"Ini kenapa?" tanya dokter yang menjaga klinik.
"Cedera waktu pemanasan wushu, Dok. Terus tambah parah sama ...," gue melirik Kinan yang berdiri di samping.
Sebelum kita sampai klinik, Kinan menarik tangan gue yang keseleo. Parah emang tuh cewek. Padahal gue cuma nebak doang. Soalnya kenapa coba dia mengejar-ngejar gue selama ini kalau bukan naksir? Emang sih dia ngakunya kepingin jadi tutor belajar gue, tapi bisa aja tuh cewek modus mau pedekate sama gue.
"Bisa minta tolong ambilin es batu di kantin? Harus dikompres soalnya," kata dokter kepada Kinan.
"Bisa, Dok." Kinan pun keluar klinik. Sementara gue berbaring di salah satu kasur yang berbalut sprei putih.
"Kenapa nggak pake krim untuk pereda nyeri, Dok?" tanya gue.
"Krim pereda nyeri itu panasnya malah memperluas pembengkakan. Harus dikompres pake es batu," jawab dokter.
Hampir aja ponsel gue jatuh ke wajah. Gue menunggu Kinan sambil main ponsel pakai tangan gue yang nggak sakit. Terus tahu-tahu aja pandangan gue mengabur, karena ngantuk.
Dia datang terengah-engah sambil membawa plastik kecil berisi es batu. Gue baru ingat kalau kantin ada di gedung dua, lantai empat. Sedangkan kita ada di gedung satu, lantai satu. Agak terharu sih.
Dokter segera mengompres gue setelah menyiapkan handuk dan baskom kecil. Tangan dan kaki gue dikompres selama dua-tiga menit dan dilakukan berulang kali. Sebenarnya bagian kaki nggak terlalu parah sih.
"Bisa istirahat dulu. Kalau udah mendingan, bisa langsung pulang," ujar dokter yang kemudian keluar dari klinik.
Gue melirik ke arah Kinan yang duduk di atas salah satu ranjang di seberang gue. Dia lagi buka buku dan sibuk mengerjakan soal. Buset dah, rajin banget tuh orang. Masa ada orang serajin itu. Gue aja udah capek sekolah dari pagi sampai sore.
"Lo kalau mau pulang duluan, pulang aja. Thank's udah nolongin gue," ucap gue.
"Cuma terima kasih?" sahutnya dan menghentikan kegiatan menulisnya.
"Terus mau lo apa?"
"Lo kan tahu apa mau gue."
"Ternyata pamrih juga ya lo," sindir gue.
"Di dunia ini mana ada sih yang gratis?" Dia mengedikkan bahu.
"Kalau gitu, lo juga nggak gratis. Sebelum lo jadi tutor gue, lo harusnya kan interview gue. Masa seorang guru privat nggak mempelajari background muridnya?” Gue ngarang aja padahal.
"Ya kan, gue udah nolongin lo!" serunya. Dia menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam ransel. “Interview-nya gratis lah.”
Eh, dia percaya coba. Ternyata murid pintar sepolos itu ya.
"Oke, kalau gitu satu pertanyaan. Selanjutnya ada tarifnya."
"Dua pertanyaan. Gue capek tahu, lari-lari ke kantin di lantai empat," protesnya.
"Oke."
"Lo mau kuliah di mana?" tanyanya.
"Di Jerman."
"Lo apply ke banyak univ? Atau ke negara lain juga? Soalnya gue lihat kayaknya lo bikin lebih dari satu personal statement."
"Wah, itu pertanyaannya lebih dari satu." Gue mengacung-acungkan telunjuk ke arahnya. "Tapi karena gue baik, gue kasih tahu. Buat ke UK juga."
Belum sempat Kinan berbicara, gue udah nimpalin dia. "Eit, selanjutnya bertarif."
"Gue traktir lo minuman!"
"Deal!"
Kebetulan kaki gue udah mendingan, jadi gue ajak dia keluar dari klinik. Tangan masih agak cenat-cenut. Kalau parah, palingan nanti pergi ke tukang urut dekat rumah.
"Gue traktir minuman di depan perumahan aja ya. Di cafe sekolah mahal," ujarnya saat kita melewati cafe yang biasa disinggahi para wali murid yang menjemput anak-anaknya. Letaknya dekat dengan parkiran di depan lapangan outdoor.
"Yah, nggak modal banget lo," cibir gue.
"Lo emang sengaja mau morotin gue ya?"
Gue cuma mengangkat bahu. Dari tadi gue perhatiin, si Kinan kayak orang linglung. Nengok kanan dan kiri. Depan dan belakang.
"Lo buronan ya?" tanya gue.
"Hah? Kok bisa?"
"Dari tadi kayak takut ketahuan polisi."
"Yeee ...! Gue lagi nyari si Dayana. Dia udah selesai latihan belom ya? Takutnya nyariin gue. Ya udahlah, nanti gue suruh dia ketemu di depan."
Akhirnya kita berdua sampai di kedai minuman kecil. Walaupun kecil, tapi laris manis. Enak dan murah. Benaran enak sih pas gue seruput. Kinan beliin gue milkshake cokelat. Kebetulan letak kedai minumannya di seberang pintu masuk perumahan. Gue ajak Kinan menyeberang lagi sekalian nunggu angkot lewat.
"Ya udah, lo mau nanya apaan?" tanya gue.
Gue nggak terlalu dengar dia ngomong apaan. Sampai ada angkot lewat dan gue melambaikan tangan.
"Eh, itu ada Dayana!" Gue nunjuk ke arah pintu masuk perumahan. "Tadi gue lihat dia mau ngejar lo."
Kinan langsung berjalan menuju pintu masuk perumahan. Terus gue buru-buru masuk ke dalam angkot.
"Woy! Jangan kabur lo!" Teriakannya sangat membahana.
"Bang, jalan, Bang!" teriak gue.
"Lho, si Enengnya nggak diajak?" tanya Abang sopir.
"Nanti saya bayar dua kali lipat, Bang. Buruan!"
"Wokeh!" Abang sopir pun menancapkan gasnya.
Gue melambaikan tangan ke arah Kinan yang disambut oleh jari tengahnya. Semoga dia kapok mengikuti gue. Hidup gue tenang sekarang.
***
Ternyata dugaan gue salah. Gue udah menyangka kalau berangkat sekolah terlalu pagi itu nggak baik. Gue jadi ketemu orang rajin yang gue hindari.
"Rayi Baskara!" Teriakan Kinan membuat bulu kuduk gue berdiri.
Gue langsung pasang kuda-kuda buat lari. Eh, dia mengejar gue juga. Gila tuh cewek, kuat juga larinya. Dia mirip banget kayak kutu yang loncat-loncat dengan badan kecilnya. Sial, sial, sial!
Semua murid yang kena senggolan gue sewaktu naik tangga pada menyumpahi gue dengan ribuan makian. Bodo amat! Gue lagi dikejar sama dendam Nyi Pelet, tahu nggak?!
Sampai di lantai empat, gue nggak masuk ke kelas. Gue jalan terus melewati kelas gue menuju toilet untuk pria. Gue baru bisa bernapas lega. Kinan pasti nggak bisa masuk ke sini, kecuali dia mau dicap sebagai cewek mesum.
Sial! Bau banget nih toilet! Perasaan belakang sekolah nggak ada tempat pembuangan sampah umum. Nnggak lama kemudian gue mendengar suara flush toilet yang berasal dari salah satu bilik yang tertutup. Nggak jauh dari wastafel tempat gue berdiri.
"Mal, lo di dalem?" tebak gue.
"Yoi, man. Kok lo bisa tahu?" sahutnya.
"Siapa lagi yang suka boker di jam yang nggak pas? Bau banget, gila!"
"Sori, dude, habis pesta jengkol semalem. Nyokap bikinin jengkol balado. Legit banget. Sengaja gue berangkat pagi, biar bisa berak di sini. Kalau di rumah, pasti gue telat."
"Bodo amat! Untung ini toilet cowok. Kalau toilet cewek, itu keponakannya Bu Liana yang punya sekolah bakal protes. Toilet sekolah elit berubah jadi kayak toilet terminal."
Lalu pintu toilet terbuka. Muncul Gamal yang sedang membenarkan celana pramukanya.
"Davina? Dia bukannya lagi sibuk olimpiade? Lagian ada yang bersihin toilet, man. Nggak usah lebay." Gamal mencuci tangannya di wastafel samping gue. Dan menyisir rambutnya dengan tangan yang udah dibasahi. Dih, mau dicipratin pake air zam-zam pun, tampang dia nggak bakal berubah.
"Lagian, lo ngapain di sini? Kangen aroma khas gue?" Gamal tertawa terbahak-bahak.
"Najis! Gue dikejar-kejar Mak Lampir."
"Siapa sih?" Gamal berjalan menuju pintu keluar. Lalu dia balik lagi ke dalam. "Ada cewek mondar-mandir di depan kelas. Itu yang ngejar lo?"
Gue mengangguk.
"Cool, man! Naik derajat lo. Bukan Miss. Deli lagi yang ngejar lo, tapi cewek angkatan kita." Kedua matanya berbinar, seolah gue baru aja melakukan amal baik.
Memang Miss. Deli sering memanggil gue akibat laporan beberapa guru perihal gue suka tidur di kelas.
"If you need a motivation, please let me know," katanya gitu.
Bukan motivation, Miss. Tapi gue memang ngantuk aja. Eh, dia malah ngamuk sewaktu gue jawab gitu.
Setelah gue merasa aman, apalagi bel masuk udah bunyi, gue keluar dari toilet.
***
Ah, males banget gue. Padahal sengaja gue cuekin pesan dari Bapak'e. Eh, asistennya malah muncul di depan pintu.
"Ditunggu sama Papa di cafe depan," ucap Bunga.
"Papa? Siapa tuh?" Gue jalan aja dan enggak sengaja menyenggol dia. Habis dia menghalangi jalan.
"Gue disuruh jemput lo." Bunga masih aja mengejar gue. Apa-apaan sih dunia ini? Cewek-cewek hobi mengejar gue.
Kalau ada Gamal, pasti dia bakal bilang, "Lo harusnya beruntung, man."
"Bukannya lo seneng kalau gue nggak ngusik kehidupan kalian?" sindir gue.
"Tapi Papa minta ngajak lo. Kita mau makan di Lippo," bisiknya.
Mungkin dia nggak mau ada anak sekolah ini yang tahu hubungan kita. Emang nggak ada yang tahu. Eh, tapi jangan mikir yang nggak-nggak ya!
Jadi Bapak'e itu sejak cerai sama Emak, nikah sama janda kaya. Ya, dia itu ibunya si Bunga. Bapak'e suka mengajak gue makan bareng keluarga mereka.
Gue sih males. Sombong banget keluarga istri barunya. Si Bunga juga sombong di sekolah. Sok cantik, sok hebat, padahal cuma bisa main piano doang. Soal akademis juga nggak jauh beda dari gue. Pinteran gue kayaknya. Eh, kenapa jadi gue yang belagu?
Kelihatan banget kalau Bunga nggak suka sama gue. Makanya dia suka males-malesan kalau Bapak'e mau mengajak gue. Jalannya juga jaga jarak sama gue. Gue juga ogah deket-deket dia. Takut virus sombongnya nular.
"Langsung ke mobil aja," ujar Bunga yang langsung ninggalin gue.
Pas di parkiran, gue lihat Bapak'e melambaikan tangan dari jendela mobil. Gue berjalan menuju mobil sedan BMW berwarna hitam. Sengaja gue milih duduk di belakang. Males banget sama tuh cewek.
Selama di jalan, gue cuma menjawab semua pertanyaan Bapak'e dengan dehaman. Sementara si Bunga bangkai banyak cari perhatian. Sok cerita kalau dia bakal diutus sama sekolah buat lomba piano lah. Pret!
Biasanya sih Bapak'e jarang ngajak makan ke tempat dekat sekolah. Walaupun Lippo agak jauh dari sekolah, cuma ini termasuk mal terdekat.
Dasar emang gue apes! Pas kita lagi jalan-jalan sebelum makan, gue melihat si kutu kupret keluar dari Gerai Indosat!
"Ray?" Kinan menatap gue dan Bunga bergantian.