"Bersiap!"
Suara Adit menggema di seluruh markas mereka. Lokasi yang berada di cekungan antara dua lereng gunung itu membuat lokasi Pos Desa Yambe terasa sangat dingin, terlebih di pagi dan menjelang sore hari. Udara yang dingin, bahkan dapat membuat tubuh menjadi menggigil. Adit memberikan kesempatan berolah raga bersama dengan seluruh anggota pos dua kali sehari, di pagi dan sore hari.
Kali ini, olah raga digelar di tengah lapangan markas. Semua orang hanya mengenakan kaos loreng dan celana lapangan dengan warna senada. Tidak lupa sepatu PDL yang melekat pada kaki mereka masing-masing. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore dan saatnya semua orang melakukan olah raga bersama yang dipimpin oleh Kapten Adit.
Adit seolah sengaja membuka kaos lorengnya, menunjukkan bentuk tubuhnya yang berbuku-buku. Ia juga mengenakan kaca mata hitam untuk menghalau sinar matahari sore yang mulai menyorot dan sedikit menyilaukan. Semua orang kini tengah berbaring diatas tanah dan hamparan rumput di lapangan itu. Semua mengambil posisi bersiap untuk melakukan push up. Tidak ada pengecualian dalam olah raga ini, semua anggota wajib ikut, termasuk Edel yang menjadi anggota perempuan satu-satunya di pos tersebut.
"Satu ...Dua... Angkat tubuh tinggi ...tiga ... tempelkan dada ke tanah! Lakukan dengan sempurna, jangan setengah- setengah! Empat!"
Olah tubuh pun beralih dengan posisi terlentang. Kedua tangan menopang tubuh dan diletakkan tepat di samping kanan dan kiri tubuh masing-masing anggota. Kaki mulai dihentakkan, lurus dan ditekuk. Gerakan ini berfungsi untuk mengencangkan dan melatih otot perut para anggota. Adit pun ikut melakukan setiap gerakan yang ia perintahkan pada anggotanya. Keringat di tubuh Adit tampak mulai menetes, tubuhnya pun mulai sedikit terlihat mengkilat karena keringat.
"Edel, jangan lemah! Delapan," teriak Adit saat melihat Edel tampak mulai kelelahan melakukan aktifitas fisik yang cukup menguras energi itu.
Usai melakukan pemanasan berat, kini saatnya mereka berjajar dan berlari keliling markas, naik turun lereng pegunungan sembari menyanyikan yel-yel untuk menambah semangat.
"Latihan selesai! Bubar!" teriak Adit tegas diiringi sahutan siap dari seluruh anggotanya.
Adit berbalik, ia mengernyit saat melihat Indah menghampirinya dengan membawakan sebuah handuk kecil dan sebuah botol berisi air mineral. Indah juga dengan sabar mengusap keringat yang menetes di wajah Adit, aksi tersebut tentu saja menuai kehebohan dari para anggotanya, pasalnya, komandan Pos Desa Yambe ini jarang sekali berinteraksi dengan perempuan sedekat ini. Semua orang bersorak senang, kecuali Edel.
Ia berjalan lemah keluar dari barisan, Edel sengaja menghampiri sumur pompa yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka. Edel menyiramkan air ke wajahnya dan meminumnya sedikit untuk membasahi tenggorokannya. Edel membuang napas kasar. Senyuman bahagia keduanya masih saja terasa sangat nyata di pikirannya.
"Sial, kenapa harus ada rival, sih?" ucap Edel kesal.
"Gue udah bilang sama lo, nggak percaya, sih," ucap Rendra seraya mengambil air untuk mencuci kedua tangannya.
Edel menatap Rendra dengan tatapan sedikit kesal.
"Saya kira kapten belum ada calon, niat hati ingin mengajukan diri, ee ternyata dia sudah ada calon. Nasib, belum berjuang sudah mati," ucap Edel putus asa.
Rendra mendengus, lalu tertawa seraya mengacak puncak kepala Edel.
"Kamu bukannya sudah ada calon, seharusnya tidak perlu terlalu bersedih."
Edel menoleh cepat, alisnya berkerut dengan tatapan penuh tanya memandang Rendra yang sudah tersenyum aneh sejak tadi.
"Maksudnya apa, Let?"
"Enggak usah ditutupi, gue tahu, lo calon istrinya Dewa, kan? Pilot heli yang tadi nganterin logistik dan relawan?"
Edel diam sejenak. Ia masih mengerjap, tidak percaya jika Rendra dapat mengetahui hal yang sampai saat ini masih sulit Edel percaya itu.
"Kok ...."
"Tahu? Dewa itu sahabat gue dari SMA, kami sekolah ditempat yang sama, sebenarnya sudah saling kenal sejak SD, tapi baru merasa dekat lepas SMP. Dia cerita kalau orang tuanya menjodohkan dia dengan anak teman ibunya, gue kaget ternyata orangnya lo," ucap Rendra seraya tertawa.
Edel beringsut duduk. Ia menekuk kedua kakinya dan mendekapnya erat. "Nggak usah ketawa, deh, Let. Enggak ada yang lucu."
"Lucu, Del! Gue enggak sangka kalau jodoh selucu ini. Lo yang awalnya mati-matian ngejar Kapten Adit, ee tiba-tiba harus patah hati karena Dokter Indah. Di saat lo patah hati eeh ternyata jodoh lo udah ditentukan. Harusnya lo bersyukur, Del. Dewa itu laki-;ali baik. Dia sangat mencintai ibunya. Laki-laki yang mencintai ibunya, pasti akan memperlakukan pasangannya dengan baik dan hormat. Dia juga enggak pernah aneh-aneh. Justru ditinggal selingkuh sama mantannya waktu masih pendidikan penerbangan.Kalau lo sampai nolak Dewa, rugi."
Edel mengambil napas dalam-dalam. Ia mendongak menatap Rendra yang berdiri tepat di sampingnya.
"Rencananya enggak akan nolak, Let," gumam Edel.
Rendra membulatkan kedua matanya merasa sedikit terkejut dengan ucapan Edel. Rendra pikir jika Edel akan menolak perjodohan itu dengan cepat.Belum Rendra ingin menanyakan alasan lebih lanjut mengapa Edel berniat menerima Dewa, Adit tiba-tiba saja datang mendekat. Ia membasuh kedua tanganya dengan air.
"Izin mendahului, Let," ucap Edel cepat. Ia sengaja menghindari Adit sekarang. Hatinya sudah terlanjur remuk saat mendengar jika Adit benar-benar akan menikahi perempuan bernama Indah itu.
"Tunggu, Sersan Edel! Lebih baik kamu sekarang ke ruangan saya, ada yang ingin saya bicarakan!" ucap Adit tegas.
Edel diam sejenak. Ia mengembuskan napas dalam dan berucap siap. Edel berjalan tepat di belakang Adit, ia sengaja melangkah sedikit lebih lambat daripada komandannya itu. Edel berdiri tegap dengan pandangan lurus kedepan. Ia mengesampingkan Adit yang sedang mengenakan kaos hitam tepat di hadapannya.
"Izin, Kapten sebaiknya segera sampaikan apa yang ingin Kapten sampaikan," ucap Edel tegas.
Adit membuang napas kasar seraya mengambil sebuah surat dengan kop Srikandi, kesatuan Edel. Melihat sebuah surat disodorkan padanya, Edel pun mengernyit.
"Izin, Kapt, apa ini?" tanya Edel lirih.
"Sepertinya surat tugas untuk kamu. Baru saja saya terima, sepertinya dikirim langsung dari pusat."
Edel mengangguk lemah.
"Buka saja di sini."
"Izin, ini surat tugas saya, saya akan membacanya di barak saya saja, Kapten."
Adit mengembuskan napas kasar, ia menatap Edel dengan saksama. "Buka saja di sini, saya ingin tahu tugas seperti apa yang diberikan oleh komandan Srikandi pada kamu. Jujur saja, saya sudah melaporkan kejadian kemarin pada komandan. Sepertinya penugasan ini imbas dari laporan saya itu."
Edel menahan napasnya sejenak. Ia menatap kop surat itu sekali lagi sebelum akhirnya menatap Adit.
"Bukankah kalau saya tidak ada di sini kapten bisa merasa lebih tenang karena sudah tidak ada pengganggu?"
"Ini bukan saatnya membahas hal itu, Edel. Saya menanyakan hal ini berkaitan dengan posisi saya sebagai komandan pos di sini. Saya tentu harus tahu dengan pasti tugas yang diberikan pada anggota saya," ucap Adit tegas.
Edel diam sejenak. Ia menatap Adit lekat-lekat. Matanya sudah tampak berkaca-kaca, entah mengapa rasa patah hati ini membuat sisi wanita Edel yang cengeng menyeruak.
"Izin, Kapten, saya berasal dari korps Srikandi yang merupakan pasukan khusus wanita di negeri ini. Sama halnya seperti kapten yang berasal dari pasukan khusus Pandawa. Saya rasa kita sudah sama-sama memahami tugas kita masing-masing sebagai seorang intelejen," ucap Edel tegas sebelum akhirnya ia memberikan hormatnya pada Adit dan meninggalkan ruang kerja Adit.
Edel berjalan tegap menuju tempat favoritnya, pohon mangga. Ia duduk perlahan di bawah pohon mangga itu seraya membuka surat tugas yang baru saja ia dapatkan. Edel membaca dengan saksama surat tugas itu sebelum akhirnya membuang napas kasar. Sesuai dengan perkiraannya, ia mendapatkan tugas menjadi seorang spionase untuk mengungkapkan kasus penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang di daerah Desa Yambe yang menurut informasi adalah sebagai kawasan merah dari perdagangan gelap tersebut.
Edel merogoh ponsel yang ada di saku celananya, ia menelpon keluarganya sekali lagi, bercengkerama sejenak dengan mereka. Edel tahu jika setelah ini ia akan menjalankan misinya sebagai intelejen, menggunakan identitas baru dan mungkin tidak dapat menghubungi keluarganya selama beberapa waktu kedepan selama misi berlangsung.
Edel membuang napas. Ia kembali berdiri dan memutuskan untuk membersihkan dirinya karena hari sudah beranjak petang.
Edel berjalan menuju barak yang menjadi tempat istirahatnya, ia pun harus rela berbagi kamar dengan Indah, orang yang tiba-tiba muncul dan secara ajaib memproklamirkan diri menjadi calon istri Kapten Adit. Edel berdiri tepat di depan pintu kamarnya, ia melihat jika kamarnya kini tengah kosong. Edel melangkah masuk, ia menatap sekeliling kamarnya, tepatnya setengah dari ruangan itu rupanya telah disulap menjadi ruangan yang berbeda. Mirip seperti ruangan kaum hawa pada umumnya. Kelambu berwarna pink, meja nakas yang terisi penuh dengan skincare dan alat make up, tak ketinggalan hairdryer dan alat pelurus rambut juga tertata rapi di atas meja. Edel mengernyit saat melihat sebuah foto yang terpampang di atas nakas milik Indah. Edel berjalan mendekat dan mengambil bingkai foto tersebut. Foto Indah yang tampak terlihat sangat mesra dengan Adit saat acara prasetya perwira.
"Kamu anggotanya Mas Adit, kan?"
Edel terperanjat dan tanpa sengaja bingkai foto itu terjatuh ke lantai, lalu pecah. Edel membuang napas kasar, tidak seharusnya ia bertindak seceroboh ini. Menyentuh barang orang lain tanpa izin itu tidak baik!
"Maaf, Mbak, saya ... tidak sengaja," ucap Edel seraya memunguti serpihan kaca yang berceceran di lantai.
"Memangnya kamu enggak pernah dididik untuk tidak menyentuh barang orang lain tanpa izin? Sepertinya kamu cukup terpelajar untuk mengetahui hal itu!" ucap Indah ketus.
Edel menahan napas sejenak seraya memberikan foto itu kembali pada pemiliknya.
"Maaf, Mbak."
"Saya laporkan kamu sama Mas Adit biar kena hukum!" ucap Indah memberikan ancaman.
"Izin, Mbak, saya, kan , sudah minta maaf, lagipula kejadian ini juga diluar kendali saya. Saya rasa masalah ini tidak perlu di laporkan pada Kapten Adit."
Indah bersedekap. Ia menatap sinis ke arah Edel. Matanya seolah memindai Edel dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
"Kamu naksir sama calon suami saya?" tanya Indah ketus.
Edel diam.
"Saya sudah tahu dari sejak pertama kali saya melihat kamu. Tingkah kamu aneh, terlebih tatapan mata kamu sama Mas Adit. Enggak usah genit-genit, deh, sampai dunia kiamat juga Mas Adit enggak akan suka sama kamu, Lagi, dia sudah punya calon istri yang sempurna macam saya, jadi enggak usah mimpi kamu akan dilirik sama Mas Adit," ucap Indah tegas.
Indah mengambil serpihan kaca yang sedikit lebih besar, lalu menggores sendiri lengan tanganya dengan serpihan kaca itu. Tak lama suara tangisan Indah menggema di seluruh markas hingga membuat hampir seluruh anggota pos dan relawan berkumpul di depan kamar tidur Edel dan Indah.
"Dia kasar! Dia ngelukai aku hanya karena enggak terima kalau aku ini calon istri Kapten Adit," rengek Indah seraya menagis tersedu-sedu.
Edel yang melihat hal itu hanya bisa diam. Ia tidak habis pikir sekaligus tidak percaya jika Indah yang terlihat begitu kalem dan lemah lembut itu bisa memfitnah Edel dengan begitu keji. Edel terkesiap saat Adit masuk ke ruangan dan segera setelah itu, Indah menghambur ke dalam pelukan Adit.
"Obati dulu lukamu. Edel, ikut saya!" ucap Adit tegas.
Edel diam di hadapan Adit. Ia tampak sekali menahan amarah, tapi Adit hanya diam memperhatikan Edel dengan saksama.
"Kalau kapten mau hukum saya, hukum saja. Saya terima," ucap Edel memecahkan keheningan di antara mereka.
Adit membuang napas kasar.
"Luka Indah tidak serius, hanya luka gores kecil tidak akan membuatmu mendapat hukuman, Edel."
Edel mendongak, lalu menatap Adit tepat di kedua manik matanya yang menyorot begitu tajam. "Lalu, untuk apa Kapten tahan saya di ruangan kapten?" tanya Edel bingung.
Adit mengambil dua gelas dan membuat kopi instan untuk dirinya dan Edel.
"Saya dapat kabar kalau kamu akan menerima tugas khusus, bertugas menjadi spionase di Kampung Beliyu, menyamar menjadi relawan dan bertugas bersama sebagian besar relawan yang datang itu. Benar,kan?" tanya Adit pelan.
Edel hanya diam. Ia tidak menanggapi apa pun.
"Del, Kampung Beliyu adalah kampung paling berbahaya di desa ini. Menurut informasi, banyak anggota kelompok separatis yang tinggal dan membaur dengan masyarakat di kampung itu. Kamu akan kesulitan mengenal siapa lawan dan siapa kawan."
"Saya sudah terbiasa menerima tugas khusus, Kapten. Saya rasa tugas khusus ini tidak perlu membuat kapten khawatir."
Adit diam, ia menyeruput kopi instan buatannya seraya menatap Edel.
"Saya berangkat besok pagi, bersama dengan rombonan relawan yang akan diturunkan di Kampung Beliyu."
"Del ... tugas ini akan bertambah berat karena kamu membawa serta beberapa warga sipil di sini...."
"Saya tahu, Kapten. Saya tidak akan mencelakakan para relawan itu."
Adit meletakkan gelasnya di atas meja dan ia berjalan mendekati Edel, berdiri tepat di hadapan Edel seraya menatap Edel lekat-lekat.
"Resiko dari setiap tugas intelejen adalah kematian. Saya harap itu tidak terjadi sama kamu, Del."
Edel tersenyum. Ia tidak pernah berada sedekat ini dengan Adit, kalau saja Adit tidak mengatakan jika dirinya sudha memiliki caln istri, mungkin Edel akan melangkah maju dan mengalungkan kedua tangannya di leher Adit. Sayang, semua itu hanya ada dalam angan-angan Edel. Mungkin ini yang disebut tidak berjodoh.
"Jika nantinya kapten tidak mendapati saya kembali bersama para relawan lain, itu artinya ... hari ini adalah pertemuan terakhir kita, Kapten."
Edel memberikan hormatnya dan membalikkan tubuhnya, tapi tangan Adit dengan cepat menyambar tangan Edel dan menariknya dalam pelukannya.
"Kapt ?"
" Janji sama saya kamu akan kembali dalam keadaan hidup."
Edel tersenyum miris. "Kapten tahu, hal itu sulit untuk ditepati. Tolong, lepaskan saya, Kapt. Saya sedang tidak bisa mengendalikan hati saya, Kapten. Jangan bertindak seperti ini. Saya sudah bertekad melupakan kapten karena saya tahu kapten tidak tercipta untuk saya. Jadi, tolong jangan bersikap seolah-olah kapten menyematkan harapan pada saya."
Adit diam. Ia mendekap Edel lebih erat.
"Asal kamu tahu, perasaan kamu tidak bertepuk sebelah tangan."
Edel membulatkan matanya. Ia terkejut dengan ucapan Adit barusan.
"Kapten?"
"Selain kamu, saya juga punya perasaan yang sama. Jadi, tolong berjanjilah jika kamu akan kembali dalam keadaan hidup."
"Jika saya hidup, kita juga tidak akan bisa bersama, Kapt. Saya akan menikah dengan pria pilihan keluarga saya dan... kapten akan menikah dengan dokter Indah." Edel melepaskan pelukan Adit perlahan. Ia menatap wajah Adit sekaligus tatapannya yang tidak dapat diartikan.
"Apa hal itu tidak bisa kamu pertimbangkan lagi, Edel? Saya sudah mengutarakan perasaan saya."
"Lalu, bagiamana nasib Dokter Indah dan calon suami saya?"
Adit diam. Ia menunduk dalam. Ia merutuki dirinya sendiri karena terlalu bodoh membiarkan perasaannya berlarut hingga akhirnya berakhir rumit.
"Saya sudah mengutarakan perasaan saya sama kamu, apa kamu tidak peduli dengan itu?"
jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini
Comment on chapter Permulaan