Aku baru menyadari bahwa takdir memang begitu dahsyat.
Tidak diduga, tidak disangka.
Terkadang, takdir seperti mempermainkan,
tetapi akhirnya mampu menunjukkan jalan terbaiknya.
πππ
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama. Padahal, lokasinya tidak terlalu jauh. Ditambah lagi dengan macet karena kegiatan perbaikan trotoar di beberapa titik jalan utama. Hal ini membuat Yashinta tidak bisa tenang.
Ia meremat kedua tangannya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Sesekali tetesan bening jatuh membasahi pipinya. Danendra yang paling tidak tahan melihat seorang wanita menangis menjadi serba salah.
Lelaki dua puluh empat tahun itu mengambil tisu dan menyodorkannya pada Yashinta. Ia juga mengambilkan air mineral yang tersedia di belakang kursi Pak Aji. Begitu tutup botol telah terbuka, Danendra menyodorkan botol air mineral pada Yashinta.
"Mbak Yas tenang dulu. Bapak sudah bilang kalau Ken baik-baik saja dan sudah di perjalanan."
"Ken bandel kalau diberi tahu, sudah dibilang kalau mau bawa motor tunggu punya SIM. Kalau sudah begini? Gimana? Memangnya manusia ada toko onderdilnya buat ganti?"
Danendra yang mendengar ocehan Yashinta ingin tertawa, tetapi tidak tega juga. Ia memilih untuk menelepon Bang Didi dan memintanya menyusul ke rumah sakit. Setelahnya, ia menghubungi satu orang lagi yang dirasa penting.
"Halo, Mbak Gita ada jam jaga di IGD?"
"Hai, Bontot. Iya, hari ini jadwal jaga. Kenapa? Ada yang sakit?"
"Sebentar lagi ada pasien rujukan dari Puskesmas daerah. Pasien remaja yang patah kaki karena kecelakaan. Minta tolong kalau Endra belum sampai, Mbak Gita bantu urus dulu, ya? Sekalian sama dokter orthopedi kenalan Mbak Gita. Urusan lain-lainnya nanti sama Endra, Mbak."
"Siap. Ini pasiennya keluarganya Endra atau bagaimana? Mustahil kalau sekadar kenalan, tapi dapat perhatian khusus."
"Adiknya Mbak Yas, Mbak. Itu sama ayah dan ibunya yang nemenin. Bentar lagi Endra sampai sama Mbak Yas."
"Siap. Nanti Mbak bantu sebisanya."
Padahal tanpa diminta pun sudah seharusnya Mbak Gita melaksanakan tugasnya. Hal ini seperti sebuah penegasan saja bahwa Ken akan aman dan mendapatkan perwatan sekaligus menjadi penenang untuk Yashinta.
Sambungan telepon diputus, Danendra kembali menatap Yashinta yang kini tertunduk sambil memperhatikan kedua tangannya tertaut.
"Mbak Gita yang jaga di IGD RS Harapan Hati. Semoga dipermudah semua urusannya dan Ken bisa segera sehat."
Yashinta sedikit kaget ketika kedua tangannya yang tertaut itu disentuh dan digenggam oleh Danendra. Sensasi hangat tangan sang idola bertemu dengan tangan dingin milik Yashinta. Karena saking takutnya, tangan gadis berambut cokelat itu mendadak seperti habis direndam air es. Danendra terus saja mengusap tangan Yashinta. Berharap tangan dingin itu kembali menghangat.
"Mas dan Mbak Yas turun di sini saja, ya. Biar saya cari parkiran. Nanti saya nyusul ke dalam," ujar Pak Aji memecak keheningan.
Tangan yang tadinya bertaut akhirnya terpaksa dilepas karena interupsi dari Pak Aji. Keduanya pun bersiap menuju ke IGD. Begitu keduanya turun, bersamaan dengan itu sebuah ambulans datang dan berhenti di depan pintu IGD.
Yashinta yang melihat sang ayah turun dari ambulan kemudian disusul oleh sang ibu langsung berlari dan meninggalkan Danendra yang tengah sibuk membenahi topinya.
"Yah!" panggil Yashinta sambil berlari dan menubruk tubuh ayahnya.
Si gadis kemudian beralih pada sosok yang berada di atas brankar. Begitu brankar sudah di bawa masukl, tampaklah si bungsu kesayangan Yashinta itu tengah berbaring dengan perban yang menempel di pelipis. Mata Yashinta seketika memindai kondisi adiknya dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Kaki sebelah kanannya diapit dua bidai sama panjang yang terikat erat dengan perban panjang berwarna cokelat. Beberapa goresan luka memanjang menghiasi tangan kanan remaja lelaki itu.
"Mbak kan sudah bilang kalau mau motoran tunggu sudah punya SIM. Kamu ini nggak mau dengerin, Ken. Ada aja kelakuanmu." Yashinta menepuk perut adiknya karena kesal. Meski begitu, ia masih menahan tangisnya supaya tidak pecah.
"Aw, sakit, Mbak. Itu perut juga ada yang baret."
Mendengar ucapan sang adik, Yashinta langsung mengangkat kaos cokelat yang dikenakan Ken. Di situ terdapat kulit yang mengelupas. Seketika Yashinta langsung meringis melihat luka sang adik.
"Makanya dengerin Ayah sama Ibu. Mbak jauh dari kamu buat bantu biaya sekolah. Kamunya malah nggak mau dengerin. Kalau sudah begini, siapa yang sakit?"
"Aku lah. Yaa masa Mbak Yas yang ngerasain sakit?"
"Jawab aja kalau sudah dibilangin, harusnya itu ...," ucapan Yashinta terpotong karena kehadiran Danendra yang langsung menegurnya.
"Mbak Yas, Ken masih sakit. Jangan dimarahin terus."
"Whoa, pacarnya Mbak Yas? Ini bukannya Mas Artis yang lagu naik daun, kok ...,"
Belum juga Ken selesai berkomentar, tangan Yashinta lebih dulu membekap mulut adik bungsunya itu. Selesai membekap satu, datanglah sang ibu yang hendak berteriak juga karena melihat sosok jenjang berada di bilik putra bungsunya dirawat.
"Nggak usah teriak, nanti malah cari perhatian, Bu." Yashinta memperingati sang ibu yang sudah ancang-ancang dan menampakkan wajah kaget.
"Permisi, kami cek kondisi pasien, setelah itu langsung tindakan rontgen, ya?"
Suara yang sangat familiar di telinga Danendra. Begitu menoleh, benar. Wanita dengan jas putih itu adalah Mbak Gita.
"Gimana, Mbak?" tanya Danendra.
"Tadi pendamping dari puskesmas sudah kasih laporan, ini langsung tindakan. Keluarganya bisa lanjut urus administrasinya."
"Biayanya kira-kira berapa?" tanya ibu Yashinta.
"Biar Yas yang urus administrasinya. Ibu sama Ayah nemenin Ken saja," pinta Yashinta dan langsung menarik tangan Danendra.
Sang idola hanya mampu mengucapkan permisi pada Mbak Gita dan kedua orang tua Yashinta. Padahal ia belum memperkenalkan dirinya secara langsung. Keduanya langsung menuju ke meja administrasi.
Baru saja merapat dan bertanya pada petugas, Bang Didi tiba-tiba muncul dengan napas yang terengah-engah. "Gimana kondisi adiknya, Mbak Yas?"
"Lagi penanganan, ini mau urus biaya administrasi."
Petugas di balik meja kini mengetik sesuatu dan mulai mencetak selembar kertas berisikan rincian biaya yang harus dibayar di awal. Yashinta langsung merosot ketika melihat nominalnya.
Danendra dengan sigap membawa Yashinta untuk duduk di kursi tunggu dan berusaha menenangkannya. Apalagi ketika Danendra melihat Yashinta membuka aplikasi m-banking dan memperlihatkan jumlah tabungan gadis berambut cokelat itu.
Ketika Yashinta lengah, Danendra mengambil lembaran rincian biaya dan memberikannya pada Bang Didi. Dengan perintah tanpa suara, sang idola memintanya untuk mengurus semuanya.
"Mas Dan. Saya pinjam uangnya dulu, Ya? Nanti dibayar dengan kerja saya. Nggak apa-apa semisal nanti bayarnya seumur hidup, yang penting lunas. Saya nggak mau berutang."
"Iya, nanti saja dibayarnya. Nggak apa-apa. Ada hak Mbak Yas juga di situ. Jangan khawatir, yang penting Ken sembuh dulu, Mbak."
Bang Didi kembali ketika seluruh urusan administrasi selesai. Ketiganya kemudian menuju ke bilik tempat Ken mendapat perawatan lanjutan. Selama belum mendapat kamar, pendamping pasien menempati ruang tunggu yang disediakan.
Danendra kemudian memperkenalkand dirinya. Meski sedikit menarik perhatian beberapa pengunjung, mereka berhasil meredamnya dan mengatakan untuk tidak berbuat gaduh di rumah sakit.
Ken akhirnya mendapatkan kamar. Kedua orang tua Yashinta pamit untuk melaksanakan salat terlebih dahulu ditemani oleh Bang Didi sambil nanti mencari makanan sepulang salat. Sementara Ken dipercayakan pada Danendra dan Yashinta.
"Nggak biasanya Mbak Yas bawa teman cowok. Ini Mas Endra mau jadi kakak iparku?" tanya Ken pada Danendra yang menemani dan duduk di samping brankarnya.
"Ken, mulutnya bisa diam?" Yashinta menghela napas ketika mendengar ucapan sang adik.
"Dengan sikap yang sadis begitu, Mas Endra mau sama Mbak Yas? Pikir-pikir, deh, Mas."
"Ken! Atau mau Mbak kuncir mulutmu?" Yashinta membawa tali rambut hitam miliknya dan mendekatkan pada bibir sang adik.
"Ken kasih tahu, ya? Kalau Mas Endra nyari pacar, cari yang anak bungsu. Biar bisa manja-manja. Kalau Mas Endra dapatnya anak perempuan pertama, percaya dah, kelar hidup Mas Endra. Mbak Yas contohnya. Kurang sadis apa coba?"
Yashinta urung mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Ia hanya menatap tajam ke arah sang adik. Begitu saja, nyali Ken mendadak ciut dan langsung melipat bibirnya. Tangan yang terbebas dari selang infus diangkat dan membentuk huruf v.
"Ken sayang Mbak Yas. Mbak Yas cantik, Mbak Yas baik," imbuhnya.
Selesai melihat pertengkarang dua kakak-beradik itu, Danendra menjadi sadar. Interaksi keduanya sama persisi seperti ia dan sang kakak, Denada. Sang kakak yang keras, tetapi sayang dan selalu mendukung pada setiap keputusannya.
Danendra masih setia menemani Yashinta, ia melihat tangan Yashinta terus mengusap kepala sang adik sampai terlelap. Ken sudah tertidur karena pengaruh obat. Dan seperti yang diberitahukan, operasi pemasangan pen akan dilakukan nanti malam.
Lelaki dengan garis rahang yang tegas itu menarik Yashinta untuk duduk di sebelahnya setelah memastikan Ken benar-benar tidur.
"Saya tahu ini nggak tepat, tapi apa boleh saya bertanya?"
"Mas Dan mau tanya soal apa? Kalau soal uang nanti saya bicarakan sama Ayah."
"Bu-bukan, bukan itu. Hm, Mbak Yas, Calon_Istri_MasDan itu doa, harapan, atau memang cita-cita?"
Yashinta menoleh pada Danendra. Seluruh darah yang mengaliri tubuhnya seperti berhenti. Mendadak ia merasakan wajahnya seperti memucat.
"Da-dari mana Mas Dan tau?"
"Saya pandai dalam mencari tahu. Masih maukah jadi Calon_Istri_MasDan?"
Masyaallah tabarakallah. Ibu, ibu, ibu. Gimana ini? mimpikah?Mimpikah? Jawaban apa yang harus diberikan? Apa? Apa?, batin Yashinta sambil menatap Danendra seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
πππ