"Dia siapa?" tanya Indah seraya bersedekap saat ia berdiri tepat di depan ruang kerja Adit.
Adit mengembuskan napas panjang, ia menatap Indah malas usai mengantarkan Edel keluar dari ruangannya, Adit sengaja berhenti di tempat hanya untuk menatap punggung Edel yang kian lama kian menjauh.
"Anggota," jawab Adit acuh.
Indah membulatkan matanya, ia menahan tangan kekar Adit dan menatap Adit dengan saksama. Pandangannya tajam, menelisik ke dalam manik mata elang Adit yang kini sedang memicing ke arahnya.
"Mana mungkin hanya anggota biasa,mas barusan peluk-peluk dia tadi! Untuk apa pelukan kalau hanya anggota biasa?" tanya Indah mulai kesal.
Adit membuang napas kasar. Perlahan ia melepaskan tautan tangan Edel yang membelit lengan Adit. Adit sebenarnya sudah sangat muak dengan sikap Indah yang mudah cemburu itu. Ia sebenarnya sudah tidak ingin berurusan dengan Indah, hanya saja, gadis itu terlalu gencar mendekati keluarganya, hingga ibu Adit saja sampai meminta Adit untuk segera meresmikan hubungan mereka, padahal, pada kenyataannya Adit dan Indah sudah lama berpisah.
"Mas, ingat janji mas sama aku, kan? Aku ini calon istrimu, Mas!" lanjut Indah tegas.
"Itu maumu, bukan aku."
"Mas sendiri sudah berjanji kemarin akan mewujudkan itu. Sekarang jelaskan sama aku siapa anggota itu? Dia teman sekamar aku, kan? Dia udah nyakitin aku, Mas, kenapa enggak dihukum atau semacamnya?" lanjut Indah mulai bertambah kesal.
Adit kembali membuang napas kasar, ia harus benar-benar menyimpan emosinya saat menghadapi Indah. Gadis itu terlalu banyak menuntut, belum lagi sikap posesifnya yang jujur saja kadang membuat Adit jadi pusing sendiri.
"Memang hubunganku dengan Edel segitu pentingnya untuk kamu?" tanya Adit heran.
"Jelas penting! Mas itu calon suamiku, aku enggak mau ada wanita lain yang merebut posisku! Enggak sekarang atau nanti! Kamu punya aku dan akan selalu begitu!" ucap Indah tegas.
Adit menahan napas sejenak. Ia menatap Indah dengan saksama, lalu berkata, "Edel dikirim untuk tugas. Kamu tahu, tugas kami sangat berbahaya. Aku hanya memberikan dukungan padanya. Lagipula ... Edel juga sudah memiliki calon pendamping. Apa yang kamu takutkan?"
Adit melangkah pergi. Ia berjalan menuju pos pengamanan yang berada di depan markas. Adit mengernyit saat ia mendapati ada tiga orang remaja yang berdiri tepat di depan posko sembari membawa sebuah tas kresek berwarna hitam. Adit berjalan menghampiri ketiga remaja itu.
"Hai, adik, cari siapa?" tanya Adit ramah.
"Kami mau tukar buah-buahan dari kebun ini buat kakak tentara. Minta tukar dengan beras, Kak," ucap salah seorang dari mereka.
Adit mengernyit, ia menerima tas kresek warna hitam itu dan membukanya. Sebuah pepaya, nanas, dan beberapa ikat daun singkong.
"Kamu disuruh mama tukarkan ini?" tanya Adit kemudian.
"Benar, Kakak. Dirumah kami tidak punya beras. Saya dan adik-adik belum makan."
Adit mengangguk paham. Ia kembali menatap ketiga remaja itu yang tampak terengah-engah dan kelelahan. Adit tahu, rumahnya mungkin di seberang gunung. Jauh dari pos.
"Rumah dimana kalian? Ini saudara atau teman?" tanya Adit seraya mempersilakan ketiga remaja itu untuk duduk di pos penjagaan.
"Kampung Sindur, Kakak. Saya dan dua teman saya ini memang berencana datang ke pos tentara untuk menukarkan buah-buahan ini. Kata ketua adat kami, kakak-kakak tentara ini menerima apa pun yang kami bawa untuk kami tukar dengan beras."
Adit tersenyum.
"Kalian jalan jauh, sudah makan atau belum?" tanya Adit ramah.
Ketiga remaja itu saling menatap satu dengan yang lain, dengan malu dan ragu mereka hanya menggeleng seraya menunduk tanpa berani menatap wajah Adit yang terkesan sangar dan dingin itu.
"Kalau begitu, kakak ambilkan makan dulu. Kebetulan kami masih ada makanan, jadi kakak ambilkan beberapa untuk kalian. Makan dulu sebelum pulang."
Adit berjalan menuju dapur umum, ia mengambil tiga buah piring plastik yang segera ia isi dengan nasi hingga penuh, mie instan goreng, dan ikan sarden masing-masing satu. Ia juga meminta salah seorang anggotanya membawakan satu kardus mie instan, tiga plastik beras masing-masing dua kilogram, dan tiga kaleng ikan tuna.
"Kalian makan saja dulu, isi perut sampai penuh baru pulang. Ini kakak ada beberapa mie instan, kebetulan baru datang kiriman dari kodam, bagi-bagi dengan temannya. Ini ada beras, maaf, tidak banyak, tapi kakak rasa sudah cukup untuk kalian sekeluarga, dan ada ikan. Sampaikan ke mama, ya," ucap Adit seraya tersenyum.
Usai menunggui anak-anak itu makan, mereka pun kembali ke daerah mereka. Adit meminta dua orang anggotanya untuk mengantarkan ketiga remaja itu sampai ke desa mereka karena hari hampir malam dan hal itu sangat berbahaya, terlebih area Kampung Sindur adalah area merah yang menurut intelejen terdapat banyak anggota kelompok separatis bersenjata yang berjaga.
"Ndan, kenapa abang kasih ke mereka berasnya? Mie instan saja sudah cukup, Ndan. Persediaan beras kita menipis, kita bahkan belum dapat kiriman lauk-pauk dan makanan ransum," ucap Pratu Husein saat melihat Adit masih terus mengawasi ketiga remaja tadi dari kejauhan.
Adit menoleh, menatap Pratu Husein dengan sorot tajam.
"Siapa yang suruh kamu mengeluh begitu?"
"Siap, salah, Ndan!"
"Kita itu tentara, makan seadanya, hidup sederhana. Kalau kita harus tiga hari tidak makan, itu sudah biasa, Sein. Mereka, masyarakat, orang yang harus kita lindungi. Mereka harus makan, tidak boleh perutnya merasakan kelaparan. Lagipula, jika beras kita habis, masih ada mie instan, masih ada beberapa sisa ransum dari tiga bulan yang lalu. Bagi mereka, kita itu harapan terakhir mereka untuk mencari rasa aman dan perlindungan. Jika kita tidak bisa melindungi dengan memberikan apa yang mereka butuhkan, lalu, untuk apa kita ada di sini sekarang, Husein?"
Pratu Husein diam sejenak. Ia mulai merenungi ucapan Adit barusan. Hal membuat para anggota pos sangat kagum dengan sosok Kapten Adit adalah karena sikap Kapten Adit yang rendah hati, ia selalu memikirkan nasib orang lain. Sebenarnya, Adit bisa saja menolak masyarakat yang datang hanya sekedar menukarkan hasil kebunnya, toh, dia dan prajuritnya juga butuh beras untuk makan mereka sehari-hari. Namun, tidak ada yang berani membantah jika Adit sudah memberikan perintah.
"Minta Rendra mengirimkan daftar relawan yang akan pergi ke Kampung Sindur besok. Saya tunggu di ruangan saya!" ucap Adit tegas.
Adit berdiri menatap Edel dari dalam ruangan kerjanya. Gadis itu sedang mempersiapkan diri untuk tugas penyamarannya. Ia membersihkan kamar dan tempat tidurnya, menjemur pakaian lorengnya dan alas tidurnya.Adit membuang napas kasar, ia masih ingat betul usai Adit mendapatkan kabar jika Edel akan menjalani penyamaran, Adit pun sebenarnya sudah mengajukan diri untuk ikut turun ke lokasi penyamaran, tapi posisinya sebagai komandan pos menjadi pertimbangan tersendiri dan membuat komandannya tidak mengizinkannya.
"Izin, Bang, ini daftar relawan yang akan berangkat ke Kampung Sindur," ucap Rendra usai memberikan hormatnya pada Adit.
Pria itu menerima daftar nama para relawan itu dan menatap nama Indah di dalam daftar.
"Indah ... ikut?" tanya Adit heran.
"Siap, izin, saya sudah mengkonfirmasi hal tersebut pada Dokter Indah dan dia menyatakan jika dirinya mengajukan diri untuk ikut ditempatkan di Kampung Sindur, Bang."
Adit mengusap wajah kasar. "Minta orang-orang di daftar ini untuk berkumpul. Beritahu Serda Edel juga. Saya tunggu di ruang rapat," ucap Adit tegas.
Rendra berujar siap sebelum akhirnya ia memanggil beberapa relawan, termasuk Indah dan Edel.
"Terimakasih atas kesediaan teman-teman relawan sekalian untuk berkumpul di ruangan ini. Baru saja saya menerima daftar nama relawan yang akan dipindah tugaskan di Kampung Sindur. Kalian akan dikawal oleh Serda Edel yang akan membaur menjadi salah satu dari para relawan. Saya harap rekan-rekan semua dapat menjaga rahasia status dari Serda Edel ini, karena jika identitas aslinya sampai terbongkar, bukan hanya nyawa Serda Edel yang berada dalam bahaya, tapi juga nyawa rekan-rekan semua. Tugas di Kampung Sindur hanya dua minggu, tapi kalian tetap harus waspada. Tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi dua minggu ke depan. Saya menganggap rekan-rekan sekalian adalah bagian dari tim satgas pamtas kami dan itu artinya, kalian adalah anggota kami yang memiliki kesetiaan dan integritas. Saya harap lima orang yang berangkat ke Kampung Sindur akan kembali lagi dalam keadaan lengkap dua minggu mendatang. Akhir kata, selamat bertugas, jaga diri kalian dengan baik," ucap Adit tegas.
***
Edel menatap satu per satu botol skincare yang ada di atas nakas milik Indah.Ia merasa heran, apa mungkin semua botol kecantikan itu akan ditumpahkan seluruhnya di wajah Indah. Edel terkesiap saat melihat Indah tiba-tiba datang dan duduk tepat di hadapan Edel.
"Lihatin apa kamu?"
Edel menelan salivanya susah payah sebelum akhirnya menggeleng. "Enggak ada, Mbak," jawabnya cepat. Edel memilih membaringkan tubuhnya dan membelakangi Edel daripada harus menatap wanita aneh itu dan berakhir ricuh.
"Aku tahu kamu anggota Mas Adit, tapi tolong, sebagai anggota bersikaplah sebagaimana anggota pada atasannya. Jangan lancang!" ucap Indah tegas seraya menggunakan step by step pemakaian skincare miliknya.
"Maksud mbak apa,ya? Saya nggak paham."
"Enggak usah berlagak enggak paham, deh! Kamu tahu siapa Adit, kamu juga tahu aku ini calon istrinya, setidaknya jangan jadi jalang asal meluk tubuh calon suami orang! Kalau kamu enggak bisa menghargai orang lain dan hubungan orang lain, paling tidak kamu menghargai dirimu sendiri. Jangan merendahkan harkat dan martabatmu sebagai perempuan dengan menggoda calon suami orang!" ucap Indah tegas dengan mata menatap Edel tajam.
Edel membuang napas pasrah. Ia tahu, adegan berpelukannya dengan Adit cepat atau lambat akan membawa dampak buruk baginya.
"Maaf soal itu ... tapi, perlu kamu tahu, bukan saya yang mulai pelukan itu."
"Kamu pikir saya percaya begitu saja ucapan kamu? Mau dilihat dari sisi manapun, mau dari atas monas atau ujung kulon sekali pun, kamu enggak ada apa-apanya di banding saya! Saya bukan orang bodoh yang mudah percaya kalau Mas Adit yang memulai pelukan itu terlebih dahulu! Saya tahu bagaimana Mas Adit, saya sudah mengenal dia jauh sebelum kamu jadi tentara, jadi, jangan coba-coba jadi pelakor!"
Edel mengembuskan napas kasar, ingin rasanya ia mengumpat. Andai saja ia bisa merebut dan bersaing dengan Indah untuk bersanding dengan Adit, tapi Edel sadar, langkahnya mengejar Adit sepertinya harus berhenti sampai di sini.
Jangan dipikirkan, Del, Kapten Adit sudah ada yang punya, biarkan dia bahagia dengan pilihannya. Siapa tahu, kamu juga akan bahagia dengan keputusan yang kamu ambil, batin Edel.
Pagi-pagi benar, Edel sudah mempersiapkan dirinya. Ia meletakkan beberapa potong pakaian di dalam tas ranselnya, ia juga membawa beberapa keperluan pribadi, dan beberapa alat penyadap yang dapat mengirimkan sinyal pada pusat komando mengenai situasi dan kondisi di Kampung Sindur. Pagi itu, tiba-tiba saja Edel dikejutkan oleh kehadiran Adit yang berdiri tepat di depan barak tempatnya beristirahat.
"Ada telepon dari kantor pusat," ucap Adit.
Edel mengangguk paham. Ia pun berjalan menuju ruang kerja Adit dan menerima panggilan telepon dari atasannya itu.
"Sersan Edel, kamu membawa beberapa warga sipil dalam misi penyamaran ini, jika sesuatu terjadi diluar dari rencana, kamu tahu, kan, siapa yang harus kamu utamakan?"
Edel menegakkan tubuhnya dan berujar siap.
"Apapun yang terjadi, dahulukanlah warga sipil. Mereka adalah tugas utama misi ini. Bagaimana pun caranya tidak boleh ada warga sipil yang terluka. Paham?"
"Siap paham."
Edel meletakkan panggilan telepon tersebut dan kembali mendongak menatap Adit.
"Izin, Kapt, saya mendahului."
Edel berlalu begitu saja. Adit membuang napas kasar, ia sangat tahu, sikap Edel padanya kini sudah berubah seratus delapa puluh derajat.
Apa mengakui perasaan sekarang sudah terlambat? Batin Adit.
Adit mengernyit saat ia mendengar suara deru mesin helikopter yang mendarat di lapangan markas. Adit berjalan mendekati pesawat itu.
"Kirim logistik lagi, Mas?" tanya Adit heran usai menandatangani berita acara pengiriman.
"Siap, izin, Kapten, logistik untuk tiga bulan kedepan dan ada beberapa surat untuk para anggota," jawab Dewa tegas.Mata Dewa mulai celingak celinguk mencari keberadaan Edel di sana, tetapi tidak kunjung ia temukan.
"Cari siapa. Mas?" tanya Adit heran.
"Sersan Edel, Kapten. Saya dengar, dia akan bertugas ke Kampung Sindur?Apa benar begitu?"
Adit mengangguk acuh. Ia menatap ke arah barak dan mendapati Edel yang sudah berjalan perlahan menghampiri helikopter itu.
"Izin, Kapt ...."
Dewa berlari ke arah Edel dan berhenti tepat di hadapan gadis itu.
"Selamat bertugas," ucap Dewa seraya mengulurkan tangannya pada Edel.
Edel menatap tangan yang menggantung itu, tapi tubuhnya justru melangkah maju dan mendekap tubuh kekar Dewa. Hal itu membuat Dewa menjengit kaget. Tindakan Edel ini jelas saja membuat heboh rekan-rekan lainnya, tidak terkecuali Adit yang tampak sangat terkejut melihat adegan mesra Edel dan Dewa tepat di depan matanya.
"Doakan aku, ya, Calon suami," ucap Edel lirih.
Dewa tersenyum seraya melingkarkan kedua tangan di tubuh ramping Edel.
"Jangan sampai terluka, ya, Calon istri."
Keduanya pun kini saling melepaskan pelukan mereka dan beralih saling memandang. Senyum Dewa mengembang diiringi dengan wajahnya yang mulai memerah. Malu rasanya mendapatkan pelukan dari seorang wanita tepat di hadapan puluhan pasang mata. Dewa pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya menatap Edel lekat-lekat.
"Jadi, saya diterima?"
"Mau saya berubah pikiran?"
"Eh, jangan! Saya sampaikan kabar baik ini pada orang tua saya. Mereka pasti akan senang mendengarnya."
Edel menganguk seraya tersenyum.
Adit yang menyaksikan semua peristiwa itu hanya diam, membeku ditempatnya. Entah mengapa tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, tubuhnya seperti mendidih, panas. Ia mengepalkan kedua tangannya dan memilih untuk membalikkan tubuhnya.
Aku enggak menyangka, melihat dia tersenyum dengan pria lain seperti itu membuat hatiku ... sakit, batin Adit.
jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini
Comment on chapter Permulaan