
Laura membuka mata. "Enggak usah Pak. Nanti saya dijemput Kak Dira."
"Oh! Mas Dira lagi shift malem ya makanya bisa jemput?" kata si pengemudi yang biasa dipanggil Jack oleh teman tongkrongannya sehingga keluarga Laura juga memanggilnya serupa.
"Iya Mas."
"Kalau kemarin naik bis Mbak?"
"Oh... bareng temen saya?"
"Temen apa pacar Mbak?" kata Jack sambil tertawa melihat ekspresi terkejut Laura dari kaca spion bersamaan mereka berhenti karena lampu merah. "Hehehe. Tenang aja Mbak saya bisa jaga rahasia kok."
Laura hanya tersenyum masam.
Perempuan itu mengutuk Sergio dalam hati. Baru satu hari ia berhubungan dengan lelaki itu dan sudah tiga orang yang curiga terhadapnya. Laura menghela napas panjang tidak sengaja menoleh ke kiri menatap sedan hitam yang sama dengan— kaca mobil itu diturunkan. Napas Laura tercekat seketika.
Sergio tersenyum tipis sambil melambaikan tangan.
"Sakit jiwa."
"Kenapa Mbak?"
Laura kembali menatap ke depan. Segera menemukan ekspresi penuh tanya dari Jack. "Gak apa-apa Mas, buruan jalan deh. Ntar saya telat."
"Yeee... si Mbak, masih lampu merah. Yang ada nanti saya ketilang."
"Ya— ke mana kek Mas. Majuan atau belok kiri? Puter balik?"
Jack mengernyit semakin bingung dengan tingkah aneh Laura. "Ditunggu aja ya, Mbak. Lampu merahnya? Kurang tiga puluh detik lagi kok."
Laura tidak menjawab, matanya fokus tertuju ke depan menatap detik di lampu merah yang terasa bergerak lambat. Sementara Sergio di dalam mobil diam-diam mengulum senyum melihat gelagat mantan kekasihnya itu.
***
"Gak ada, kan?"
Evan menggeleng, matanya bergerak memastikan beberapa hal. "Gue tadi lewat tongkrongannya dia ada di sana."
Sergio mengangguk kecil, duduk di salah satu bangku kantin sembari mengeluarkan ponselnya. "Keliatannya gimana?"
"Biasa aja sih. Udah lo cek?"
Sergio mengangguk. "Masih belum sadar." Matanya bergerak ke arah pintu masuk kantin, Alan melambaikan tangan lalu bergabung dengan keduanya. Pertanyaan yang keluar dari mulut laki-laki berdarah sunda asli itu adalah...
"Lo balikan sama Laura?"
"Enggak."
"Terus kenapa anak-anak pada gosipin lo dah?"
Mata Sergio bergerak ke arah Evan yang ikut menantikan jawaban atas pertanyaan Alan. "Gara-gara gue pulang bareng kali, kemarin."
"Masa iya, cuma gara-gara itu?"
Evan menggangguk setuju. "Iya ya Lan. Gak mungkin dong cuma gara-gara nganterin Laura pulang? Cuma sekali lagi."
Sergio menaikan sebelah alisnya menebak ke mana arah pembicaraan ini dibawa. "Van?"
"Oh-oh-oh! Gue tau!" Evan memukul-mukul bahu Alan heboh persis seperti para perempuan saat bergosip tentang crush-nya. "Pasti gara-gara pandangan mata Sergio ke Laura itu... dalem banget penuh cin—"
"Heh anjing." Sergio telak melempar tisu gulung yang beruntungnya sedang tidak bersama tempatnya. "Gak ada yang kayak begitu."
Alan tertawa lepas bersama dengan Evan yang masih berusaha mencecar Sergio. "Liat aja ntar di kelas. Gue liatin mata lo ke mana!"
"Ya ke papanlah namanya juga belajar."
"Tai kucing!" Evan menyenggol lengan Alan dengan sikunya. "Lo juga ikut awasin Lan. Kalau sampe Sergio kepergok ngeliatin Laura, traktir kita minum."
"OKE!"
"Lah anjing. Gak bisa sepihak gitu dong?!"
"Ya buktiin." Evan tersenyum penuh kemenangan. Lama mengenal Sergio, ia cukup tahu untuk memancing ego lelaki itu. "Kalau lo emang gak peduli sama Laura."
Sergio diam. Memandang lurus Evan mengumpati lelaki itu melalu tatapan matanya.
"Ape nih, Laura-Laura?" Angga tahu-tahu datang akan duduk di samping Sergio tapi lelaki itu menahan Angga dengan mendorong badan agar ia tetap berdiri dan merangkulnya untuk pergi dari kantin. "Hari ini gue boleh masuk kelas lo nggak, sih?"
"Lah? Kenapa emang?"
"Pengin aja ngerasain jadi anak IPA."