Pak Bert adalah nama Guru Bahasa Indonesia kami. Ia pernah mengatakan dan menulis nama panjangnya di papan tulis. Bert Gaton Nakula Sadewa Suharso. Ia berkata, “Kalian sungguh beruntung karena kalian boleh memanggil saya Pak Bert, tidak usah menyebut saya dengan nama panjang.”
“Anak-anak, kalian boleh menyontek, tapi kalau sampai ketahuan, kalian harus tanggung akibatnya,” lanjutnya.
Pak Bert adalah orang yang menyuruh seisi kelas membaca Rongg*ng Dukuh Paruk jilid 1, 2, dan 3. Ia yang pertama-tama menjuluki seorang gadis di kelas kami dengan sebutan Ciblek. Ia iseng berdiri di pintu kelas saat kami ujian. Yang sudah selesai duluan boleh pulang. Setiap murid yang melewati pintu dipegang kepalanya satu persatu.
Saat itu, kelas satu dan kelas dua ujian bersama dalam satu ruangan dan tempat duduk mereka diselang-seling agar tidak mudah untuk menyontek. Seorang kakak kelas berkulit putih, bermata sipit, dan berekor kuda selesai mengerjakan soal-soal ujian dan mencoba keluar dari ambang pintu tanpa terpegang dengan menyabet-nyabetkan penggaris plastik panjangnya ke arah Pak Bert. Alhasil, jadilah ia ditekan-tekan kepalanya dengan keras oleh Pak Bert seperti menekan-nekan adonan bakpau saja. Kepala dan lehernya mengangguk-angguk sebatas dada. Sementara itu, murid-murid lain yang tidak melawan cuma dipegang biasa saja kepalanya.
Ketika sebagian murid diharuskan untuk menyepi ke tempat yang sunyi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, Pak Bert yang memimpin. Murid-murid berdatangan ke sekolah. Ada yang berangkat sendiri naik sepeda motor, sepeda, bus, dan jalan kaki kalau rumahnya dekat. Ada yang diantar oleh kedua orangtuanya.
Satu persatu murid masuk ke dalam bus yang sudah disediakan oleh sekolah. Mereka harus menempuh jarak yang cukup panjang dan memakan waktu yang lama karena tempat yang mereka tuju jauh dari kota dan keramaian, suatu tempat yang dekat dengan gunung berapi yang statusnya saat itu masih aman.
Di dalam bus, Lia dibuat terheran-heran dengan seorang gadis berkulit hitam dengan rambut ekor kuda yang terus saja bicara dengan cepat dan tanpa berhenti. Lia heran karena gadis itu kelihatan tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Akhirnya, bus sampai di sebuah wisma yang hawanya teramat dingin sampai menembus daging dan menusuk tulang. Murid-murid memakai jaket masing-masing yang sebelumnya disuruh bawa oleh Bu Guru yang memperingatkan bahwa tempat itu bakalan dingin sekali. Kabut tipis terlihat menyelimuti tempat itu.
Wisma ini besar dan terdiri dari dua bangunan. Yang satu bangunan untuk laki-laki, yang satunya lagi bangunan untuk perempuan. Setiap bangunan dilengkapi dengan satu pintu dan beberapa jendela.
Lia dan teman-temannya memasuki bangunan khusus untuk perempuan. Ia memandang ke bawah. Ternyata tidak ada ubin, hanya lapisan semen saja. Namun, tempat ini kelihatan bersih seperti habis disapu. Di sudut ruangan ada meja pendek dan beberapa kursi pendek untuk tamu.
Setelah melewati satu pintu lagi, mereka mendapati kamar-kamar untuk tidur. Terdapat empat buah ranjang berjajar di masing-masing kamar. Mereka mengambil tempatnya masing-masing dan menaruh tas pakaian mereka di ranjang yang mereka pilih. Lalu, mereka berkeliling dan memasuki kamar-kamar teman mereka satu persatu.
Lia masuk ke sebuah kamar. Terlihat ada tulisan di sebuah ranjang dekat pintu. Lia mendekat dan membacanya. Ia merinding. Isi tulisan itu: Di r*njang ini aku p*srah, Mas. Teman-temannya yang lain mendekati Lia dan ikut membaca tulisan itu.
Sebentar kemudian, mereka sudah antri untuk mandi. Seorang gadis berkulit putih, bermata sipit, dan berambut cepak masuk ke kamar mandi dan tidak keluar-keluar, sementara antrian makin panjang. Temannya menggedor-gedor pintu. Gadis itu berteriak dari dalam kamar mandi. “Aku lagi tidur!”
Akhirnya, setelah semuanya selesai mandi, mereka berkumpul di aula. Murid laki-laki di sebelah kiri dan murid perempuan di sebelah kanan. Pak Bert mewanti-wanti agar tidak ada murid laki-laki yang masuk ke bangunan khusus perempuan dan sebaliknya, karena pernah terjadi kejadian m*sum di sini. Lia jadi teringat tulisan di salah satu ranjang di bangunan khusus perempuan itu.
Saat makan malam tiba. Murid-murid perempuan dipersilahkan mengambil makanan duluan, karena murid laki-laki yang dianggap banyak makannya. Mereka dikhawatirkan akan menghabiskan makanan sehingga murid-murid perempuan tidak akan kebagian.
Sesi berikutnya, ceramah tentang kasih dan kebaikan Tuhan, serta penderitaan sesama. Seorang gadis berkulit sawo matang dengan rambut sebahu terlihat menangis tersedu-sedu.
Ketika harus menuliskan dosa-dosa di atas selembar kertas dan membawanya ke depan untuk dibakar dengan lilin, gadis yang mandinya lama itu terkena lilin. Ia mengaduh kesakitan sambil cepat-cepat menarik tangannya.
Besoknya, Lia dan teman-teman sekamarnya bangun jam tiga pagi untuk mandi karena mereka tidak mau terkena antrian yang panjang sehingga terlambat mengikuti sesi berikutnya.
Sesi demi sesi berhasil mereka lewati dan di hari ketiga, mereka semua boleh pulang dengan diantar bus menuju ke sekolah. Di sana, mereka bisa lanjut pulang ke rumah masing-masing.
Nice story
Comment on chapter Chapter 1