Dinda tersenyum menatap langit-langit kamarnya. Pertemuannya dengan Levi menyisakan perasaan lega di hatinya meski mereka belum benar-benar membicarakan kejadian dua tahun yang lalu itu.
Pasa memang sudah bertransformasi menjadi Levi. Siapa sangka partnernya itu berumur lebih tua dua tahun darinya? Tadi siang, Levi menceritakan kenapa penampilannya berubah.
"Dulu itu gue kena puberty breakouts. Makanya jerawatan. Ini sama Kakak dipaksa pakai skincare makanya bisa semulus ini."
Dinda sempat tidak percaya dengan kata-kata itu. Apalagi penampilan Levi dan Pasa benar-benar berbeda. Selain jerawatan, gaya berpakaiannya juga berbeda. Pasa memiliki kecenderungan berpakaian ala-ala kutubuku yang jarang dilirik orang lain. Kalau dulu Dinda tidak dipasangkan dengan Pasa, mungkin dia pun tidak akan menyadari keberadaan cowok itu di kelas piano Miss Baya.
Sementara itu, Levi berpenampilan ala cowok populer tampan yang selalu menarik perhatian ke mana pun dia berjalan. Kulit mulus bersih, rambut yang acak tapi masih terlihat rapi, badan yang kurus tapi atletis, manik mata yang hitam senada dengan warna rambut yang juga hitam. Dengan kemeja yang tidak dikancing, kaos oblong, celana panjang, dan sepatu ket yang dia kenakan, tidak ada yang bisa menampik pesona Levi.
"Gimana bisa Pasa jadi kayak gitu? Apa yang terjadi? Cuma dua tahun loh!"
Frustrasi sendiri dengan ingatannya yang bercampur baur, Dinda melirik kembali ke langit-langit di kamarnya. Menatap langit-langit kamar seperti ini selalu membawa kembali ingatan-ingatan indahnya tentang Pasa. Semua latihan-latihan mingguan mereka selalu unik. Selalu ada saja yang dilakukan Pasa untuk membuat Dinda merasa kegiatan mereka bukan lagi latihan, tapi permainan.
Seperti sebuah kejadian yang membuat Dinda menerima bintang-bintang di langit-langit kamarnya ini. Hari itu Dinda terlambat hadir di kelas musik Miss Baya. Meski mamanya sudah membangunkannya sejak pukul lima subuh, nonton drakor semalaman membuatnya tak berkutik di kasur. Alhasil, Dinda baru tiba dua jam setelah kelas musik dimulai.
Begitu tiba di kelas musik, Dinda sudah mempersiapkan diri untuk amukan Pasa yang mungkin akan menghantamnya. Tapi ternyata tidak!
Yang dihadapinya bukan Pasa melainkan Miss Baya dan segerombolan teman-temannya yang menatap sambil bertanya, "Ke mana Pasa?"
Tentu saja Dinda bingung bukan main. Dia celingukan ke seluruh penjuru kelas untuk mencari partner resital harmoninya itu. Namun, jangankan tubuh utuh Pasa, potongannya pun tidak Dinda temukan. Keningnya mengernyit berkali-kali. Bahkan dengan polosnya Dinda melirik ke langit-langit kelas, berharap menemukan Pasa sedang menempel di sana seperti cicak.
Lelah mencari dan ditanyai, Dinda duduk dengan lesu di samping pianonya sendiri. Perlahan, mulutnya mulai mengomel.
"Gimana, sih, Pasa! Kok bisa telat! Ini kan resital bareng, waktu latihannya cuma sedikit, dia malah telat!" ucapnya yang sejurus kemudian dia ralat sendiri sambil mendesah kesal. "Aku juga telat! Gimana sih kamu, Dinda!"
Teman-temannya yang lain sudah mulai latihan dengan partner masing-masing. Sementara Dinda masih berkeluh kesah sendiri sambil menanti Pasa tiba. Tentang cicak yang tiba-tiba melompat dari langit-langit dan menekan tuts bernada rendah yang membuatnya kaget setengah mati. Tentang replika air terjun di sisi kanan piano yang tidak bisa berhenti bersuara dan membuatnya merasa kehilangan kemampuan mendengar suara tuts pianonya sendiri. Tentang rambutnya yang tadi sempat dia cuci dulu dan membuat aromanya mengganggu fokus jari-jarinya menari di atas piano. Pokoknya semua hal dia protes.
Hal ini membuat Miss Baya geli sendiri. "Tidak sekalian wajah Miss Baya yang tersenyum juga kamu protes, Din?" ucap pelatih pianonya itu sambil tersenyum.
Dinda mendengar itu. Dia ingin tertawa tapi yang keluar dari bibirnya lagi-lagi hanya desahan. Sebenarnya, bukan hal itu yang ingin dia katakan. Dinda merasa bersalah. Dia ingin minta maaf kepada Pasa karena sudah terlambat sampai di tempat latihan. Namun, karena tidak menemukan Pasa di sini, Dinda jadi uring-uringan. Itulah yang sejak tadi membuatnya kesal setengah mati.
"Tenang saja, Dinda," ucap Miss Baya sambil menjawil hidung Dinda. "Pasa pasti datang, kok. Dia selalu izin jika tidak bisa menghadiri sesi coaching."
"Tapi ini udah tiga jam sejak kelas dimulai, Miss. Memangnya dia ke mana? Emangnya dia enggak seneng ya? Enggak excited ya? Apa dia marah sama Dinda?"
"Kamu juga telat, cantik. Apa kamu tidak seneng latihan resitalnya? Tidak excited? Kamu marah sama Pasa?"
Dinda terdiam lalu menggeleng pelan. Dinda tahu. "Dia lama lagi, ya, Miss?"
Miss Baya tersenyum sambil menggerakkan dagunya ke depan. "Tuh, dia sampai."
Dinda langsung menatap ke arah pintu masuk. Senyumnya merekah lalu seketika diubahnya menjadi garang. Miss Baya yang memperhatikan itu dibuat geleng-geleng kepala.
"Dinda!" panggil Pasa kepadanya sambil terengah-engah dan berlari mendekati Dinda. "Maar-maaf, aku telat."
Dinda mendengkus, meski dalam hati dia tengah bersorak sorai melihat partnernya sudah tiba. Dia mulai membayangkan kejutan permainan seperti apa lagi yang akan diberikan Pasa kepadanya.
"Kamu marah, ya?" tanya Pasa sambil menatap Dinda sedih. "Yah, jangan marah, dong!"
Dinda pura-pura tak acuh. "Aku enggak mau jadi partnermu!"
"Yah, kok, gitu?" tanya Pasa. "Ayok, kita main. Tadi papaku mesti mules dulu, lama banget. Kentutnya sampai kedengaran loh ke ruang tamu. Makanya lama banget."
Dia berbalik memunggungi Pasa dan memainkan tuts-tuts pianonya. Pasa di belakangnya bisa melihat partnernya itu tengah menyembunyikan senyum geli.
"Aku tahu sih, kamu bakal kayak gini. Karena itu tadi sebelum ke sini, aku beli ini dulu."
Mendengar itu, Dinda penasaran dan berbalik menghadap Pasa kembali.
Kini, posisi Pasa sudah tidak lagi berdiri. Dia tengah berlutut membuat wajahnya dan wajah Dinda sejajar. Tangannya mengacungkan sekotak glow in the dark yang dibungkus plastik mika diberi pita. Dinda menatap benda itu lalu menatap Pasa dengan pandangan bertanya.
"Dinda, maukah kamu menjadi partner resital harmoniku? Menjadi pendampingku dalam latihan demi latihan, dalam segala suka dan duka menghapal not balok, serta menjadi salah satu bintang yang mendampingiku di atas panggung?"
Aliran panas langsung menyergap wajah Dinda. Kalimat yang Pasa ucapkan barusan seperti sumpah pernikahan yang dia sering dengar di film-film di televisi, meski versi modifikasinya. Jantungnya berdegup kencang, sementara teman-teman sekelasnya mulai heboh bertepuk tangan sambil melakukan paduan suara meneriakkan kata 'terima'.
"Pasa, apaan sih?"
Pasa yang berjerawat banyak dan berkacamata besar itu tersenyum manis dengan lesung pipi tercetak jelas di wajahnya. "Mau, ya?"
Dinda menarik napas dalam-dalam sebelum mengangguk, membuat teman-temannya bertepuk tangan heboh melihat adegan itu.
Ingatan itu membuat Dinda tertawa geli. "Kok, bisa, ya, Kak Levi dulu punya ide segila itu. Aku jadi penasaran apa yang dipikirin Miss Baya?"
Tawa Dinda perlahan berubah jadi senyum, lalu memudar dan kini dia menatap sedih ke bintang-bintang di langit kamarnya. Tepat ke dua buah bintang paling besar yang sengaja dia letak di tengah.
Dinda mendesah. "Sumpah itu ... aku melanggarnya."