Gue cuma bisa menghela napas sewaktu Kinan tiba-tiba datang dan menangis sesenggukan. Awalnya gue kaget banget. Sampai gue mengira mitos hantu siswi berseragam Russelia yang berseliweran di sekitar lorong sini bukan sekadar gosip.
Ada yang bilang sebenarnya itu Mbak Kunti yang menyamar jadi murid sini. Bisa jadi sih. Hah, kenapa otak gue jadi sempit gini sih? Ya, walaupun pas-pasan, tapi tetap saja nggak sedangkal comberan.
Sambil gue melihat Kinan yang masih berbunyi, "ngik, ngik," gue cuma melahap roti yang Emak bekalin tadi pagi. Sampai Kinan tersadar dengan keberadaan gue.
"Ha! Kenapa lo ada di sini?" tunjuknya.
"Harusnya gue yang nanya kali. Gue duluan yang ada di sini," cibir gue.
"Tadinya gue mau ke Music Room, tapi rame di sana. Aduh, kenapa sih lo harus ngelihat gue nangis?" gerutunya.
"Mau main keyboard?"
"Kok lo tahu sih?"
"Gue pernah lihat lo main. Kan ini sarang gue. Kan lo pernah gue ajak ke sini."
Kedua mata Kinan membelalak. "Oh, jadi lo yang pernah ngintip waktu itu? Gue sampe takut, kirain gue hantu."
Ya, sebenarnya yang patut diberi label penunggu atau hantu lorong di sini adalah gue. Bukan Mbak Kunti yang dituduh menyamar atau apa lah.
Sampai si Gamal bilang, "Mungkin penyebab lo jomlo, karena lo ketempelan Mbak Kunti di lorong itu, man. Lagian sih lo bertapa mulu. Kayak gue dong, menjelajahi Russelia. Ke lantai tiga gitu, biar dedek-dedek emesh kelas X kenal sama Kak Gamal yang eksotis ini." Padahal dia sendiri jomlo akut. Masih mending gue punya harga diri.
"Eh, berarti lo ngedenger gue nyanyi waktu itu? Aduuuhh! Jangan-jangan lo ngerekam gue diem-diem lagi?!" tukas Kinan.
"Dih, Anjelo. Heh, Kampreto! Nggak ada untungnya juga gue ngerekam lo. Kalau di-upload di YouTube, paling viewers-nya cuma satu biji. Ya, orang yang nge-upload itu."
Kinan mengerutkan keningnya. "Anjelo? Kampreto? Kenapa sih lo pake bahasa planet? Itu lagi pake jepitan rambut cewek di poni. Lo belok ya?"
"Heh, Begonia! Seenaknya nuduh orang. Gue tadi nemu jepitan orang jatoh. Gue pake biar poni gue nggak ngehalangin mata gue."
"Yeee ... emangnya gue taneman! Lagian tuh poni sengaja dipanjangin ya? Biar nggak kelihatan kalau lo tidur."
Gue cuma mengangkat kedua alis. "Tadinya gue mau ngelukis gambar mata buat nutupin kelopak mata gue. Sayang banget gue enggak jago gambar."
"Anjelo, kampreto." Lalu Kinan terkekeh sendiri. "Lo aneh," komentarnya.
"Soalnya gue males diceramahin sama Emak. 'Ray, kamu nggak boleh ngomong kasar. Dosa lho. Nye, nye, nye.' Makanya gue plesetin aja."
“Eh, tapi malaikat tetep catet niat lo. Emang lo kira malaikat bisa dikadalin?”
“Dasar, Mamah Dedeh.”
“Lo juga kenapa manggil orangtua lo Emak dan Bapak’e?”
“Kok jadi wawancara gue sih?” Gue berdecak. “Emak itu dari Cirebon. Bapak’e orang betawi. Terus gue balik aja panggilan mereka. Biar Emak sekali-kali ngerasain jadi orang betawi dan Bapak’e jadi orang Cirebon.”
“Aneh lo.”
Lalu gue melempar satu roti yang mendarat di atas pangkuannya. "Makan tuh. Jangan nangis mulu. Drama banget hidup lo."
"Thank's. Bukan gue yang drama." Kinan merobek bungkus roti dan melahapnya dengan cepat. Seakan roti pengganti samsak pelampiasan emosi.
"Kenapa? Davina lagi? Yeuh. Lagian lo kenapa bisa berurusan sama dia?" Kemudian gue menyesal sudah bertanya tentang itu.
Dari cerita Kinan saja, gue sudah merasa drama banget. Memang ya cewek itu rumit. Perkara iri dan dengki aja sampai bertahun-tahun. Lo itu ada di sarangnya Davina, ngerti nggak sih?! Lo nggak bakal menang!
Akan tetapi gue cuma diam dan sok manggut-manggut seakan terhanyut dengan cerita Kinan. Gue tahu kalau gue memberi masukan, pasti ditolak mentah-mentah. Cewek kan gitu, sok curhat. Terus nanya, "Gimana dong?" Eh, pas dikasih masukan yang logis, malah ngamuk.
"Ah, gue sebel sama Miss. Deli juga. Lo ngerasa nggak sih, kalau dia tuh sok bijak? Gue juga ngerasa selama ini kalau ada kasus bullying, paling orang yang nge-bully cuma dapet hukuman detention yang ringan. Dia tahu nggak sih kalau orang kayak gue, yang nggak bayar sekolah full, anak-anak yang nggak populer, suka merasa dikucilkan?"
Gue menghela napas. "Iya, gue paham. Tapi seenggaknya lo pernah menang olimpiade. Mereka nggak bakal mandang lo dengan rendah."
"Kata siapa?" Kinan buru-buru menyergah perkataan gue. "Iya, gue nggak diremehin sampai tahun lalu, saat gue gagal olimpiade. Dulu setiap Davina berusaha ngusik gue, anak-anak ngelihatnya kalau dia yang iri sama gue. Jelas, pas kita olimpiade bareng waktu SMP, dia yang kalah. Sekarang? Orang-orang malah melihat gue dengan pandangan, 'You are so pathetic, Kinan.'"
"Buat orang yang nggak pernah menang lomba apa-apa, gue enggak bakal ngerti gimana posisi lo. Tapi soal dikucilkan, bukan lo sendiri. Makanya gue sengaja nggak bergaul sama anak-anak Russelia, biar enggak ribet. Lebih baik orang-orang nggak kenal gue, daripada gue kena drama kayak lo sama Davina."
Kinan memosisikan duduknya menghadap gue. "Tapi lo masih temenan sama Gamal."
"Ya, lo lihat sendiri Gamal orangnya slow."
"Tapi, tapi, ayah lo kan—"
"Kaya?" sela gue. "Lo tahu nggak sih, di sekolah ini orang-orang tahunya dia itu ayahnya siapa?"
"Bunga," ucap Kinan hampir seperti berbisik.
"Yup! Jelas, siapa yang percaya gue anaknya Bapak'e? Tiap hari kerjaannya ngangkot, kalau nggak motoran. Sedangkan si Bunga bangkai yang tiap hari berseliweran pake BMW."
"Sori."
Gue melihat Kinan tertunduk. "Sori kenapa?"
"Gue curhat seolah beban gue lebih berat dari lo.”
Lalu gue terdiam dan …, “Sini tangan lo!”
Kinan mengernyitkan dahi, tapi dia mengulurkan tangannya.
Gue memberikan jam tangan gue. “Pake itu. Eit, tapi itu pinjam ya, bukan hadiah buat lo. Seenggaknya hidup lo bakal tenang dan Davina nggak ngeremehin lo lagi.”
“Eh, tapi gue takut rusak! Gue nggak berani pake barang mahal! Lagian ini jam tangan cowok.”
“Tenang aja, itu jam tahan air dan udah pernah jatuh, tapi masih awet. Gue juga masih ada di rumah. Bapak’e sering ngehadiahin jam tangan tiap gue ulang tahun.”
Kedua mata Kinan berkaca-kaca.
“Jiah! Jangan nangis lagi napa! Awas, kalau lo nangis lagi!”
Kinan mengusap air matanya dan mengangguk. Lucu banget. Nurut kayak kucing tetangga gue. Imut. Apa?! Gue pasti lagi nggak sehat!
“Terus kirim rekening lo buat transferan uang privat. Nanti pas istirahat, lo harus ngajarin lagi.” Gue bangkit dari duduk.
Kinan berlari mengejar gue dan menyejajari langkah gue. Kita berdua nggak banyak bicara selagi berjalan dari gedung satu ke gedung dua. Sebenarnya dua gedung ini bersambung. Kebetulan sama-sama di lantai empat, jadi kayak nggak berasa beda gedung.
Tiba-tiba aja Kinan menyentuh bahu gue sewaktu kita sampai di lorong dekat deretan kelas XI.
"Gue mau balikin jaket lo. Sebentar." Kinan berlari ke arah lokernya di depan kelas. Sedangkan gue berjalan melewatinya begitu aja. Sengaja banget gue, biar dia yang mengejar-ngejar gue.
"Ih, gue bilang kan tunggu! Nih, makasih ya. Udah gue cuci, wangi nih!" serunya.
"Ya, kali nggak wangi. Gue nggak bakal sudi minjemin lagi."
Kinan hanya terkekeh dan melambaikan tangan.
Sebenarnya gue mau bilang sesuatu ke dia. Ah, bilang nggak ya? Nanti dia tersinggung, nggak?
"Oiii!" teriak gue.
Untung Kinan menengok ke arah gue. Meskipun dengan wajah ditekuk. Jelas aja, gue baru manggil dia kayak manggil tukang asongan. Akhirnya gue berjalan mendekatinya.
Lalu gue berdeham sebelum gue berbicara. "Em ... lo mau nggak ...."
"Eh, maaf gue potong. Lo nggak lagi mau nembak gue, kan?" Kinan menyipitkan sebelah matanya.
Memang salah gue sih. Dari cara gue berbicara, sudah kayak orang grogi mau menembak cewek.
"Gue masih waras kali." Gue kembali berdeham. "Gimana kalau privatnya di hari Sabtu dan Minggu juga? Di café-nya Om Brian. Khusus untuk dua hari itu, gue bayar dua kali lipat. Biasanya kalau privat datang ke rumah kan lebih mahal. Habis itu kita bisa lanjut les sama Om Brian.”
Kinan mengerutkan dahinya. "Pagi ya? Yah, kalau Sabtu gue paginya ada ngaji. Cuma dari jam delapan sampe jam sembilan doang sih."
"Lo ngaji? Emang pengajian ada yang pagi-pagi ya? Setahu gue yang pagi-pagi itu buat ibu-ibu. Kalau buat anak-anak, biasanya sore." Gue tahu soalnya Emak suka datang di pengajian. Rumah gue sama Kinan kan nggak terlalu jauh.
"Gue ngajinya di tempat kursus. Di ruko perumahan Lake House itu lho. Gue ambil satu hari lagi di weekday sepulang sekolah. Makanya gue padet banget. Satu hari kursus ngaji, dua hari ekskul, terus dua hari lagi belajar sama Om Brian," terang Kinan.
Gue manggut-manggut. "Cafenya buka jam 10 kok."
Di saat gue masih mengobrol dengan Kinan, gue melihat satu cowok mengawasi ke arah kita. Ya, si cowok yang jago wushu itu. Cowok yang menahan tangan Davina sewaktu Kinan hampir ditampar. Wuih, keren! Tumben-tumbennya gue ingat kejadian nggak penting kayak gitu.