Hari pertamaku bersekolah diantar oleh papa. Setelah itu beliau meninggalkanku dengan kepala sekolah. Setelah terdengar bel berbunyi, aku mengikuti setiap langkah kepala sekolah menuju salah satu ruangan kelas. Di papan itu bertuliskan X-1. Ku tarik nafas panjang dan berusaha untuk tenang. ‘Jangan panik, Hana. Semua akan baik-baik saja.’
Kelas tampak tenang sebelumnya. Namun setelah melihat kedatanganku, suara agak menjadi riuh. Seorang guru yang berdiri di sampingku berusaha untuk menenangkan suasana. Setelah mengobrol berdua sebentar dengan guru itu, kepala sekolah meninggalkanku bersama guru tersebut.
“Adik-adik. Ada siswa baru pindahan dari Jepang,” suasana semakin riu setelah mendengarkan perkataan guru tersebut. Diriku sedikit terperangah. Mereka melihatku dengan wajah sumringah. Seakan-akan mereka akan menerimaku dengan tangan terbuka. “Silakan perkenalkan dirimu, dik.”
“Perkenalkan nama saya.. ano..,” dadaku mulai berdetak kencang. Aku menarik nafas lagi. Aku ingin membutuhkan lebih banyak oksigen. “Saya.. saya..,”
“Santai saja, Hana,” aku mendengar ke arah sumber suara. Ternyata ada Zeno di barisan bangku depan. Dia melambaikan tangannya sembari tersenyum.
“Kamu sudah kenal dengannya, Zeno?” tanya guru tersebut. Lalu ia mendekati bangku dimana Zeno duduk. “Pacarmu ya?” tanyanya dengan wajah iseng.
“CIYEEEE..,” seketika suasana semakin ramai. Guru yang memakai balutan kain di kepalanya mirip seperti bu Hermawan itu tertawa bersama dengan para siswa lainnya. Sementara wajah Zeno memerah. Tiba-tiba saja aku merasakan kehangatan dari kelas ini. Aku mencoba memberanikan diri untuk memperkenalkan diri sekali lagi.
“Hai’! Perkenalkan nama saya Hana Asuka. Asal saya dari Nagoya, Jepang. Salam kenal semuanya!” aku sudah berlatih di depan kaca semalam. Rasanya tidak sia-sia aku mempelajarinya. Semoga aku bisa dengan mudah berbaur di sekolah ini. Kemudian suara tepuk tangan mulai terdengar. Tanganku tidak lagi gemetar. Tapi tengkuk kaki ku yang bergetar. Aku masih berusaha untuk tenang.
“Nah, Hana. Silakan duduk di sebelah Zuna ya,” kata guru tersebut seraya menunjuk seorang cewek yang berada di barisan tengah bangku paling belakang. Ah! Aku pun mengingat cewek itu juga! Dia adalah saudara kembar Zeno. Sepanjang aku berjalan, beberapa pasang mata memperhatikanku. Aku mencoba untuk terus menyunggingkan senyum. Setelah duduk di sebelah kanan Zuna, aku menoleh padanya. Aih, Zuna tersenyum manis padaku.
“Halo, Hana. Kita bertemu lagi. Semoga kita semakin akrab ya,” ucapannya membuat diriku sangat senang. Di hari pertama ini aku merasa sangat beruntung. Kedua gadis yang berada di depan membalikkan tubuhnya dan berkenalan juga denganku. Cowok-cowok yang berada di sebelah kanan juga. Rupanya perkenalanku dengan teman-teman baruku terdengar oleh guru tersebut.
“Hey, adik-adik. Perhatikan dulu pelajaran di depan. Kalian bisa berkenalan pada jam istirahat nanti.”
“Zuna, siapa nama guru itu?”
“Oh, itu bu Alea. Walaupun sudah tua, tapi bu Alea guru yang menyenangkan. Tapi bu Alea tidak segan-segan juga akan menghukum kita kalau kita tidak mengerjakan pe-er.”
“Pe-er? Apa itu?”
“Pekerjaan rumah. Mmm.. tugas yang diberikan untuk dikerjakan di rumah,” jelasnya. Aku menganggukkan kepala, memahami apa yang dikatakannya. “Oh ya, kamu pasti mengenal satu orang lagi di kelas ini.”
Zuna menunjuk seseorang yang duduk di meja belakang paling ujung sebelah kiri. Ia duduk sendiri. Wajahnya tidak begitu terlihat karena kepalanya tertutup oleh tudung jaket hoodie yang dikenakannya. Lambat laun aku baru tersadar, seseorang yang sedang tertidur itu adalah kak Haru. Ia juga satu kelas denganku!
***
Pada saat jam istirahat tiba, teman-teman satu kelas berkumpul mengajakku berbicara. Namun tidak hanya mereka saja yang berkumpul, para siswa dari kelas lain juga bertandang ke kelas ini. Aku merasa seperti selebriti saja. Kemudian Zuna membubarkan perkumpulan ini karena menurutnya hawanya begitu sesak untuk bisa bernafas. Zuna dan kedua gadis yang duduk di depanku tadi langsung menarikku keluar dari kerumunan.
“Ke kantin yuk! Perutku sudah lapar!” Zuna dan kedua temannya yang bernama Reta dan Kusniyah membicarakan apa yang harus mereka pesan di depan meja persegi panjang. Aku yang baru saja duduk mencoba berpikir keras makanan Indonesia aa yang aku tahu dan akan sesuai dengan seleraku.
“Kalau Hana pesan apa?” tanya Kusniyah.
“Eeng.. nasi goreng?” kataku gambling. Entah kenapa mereka bertiga malah tertawa cekikikkan. Aku merasa ada yang salah dengan apa yang aku katakan.
“Ternyata Hana orangnya sudah Indonesia banget ya. Sukanya nasi goreng. Tapi disini nggak ada nasi goreng,” mendengar perkataan Zuna membuatku terkekeh dengan canggungnya. “Umm.. gimana kalau bakso? Hana pasti suka! Kita juga pesan bakso deh ya?”
“Setuju! Setuju!” seru Reta. Kami pun mengumpulkan uang untuk membeli bakso. Lalu Zuna dan Reta pergi memasuki antrian dimana bakso berada. Hanya ada aku dan Kusniyah.
“Hana, kamu pindahan dari Jepang mana?” tanyanya kemudian.
“Nagoya,” kataku dengan nada tergagap. Aku sadari kalau aku kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Terutama dengan orang yang baru ku kenal.
“Aku kaget loh. Aku baru tahu dari Zuna kalau kamu adik tirinya Haru.”
“Kak Haru? Iya. Saya adik kak Haru,” tiba-tiba saja aku teringat kak Haru. Sepanjang pelajaran kan dia tertidur di dalam kelas. Dia sudah makan apa belum ya? “Reta, aku pergi dulu ya. Eeeng.. arah kelas dimana?”
Reta memberikan instruksi perjalanan ke kelas. Dia bermaksud untuk mengantarku kesana. Tetapi aku menolaknya. Ku coba untuk mengikuti arah perjalanan sesuai arahan Reta sebelumnya. Akan tetapi aku malah tersesat. Sayup-sayup ku dengar suara alunan musik. Aku mengintip dari balik kaca. Rupanya Zeno dan teman-temannya sedang bermain musik. Zeno bermain gitar dengan santainya. Aku jadi teringat perkataannya tadi pagi yang membuatku nyaman. ‘Santai saja, Hana,’ suaranya terngiang-ngiang di telingaku.
“Han.. Hana. Hana,” aku tersadar dari lamunanku. Ternyata Zeno sudah berdiri di depan kaca menghadapku. Ia menggunakan bahasa tubuhnya untuk menyuruhku masuk ke dalam ruangan. Aku pun menurut padanya.
“Maaf mengganggu.”
Aku melihat sekeliling ruangan. Sepertinya ruangan ini khusus digunakan untuk studio musik. Ketiga teman Zeno memperkenalkan dirinya masing-masing. Ada Iwan yang bermain alat musik organ. Ada juga Eldo yang memegang alat musik gitar seperti Zeno. Lalu ada Ridwan yang memainkan bagian drum.
“Oh, ini toh Hana yang sering diceritakan Zeno,” kata Ridwan. Zeno merangkul Ridwan dengan gemas. Melihat kedekatan mereka membuatku ikut senang. Andai saja aku melihat kak Haru menjadi bagian dari mereka juga.
“Oh ya, Hana bisa menyanyi?” tanya Zeno.
“Hee..,” aku agak terkejut mendengarnya. Mereka spontan tertawa secara bersamaan.
“Kagetmu lucu banget!” seru Iwan.
“Ayolah. Coba saja. Lagu Jepang nggak apa-apa kok.”
“Eeng.. lagu Chico with Honeyworks?” tanyaku agak ragu.
“Judulnya? Coba aku search deh!” Eldo mengambil ponsel dari dalam sakunya.
“Sekai wa koi ni ochiteiru?”
“Ah! Aku tahu lagu itu! Ayo! Ayo, kita mulai!” aku tidak menyangka kalau Zeno juga tahu lagu itu. Kemudian mereka berkumpul sebentar memainkan musik untuk menyesuaikan nadanya. Setelah itu Zeno mengajakku untuk mulai bernyanyi.
Memang aku suka sekali menggambar manga dan merajut. Tetapi aku juga suka mendengar musik dan menyanyikannya. Aku tidak menyangka akan diminta Zeno untuk bernyanyi bersamanya dan teman-temannya. Musiknya mengalun sama persis dengan musik yang biasa aku dengar. Aku pun menyanyikannya dengan bersemangat sembari melihat Zeno dan teman-temannya. Entah kenapa muncul perasaan lega. Rasa canggung yang ku rasakan sedari pagi telah lenyap. Aku merasakan perasaan senang yang luar biasa.
“Wah, ternyata suaramu boleh juga, Han!”
“Memang mirip logat orang jepang asli!”
Usai bermain musik bersama, mereka memujiku terus-terusan. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Menurutku mereka terlalu berlebihan dalam memujiku. Aku merasa tidak sebagus itu. Tapi terus terang aku merasa senang bisa bermain dengan mereka. Andai saja...
“Pensi nya kan sebentar lagi ya! Eh, gimana kalau kamu jadi vokalis kami saja?”
“Hee...,” aku terkejut mendengar ceplosan Eldo yang secara tiba-tiba. Zeno dan teman-teman lainnya menyetujuinya juga. Mereka pun menunggu persetujuanku juga. Baru saja aku bermimpi ingin bermain musik dengan mereka lagi. Ternyata itu bukanlah mimpi belaka.
“Boleh?” tanyaku.
“Kebetulan vokalis sebelumnya mengundurkan diri. Kita bisa juga kok memainkan lagu Jepang. Itu pun kalau kamu mau, Hana,” ucap Zeno sambil melepas kacamatanya. Ia mengambil kain di dalam saku seragamnya dan mengelap lensa kacamatanya dengan kain tersebut. Ia agak terkejut ketika diriku memegang lengan kanannya secara tiba-tiba.
“Aku mau.”
***