Perploncoan
Lia mengambil langkah seribu. Nafasnya naik turun. Berkali-kali, ia menoleh ke belakang. Para pengejarnya tinggal beberapa langkah lagi. Kakinya terantuk sesuatu yang keras. Sepertinya batu. Tubuhnya oleng ke depan. Ia terjerembab ke tanah.
Para pengejarnya tertawa. Mereka sudah berada di dekatnya sambil memeganginya. Seorang gadis berambut ikal mencubitinya. Yang berkulit hitam menarik-narik rambutnya. Sementara itu, yang berambut keriting menarik turun ritsleting roknya.
Susah payah Lia menahan tangis agar tidak jatuh gengsi. Lalu, tiba-tiba saja, ia sudah mendapati dirinya terbangun di suatu tempat. Rupanya, ia sedang memimpikan masa SMPnya dahulu.
Terdengar suara kucing bertengkar di atas genteng. Suara ribut orang bertengkar bersahut-sahutan di luar kamar. Bau masakan gosong. Lia menemukan dirinya di atas ranjang mungilnya, tanpa selimut. Ia merasa kedinginan. Dipalingkannya wajahnya ke arah jam dinding. Jarum panjang di angka dua belas dan jarum pendek di angka enam. Ia melirik ke arah kalender di sebelah jam dinding. Angka 1995 tercetak besar dan tebal. Di bawahnya tertulis AGUSTUS. Di bawahnya lagi tidak terbaca oleh Lia; terlalu kecil untuk dibaca dari jarak sejauh ini.
Lia tak peduli. Ia bangkit dari ranjangnya. Tiba-tiba, ia ingat bahwa hari ini ia harus hadir di SMAnya yang baru. Bukan SMA favorit, tetapi keren. Ia bersyukur tidak lulus ujian masuk beasiswa ke Singapura yang seluruh tesnya menggunakan Bahasa Inggris. Ia jadi masih bisa berada di tanah airnya tercinta Indonesia dan dekat dengan keluarga.
Tadinya, ia tidak berpikir bahwa akan diterima di SMA ini mengingat berjubelnya siswa-siswi yang mendaftar. Ternyata, ia lolos. Tetangganya yang ia pikir lebih pandai darinya malah tidak lolos. Padahal, pemilihan siswa-siswi berdasarkan jumlah NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi sejumlah empat puluh orang dikali enam kelas.
Lia tersentak dari lamunannya dan segera bersiap-siap. Namun demikian, tetap saja ia kena marah papanya karena terlambat masuk ke mobil. Sementara semuanya menunggu di dalam mobil, ia masuk tanpa berdandan dan sisiran terlebih dahulu. Omelan papanya membuatnya grogi dan kepalanya terantuk keras bagian atas pintu mobil. Seketika itu juga hatinya menjadi kacau dan ia merasa otaknya rusak. Ditambah lagi, hari ini, ia akan menghadapi perploncoan khusus untuk anak-anak yang baru masuk SMA itu.
Benar saja, sesampainya di sekolah, semuanya sudah berkumpul. Setelah berbaris, semua murid masuk ke kelas masing-masing. Seorang kakak kelas perempuan berambut sedagu yang berdiri di depan kelas menjelaskan bahwa besok adik-adik kelas harus mempersiapkan tiga papan nama. Yang sebuah akan ditaruh di meja. Yang dua buah akan dikalungkan dengan tali rafia di leher masing-masing anak; sebuah menutupi dada dan sebuah menutupi punggung. Warnanya harus merah muda, ukurannya tiga puluh kali sepuluh centimeter. Ukuran huruf untuk nama dan kelas juga diatur sedemikian rupa, tidak boleh terlalu kecil atau besar.
Lia dan murid-murid lainnya mencatat semua yang harus dillakukan itu di notes mereka masing-masing. Mereka kalang kabut mempersiapkan semuanya yang harus siap hanya dalam waktu satu hari setelah pulang ke rumah pada hari itu. Namun demikian, besoknya mereka dihukum juga, push up untuk laki-laki dan sekojam untuk perempuan, karena warna merah mudanya meleset dengan contoh yang ditunjukkan oleh kakak kelas. Akhirnya, setiap siswa dan siswi meminta secuil dari kertas merah muda milik kakak kelas itu agar mereka bisa membeli lagi kertas yang warnanya benar-benar sama dan membikin papan nama lagi.
Setelah urusan papan nama beres, kegiatan berikutnya adalah baris berbaris. Siswa dan siswi diurutkan mulai dari yang tertinggi berdiri di depan sampai yang terendah berdiri di belakang. Lalu, kakak kelas memberi aba-aba sambil menggunakan peluit. Setiap kali adik kelas melakukan kesalahan, seorang kakak kelas laki-laki berambut cepak akan berteriak, “B*sok!” yaitu Bahasa Jawa yang artinya adalah “b*suk.”
Lalu, ada seorang siswa laki-laki yang tertawa. Serta-merta, kakak kelas laki-laki itu menyuruhnya push up sepuluh kali. Setelah itu, semuanya diberi kesempatan untuk tertawa, tetapi seorang siswi tidak tertawa. Kakak kelas mengancam akan memberikan hukuman jika kali ini mereka tidak tertawa. Namun demikian, siswi itu tetap tidak mau tertawa. Sebelum menghukum, kakak kelas bertanya, “Kenapa nggak ketawa?”
“Nggak ada yang lucu.” Akhirnya, kakak kelas urung menghukum siswi berambut pendek dan ikal itu.
Satu minggu penuh, baris-berbaris dilakukan. Di hari terakhir, satu persatu murid baru dipanggil untuk diwawancarai di dalam kelas oleh kakak-kakak kelas yang merupakan dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Giliran seorang siswa yang paling suka cengangas-cengenges dan tidak serius, yang mendapat julukan “kancil”, tiba. Ia yang tempo hari tertawa dan dihukum push up sepuluh kali. Ia kelihatan tidak takut kepada kakak-kakak kelas, tetapi begitu keluar dari ruang wawancara, ia terlihat menangis tersedu-sedu, entah apa yang dilakukan oleh kakak-kakak kelasnya. Teman-temannya yakin ia pasti sudah dikerjai habis-habisan oleh kakak-kakak kelas yang kesal padanya.
Sementara itu, ketika giliran Lia tiba, ia hanya ditanyai nama dan disuruh untuk lebih cerewet, karena selama ini ia pendiam sekali. Ia keluar ruangan dengan hati lega, demikian juga yang lain-lainnya, kecuali “kancil.”
Setelah itu, semuanya dikumpulkan di pendapa atau aula, dan disuguhi snack dan teh manis hangat. Tiba-tiba, seorang kakak kelas perempuan berambut sebahu memecahkan segelas teh yang hendak dibagikannya. Teh itu terlepas dari tangannya. Kakak-kakak kelas yang lainnya terlihat marah-marah sampai menakutkan. Mereka mengeluarkan kata-kata keras. Selain membentak-bentak kakak kelas yang ceroboh tadi, mereka juga memarahi siswa-siswi baru yang ada di situ. Bahkan, mereka memanggil beberapa orang siswa dan siswi yang mereka anggap bersalah. Banyak siswi ketakutan dan beberapa menangis.
Akhirnya, kakak-kakak kelas tertawa terbahak-bahak dan berkata bahwa semua itu cuma “prank.” Lalu, terdengarlah lagu “Happy Birthday.” Mereka mengucapkan selamat kepada siswa-siswi yang tadi dipanggil maju ke depan itu. Teman-teman mereka yang lain menyusul menyalami secara bergiliran.
Acara ditutup dengan doa bersama dan seorang kakak kelas yang dikuncir kelabang memberitahu bahwa besok akan diumumkan siapa-siapa saja yang akan terpilih untuk menjadi anggota Tonti atau Peleton Inti, yaitu anggota baris-berbaris SMA Dua. Dua grup yang terdiri dari puluhan siswa dan siswi akan dibentuk, yaitu Tonti dengan anggota perempuan dan Tonti dengan anggota laki-laki.
Setelah hasil pemilihan Tonti diumumkan keesokan harinya, dua orang siswa memilih untuk mengundurkan diri. Sementara itu, seorang siswi pindahan dari Bali yang kalem dan baru masuk sekolah beberapa hari kemudian malah terpilih. Anggota Tonti harus membeli dan mengenakan sepatu khusus yang bisa berbunyi prok prok prok ketika berjalan.
Nice story
Comment on chapter Chapter 1