Terima kasih karena sudah memilih.
Mungkin inilah yang dinamakan jalan.
Kau yang menutup mataku, aku yang mengetuk hatimu.
Sungguh semua tidak terencana, melainkan rencana terbaik dari-Nya
πππ
Lalu lalang manusia memadati sebuah ruangan yang menjadi bagian hotel ternama di pusat kota. Sebuah foto preweding terpajang di depan pintu utama. Orang-orang yang hadir dibuat takjub dengan dekorasi yang dilihatnya. Apalagi bunga asli menjadi permintaan utama dari kedua mempelai
Beberapa rekan kerja dari dua keluarga sampai pejabat juga turut hadir. Sebuah pernikahan mewah yang benar-benar dipersiapkan dengan matang. Tidak ketinggalan beberapa peserta My Way Show yang juga turut hadir. Mereka mengenakan pakaian yang sama sebagai bestman dan bridesmaid.
Para tamu yang baru hadir langsung menuju pelaminan. Pengantin begitu antusias menyambutnya. Senyum tidak pernah luntur dari keduanya. Si pengantin perempuan tampak sangat anggun dengan balutan busana adat Jawa, kebaya putih yang menjuntai. Untuk pengantin pria jangan ditanyakan. Sangat serasi, hanya itu yang bisa dikatakan. Tidak ada yang lainnya lagi.
"Okay, apakah semua sudah siap untuk pelemparan bucket bunga dari mempelai wanita?" Suara pembawa acara membuat mereka yang belum bergabung segera merapatkan barisan.
"Siap!" teriak mereka yang memang sengaja menunggu momen ini.
Barisan bridesmain dalam balutan pakaian berwarna merah maroon membuat suasana semakin semarak. Kedua mempelai membelakangi mereka yang berada di depan pelaminan.
"Siap, ya? Mari kita berhitung," ucap pembawa acara. "Satu, dua, tiii ..., ya, ternyata mempelai pria dan wanita justru turun panggung."
Keduanya berjalan menghampiri sosok laki-laki berjas hitam dengan hiasan bunga anggrek putih yang diselipkan di saku atas. Bucket bunga itu diserahkan dengan perlahan.
Si lelaki berjas hitam itu memeluk mempelai wanita dengan sangat erat dan beralih pada lelaki disamping pengantin wanita. "Titip Mbak Dena, Bang. Jangan sampai kenapa-kenapa. Tahu siapa yang bakal dihadapi kalau dia lecet?"
"Siap. Nggak usah khawatirin dia. Abang malah khawatir Abang yang bakalan lecet duluan," ujar Bang Didi diakhiri dengan tawa renyahnya.
"Cepat kasih sama Yashinta," pinta Mbak Dena sambil menepuk bahu adik bungsunya itu.
Denandra langsung menghampiri Yashinta yang sengaja tidak bergabung dengan para bridesmaid karena ia memilih untuk menemani keluarganya. Sorot mata para tamu langsung terasah pada kedua sejoli ini.
Dengan gerakan perlahan, Danendra menyerahkan bucket bunga indah dari sang kakak. Yashinta menerimanya tanpa mengucap apa-apa. Begitu sudah berpindah tangan, suara gemuruh tepuk tangan mengisi ruangan itu.
Acara masih berlanjut, tetapi Danendra meminta izin pada orang tua Yashinta untuk mengajak putri sulung mereka berjalan-jalan di lantai atas untuk melihat pemandangan malam.
"Ini mau ke lantai berapa, Mas Dan?"
"Paling atas. Pemandangan malam dari sana indah banget. Mbak Yas pasti suka."
Yashinta yang mengenakan dress berwarna maroon dan dilengkapi dengan heels harus berusaha penuh untuk berjalan perlahan. Gaunnya yang menjuntai membuatnya semakin sulit untuk berjalan.
Untung saja, di sebelahnya ada lelaki yang peka dan memberikan lengannya sebagai pegangan. Masih belum juga membantu, Yashinta mengambil ujung gaunnya dan memegangnya. Beruntung ia menitipkan bucket bunga pada sang ibu, jika tidak, kerepotan nasional yang akan terjadi.
Meski begitu, kesan anggun masih saja terpancar dari dirinya. Hal ini pula yang membuat Danendra terpana, ia seperti tidak ingin berpaling dari kekasihnya. Tatanan rambutnya menambah kesan cantik dan anggun.
"Sudah sampai. Di sini agak dingin," ucap Danendra sambil membuka kancing jasnya dan menyampirkannya di bahu kekasihnya.
"Makasih."
"Saya yang ke berapa, Mbak?"
"Pertama, dan semoga yang terakhir."
"Amin. Delapan tahun yang hebat. Benar, sekali lihat langsung suka?" tanya Danendra dengan penuh percaya diri.
"Kagum lebih tepatnya. Kok ada bocil yang ikut kejuaraan panahan, tapi langsung menang."
"Bocil?"
"Kan belum tujuh belas waktu event pertama, saya sudah kepala dua waktu itu. Seperti pengguna boraks itu, awalnya coba-coba, lah kok malah suka? Makin lama mata saya nggak bisa lihat yang lain. Meski agak mustahil menggapai, tapi doa saya tetap sama. Pengin ketemu dulu sebelum nikah."
Danendra menikmati momen berdua kali ini. Ia tidak mengalihkan pandangan dari gadisnya itu. Ia mendengarkan kata demi kata yang seperti hipnotis itu. Padahal pemandangan malam dan gemerlap lampu tidak kalah indahnya.
"Waktu pertama muncul dengan nama akun aneh, saya takut, tapi begitu cek isi DM, isinya memotivasi saya untuk terus maju."
"Iya? Memangnya sering baca DM saya? Saya pikir itu yang pegang akunnya bukan Mas Dan sendiri, ada admin yang pegangin."
"Setiap kata yang Mbak Yas kirim itu menjadi penyemangat sewaktu saya menghilang selama setahun. Itu seperti obat tersendiri. Entah kenapa, hati saya tergerak untuk membaca berulang setiap untaian kata yang Mbak Yas kirim."
Yashinta menatap manik mata Danendra. Ia melihat kesungguhan dari bola mata sang kekasih. Senyum langsung merekah dari bibirnya.
"Tetap semangat, karena patah semangat adalah seburuk-buruknya patah setelah patah hati," ucap Yashinta.
"Itu Mbak Yas kirim setahun yang lalu. Terima kasih untuk tidak pergi saat saya memutuskan berhenti dari panahan."
Danendra meraih tangan Yashinta. Ia menggenggam erat tangan gadisnya yang terasa dingin. Digosoknya perlahan tangan mungil di tangannya. Hingga beberapa saat Yashinta terlena dan meletakkan kepalanya di bahu Danendra.
"Mas Dan nggak kecewa setelah ketemu sama saya?"
"Nggak pernah ada rasa itu."
"Tapi fans yang lain agak-agak. Saya nggak cocok untuk Mas Dan." Yashinta mengadu pada kekasihnya karena ulah fans yang membawa jarak usia dari keduanya.
"Abaikan saja."
"Katanya saya tua, loh."
Danendra menoleh dan memegang pipi Yashinta. "Mbak Yas itu tidak terdefinisikan."
"Absurd maksudnya?"
Lelaki dengan kemeja dan dari berwarna biru itu langsung menghela napas mendengar ucapan kekasihnya itu. Sependek itu pemikiran Yashinta.
"Mbuhlah! Pokoknya kalau ada omongan macem-macem, tutup telinga, tutup mata, ikuti hati saja lah."
Yashinta mengangguk. Ia memeluk lengan sang kekasih dan meletakkan kembali kepalanya di sana. Sorot mata keduanya lurus ke depan menikmati suasana malam yang semakin indah dengan taburan bintang di langit.
"Mas Dan," bisik Yashinta perlahan."
"Hm."
"Makasih sudah nutup mata saya waktu itu."
"Mbak Yas," balas Danendra dengan suara yang juga lirih.
"Iya?"
"Makasih sudah ketuk hati saya dan hadir melalui tulisan ketika saya butuh dukungan."
Binar mata sepasang kekasih itu benar-benar tidak bisa dihindari. Kebahagiaan yang ditunggu selama ini benar-benar hadir. Untuk kali ini saja, Danendra benar-benar lega dan bersyukur akan kehidupan yang dijalani saat ini.
Begitu juga dengan Yashinta, baginya, tidak ada hal yang lebih ampuh dari doa. Ada usaha yang dilakukan, maka ada hasil yang didapatkan. Semua akan sesuai dengan apa yang sudah dilakukan. Tidak akan ada khianat yang terjadi.
"Mas Dan," bisik Yashinta sekali lagi.
"Iya?"
"I love you more than 2922." Yashinta berbicara kemudian menghadiahkan sebuah kecupan di pipi idolanya sekaligus kekasihnya.
"Kok nggak sampai 3000?"
"Karena sewindu nggak sampai 3000 hari," balas Yashinta.
Danendra tersenyum mendengar jawaban kekasihnya. Ia kemudian merangkul Yashinta dan mengecup mesra kening kekasihnya itu. Malam mungkin akan berganti menjadi siang, tetapi jalinan kisah mereka tidak akan pernah terganti.
πππ