"Jadi, kapan kamu mau bawain ibu calon mantu? Hampir semua teman ibu yang punya anak perempuan seusia kamu itu sudah pada nikahin anaknya, ada yang sudah momong cucu. Kamu kapan, Del? Ibu, kan, juga pengen momong cucu, Del."
Perempuan yang kini sedang bergelantungan di atas pohon mangga tepat di belakang mes itu pun kembali mengerutkan dahinya. Ini pembicaraan mengenai calon mantu kesekian sepanjang ia menelpon sang ibu dalam kurun waktu satu bulan ini. Rindu mendengar suara ibunya, tapi apa daya yang ia dapatkan lagi-lagi sebuah petuah kumal tentang calon mantu, menikah, dan momongan.
"Bu, kalau di cicil cucunya dulu, tapi calon mantunya belakangan gimana? Mau?"
Sebut saja si mulut cablak itu bernama Edel. Bukan Edel namanya jika dia tidak bar-bar dalam berucap, termasuk dengan ibunya sendiri. Seenak jidat ngomong mau kirim cucu duluan. Memang ada yang mau ena-ena sama Anda?
"TREMBELANE! NGGAK USAH ANEH-ANEH!"
Edel seketika menjauhkan ponsel pintarnya dari telinga kanannya. Sungguh, tidak berteriak saja suara sang ibu sudah cukup membuat telinganya gatal, apalagi berteriak kencang seperti tadi. Gendang telinganya bisa-bisa jebol.
"Habis, ibu tiap Edel telepon yang di bahas kalau nggak calon mantu, nikah, sama cucu. Edel, kan, bingung mau jawab gimana. Jodoh juga belum dapat. Sudah tahu anaknya tugas ditengah hutan, memangnya mau dikenalin sama bekantan? Atau Bagas sekalian dibungkus?" ucap Edel sedikit kesal.
"Bagas? Siapa itu, Nduk? Dari namanya sepertinya anaknya baik. Kenal dimana? Anak desa situ, teman tugas, atau ... atasan?"
Edel sudah kesulitan menahan kentut karena berusaha tidak tertawa mendengar pertanyaan beruntun dari sang ibu. Bagaimana tidak, andai saja sang ibu tahu siapa Bagas, sudah pasti akan mencak-mencak.
"Ya, ada, Bu. Kenalan di sini. Besok pagi kalau Edel ketemu Bagas, Edel kirim, deh, fotonya. Nggak susah, kok, ketemunya."
"Yo wis. Jangan macam-macam disana. Ibu tahu kamu tentara, tapi gimana pun juga kamu itu perempuan, jangan terlalu pecicilan nanti jodohmu diambil orang. Jaga kesehatan ya, Nduk. Jangan makan mi instan terus!"
Hening.
Panggilan telepon itu sudah ditutup sepihak oleh sang ibu sebelum Edel sempat berpamitan.
"Kebiasaan, padahal masih mau nebeng ngobrol sama bapak. Ibu, nih, sudah tahu di sini susah sinyal, waktu telepon yang cuma sebentar cuma dihabiskannya sendiri saja. Kalau dikatain egois, nanti aku digoreng hidup-hidup kayak kerupuk," ucap Edel seraya mengedumel dan mengembuskan napas kasar.
Edel pun turun dari atas pohon mangga itu. Ia terkejut saat mendapati pria berseragam loreng berdiri tepat di hadapannya. Pria yang sangat ia kenal dan sangat ia harapan menjadi belahan dadanya eh maksudnya belahan jiwanya. Laki-laki yang selalu ia inginkan untuk bertukar tulang. Aduh, tulang punggungku datang. Dia lagi nyari tulang rusuknya yang hilang kayaknya. Hmm... pas! batin Edel.
"Kapten Adit?"
Mata Edel membulat, berbinar-binar bahagia tak terkira saat melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi, kekar, dada bidang, kulit sawo matang, manis-manis manja, punya lesung pipit yang super gemas, tapi sayang pelit senyum. Siapa lagi kalau bukan komandan operasi tempatnya bertugas, Kapten Aditya Kurnia.
"Ngapain kamu di situ?" tanya Adit seraya menggedikkan kepalanya ke arah Edel.
Edel tersenyum. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, lalu membersihkan pakaiannya dari remahan-remahan batang yang kering.
"Baru selesai telepon, Kapt."
Adit mengangguk acuh dengan bibir yang membulat.
"Kapten nggak tanya saya teleponan sama siapa?"
Adit mengernyit. Sepertinya langkahnya mencari angin di belakang barak kurang tepat. Edel, perempuan bar-bar tukang manjat pohon dan spesialis dorong truk ini entah bagaimana selalu menempeli kemana pun Adit pergi. Ya, memang Adit adalah komandan dan Edel masih terdaftar sebagai satu-satunya anggota perempuan di posko perbatasan Pulau Sanden. Namun, sikap Edel yang sok manja, sok cari perhatian, dan sok mesra dengan Adit, sedikit banyak membuat Adit mulai risih.
Awalnya, Adit merasa sedikit lega, karena ada perempuan yang bertugas di pos tersebut. Biasanya Adit hanya bertugas dengan kaum laki-laki saja. Pantas jauh dari jodoh. Sudah tugas di pelosok negeri, patroli di tengah hutan, ketemunya laki-laki lagi, bagaimana mau enteng jodoh, kan? Namun, akhirnya satu yang Adit sadari. Edel tidak seperti perempuan kebanyakan. Kalau macam Edel sama saja bohong. Jenis kelaminnya saja perempuan, tapi kelakuannya lebih bar-bar dari para laki-laki di posko itu.
Apa lagi kalau sudah bertingkah genit pada Adit. Ampun-ampunan Adit berusaha untuk menghindar. Sudah sekitar enam bulan yang lalu tepatnya Edel memproklamirkan diri menjadi satu-satunya wanita yang menjadi calon tetap istri Kapten Adit. Dia juga menjuluki dirinya sebagai belahan jiwa Kapten Adit meskipun dari sekian banyak pendekatan yang dilakukan Edel pada Adit tidak ada satupun yang diterima oleh Adit.
Nasib cinta sendiri memang kejam. Cintanya terus bertepuk sebelah tangan.
Kapok?
Tentu tidak.
Putus asa?
Tentu tidak.
Prinsip Edel, semakin Adit menjauh, gadis itu akan giat mengejar, dipepet terus sampai enggak bisa kemana-mana. Harapannya, nanti Adit putus asa karena sudah lelah menjauhi Edel dan akhirnya mau menerima Edel dengan sendirinya. Ah, tapi entah kapan keajaiban itu akan datang. Hanya Adit dan Tuhan yang tahu. Sementara Edel, hanya berpasrah terombang-ambing dengan perasaannya sendiri. Perasaan tidak berbalas.
"Kamu lihat wajah saya, kan? Memang saya kelihatan peduli?" tanya Adit sedikit malas.
Edel mencebikkan bibirnya. Ia berjalan mendekati Adit. Ia tidak sungkan bersikap biasa pada atasannya itu. Edel berdiri di depan Adit seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya. Berusaha segenit mungkin.
"Kapten, kenapa, sih, jahat sama saya? Sikapnya ketus banget nggak pernah lembut gitu. Padahal saya sudah baik sekali, lho, dengan kapten. Saya buatkan makanan kalau kapten lapar, saya bawakan minuman kalau kapten sedang jaga di pos. Udah mirip istri idaman, lho, saya ini. Kapten kapan, sih, buka lowongannya?"
Adit mengernyit. Ia risih. Namun, tetap berdiam diri di hadapan Edel yang mulai menampilkan wajah memelasnya.
"Lowongan apa?" tanya Adit bingung.
"Jadi istri kapten. Saya daftar yang paling pertama,deh," ucap Edel seraya mendongak menatap wajah tampan Adit. Kedua mata hitam Edel sudah mengerjap-ngerjap persis seperti orang yang barusaja kelilipan.
"Yang pasti kalau saya buka lowongan calon istri, kriterianya nggak kayak kamu, sih, Del."
BOOM!
Sepertinya bom atom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki sekarang secara beruntun jatuh mengenai Edel tepat di dadanya. Seketika Edel membulatkan kedua matanya.
"Memang saya kurang apa, Kapt?"
"Banyak."
"Cantik, seksi, bahenol, rajin, perhatian, cinta sama kapten, dan sayang sama anak-anak kita kelak, memang masih kurang, Kapt?"
Adit seketika tersedak salivanya sendiri. Sepertinya semakin malam, kewarasan Edel semakin hilang. Berani sekali mengatakan hal-hal demikian tadi di depan atasannya.
"Saya nyari yang pinter masak."
"Kemarin saya masakin cumi asam manis istimewa buat kapten, sebelumnya saya juga masak kwetiau goreng. Sudah terbukti, kan, kalau saya pinter masak? Kapten nggak bisa menghindar dan mengelak. Saya ini jodohnya kapten. Terima kenyataan saja apa susahnya, Kapt?"
Adit tersenyum kecut. Ia ingat dua hari yang lalu, Edel memang membuatkannya masakan istimewa saat dirinya bertugas berjaga di pos. Cumi asam manis. Dari namanya memang terdengar enak, menggugah selera. Cumi yang digunakan Edel juga besar, membuat air liur Adit nyaris menetes. Hatinya pun nyaris luluh saat itu. Namun, saat cumi itu di gigit....
"Kamu kasih saya cumi atau ban dalam mobil? Keras, alot. Si Poni saya kasih saja melengos." Adit menatap ke arah anjing kampung yang kini sedang duduk dengan lidah terjulur tepat di sampingnya.
Edel tersenyum kaku. Poni sialan! Udah masak susah-susah, dia pakai ikut-ikut enggak makan macam tuannya. Awas aja, besok aku kasih nasi basi campur mesiu biar mati! batin Edel.
Poni adalah anjing liar yang sudah lama ada di posko perbatasan itu. Biasanya, Poni tidak pernah mau menetap lama di posko. Hanya datang, minta makan, lalu pergi. Namun, setelah kedatangan Adit, Poni bak menemukan tuannya yang hilang. Sampai berak di sungai saja di temani. Anjing yang aneh.
"Lalu, kwetiau goreng yang kamu bilang enaknya nggak kalah sama yang di Solaria itu juga. Nggak tahu lagi saya mau komentar apa. Juri masterchef pasti menangis melihat hasil masakan kamu, Del. Jadi, stop kasih-kasih saya makanan. Sudah bener kamu pegang senjata saja, nggak usah masak."
Adit membuang napas kasar. Ia menyentuh puncak kepala Poni dan mengajak anjing itu kembali berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat.
Edel membuang napas kasar seraya menatap punggung Adit yang kian lama kian menjauh dari pandangannya hingga sosok pria tampan itu menghilang di balik dinding mes. Lagi-lagi ia ditinggalkan begitu saja oleh pujaan hatinya. Edel beringsut, menempelkan tubuh di dinding mes seraya berjongkok disana. Tangannya mengambil sebuah kerikil dengan ujung tajam dan mulai menuliskan nama Adit di atas tanah tempatnya berada saat ini.
"Kapan bisa takhluk,tuh, kanebo kering sama aku. Bisa-bisa aku bawa pulang si Bagas betulan ini buat dikenalin ke ibu."
Hembusan napas kembali keluar dari mulut dan hidung Edel.
"Dia lebih suka tidur sama anjing daripada ngobrol sama aku. Masa iya, aku cemburu sama Poni?" ucapnya kesal.
Dalam keputusasaannya, Edel berjalan pelan menuju barak yang menjadi tempat istirahatnya. Kamarnya terpisah dari anggota lainnya karena di posko itu hanya Edel sendiri saja yang perempuan, sisanya, semua laki-laki.
Edel merebahkan badan di atas ranjang militer yang rasanya sama sekali tidak mirip ranjang, jauh dari kata empuk, apalagi nyaman. Namun, karena tuntutan pekerjaannya, Edel harus dapat beristirahat dan tidur dalam kondisi apapun. Merebahkan diri diatas ranjang alakadarnya ini sudah sangat nyaman baginya. Biasanya, jika Edel sedang berpatroli, ia hanya bisa tidur dalam posisi duduk dengan senjata dan tas ransel besar yang menggantung di punggungnya.
Edel membuka laci mejanya dan mengambil sebuah bunga yang sudah layu, berubah warna menjadi cokelat. Bunga kanthil dan melati hasil rampasannya dari roncean sanggul Ira, sang adik saat menikah enam bulan yang lalu.
"Katanya, kalau ambil bunga ini bisa cepet nyusul nikah. Nyatanya, sudah enam bulan jodohnya nggak datang-datang. Malah menjauh, tuh. Ah, apa karena bunganya sudah layu, ya, jadi nggak berkhasiat?" gumam Edel seraya memandangi kantong plastik wrap di tangannya.
"Ealaah, harusnya aku kasih sama calon yang aku incar! Astaga, kenapa bisa lupa, pantas saja usahaku ngejar Kapten Adit layu sebelum berkembang. Harus cepat-cepat diletakkan di bawah bantalnya ini, sebelum bertambah layu!"
Bersambung ....
jut dong thor.. Pnasaran.. Kykx seru jg cerita yg ini
Comment on chapter Permulaan