Di kantor polisi, Dira menjelaskan kejadian yang menimpanya. Dia juga mendapat beberapa pertanyaan dari pihak tersebut guna mendapatkan lebih banyak informasi atas laporan perempuan itu.
Berat, Dira merasa berat melakukan hal tersebut karena dia perlu mengingat kembali apa yang terjadi padahal lukanya di hatinya masih belum sembuh.
Beberapa kali, Dira meminum air yang disuguhkan untuk mengurangi rasa cemas yang tiba-tiba datang sehingga membuat sesi interogasi lebih lama dari biasanya.
Pihak kepolisian memahami hal tersebut karena kondisi Dira masih belum stabil. Terlihat dari wajahnya yang terus menunduk dengan raut wajah ketakutan.
"Laporannya sudah kami buat, Bapak dan Mbak bisa pulang sekarang. Kami akan mendalami kasusnya dan juga memanggil pihak yang terduga sebagai sangka."
Dira mengangguk pelan dan perlahan bangun dari duduknya. "Terima kasih, Pak," ucap perempuan itu dengan pelan.
Agus dan beberapa warganya mengantar Dira untuk pulang ke rumah dengan menggunakan mobil. Dia tau pasti bahwa Dira akan merasa takut jika harus pulang sendirian dan menjelaskan semuanya pada ibunya yang ternyata sudah menunggu di depan rumah.
"Dir, kok kamu baru pulang sekarang?" tanya Fani dengan wajah khawatir. Namun saat melihat kondisi putrinya tersebut, Fani terdiam.
Melihat situasi tegang yang ada, Agus pun mengeluarkan suaranya. "Biar saya yang jelaskan, Bu. Dira masuk ke rumah aja duluan."
Langkah kaki Dira membawa perempuan itu ke dalam kamarnya. Di sana, dia tiba-tiba menangis tanpa henti hingga kelelahan dan tertidur pulas.
"Jadi, apa yang anda mau jelaskan?" tanya Fani setelah membiarkan Agus juga beberapa warganya untuk masuk ke dalam rumah.
Mereka duduk di sofa panjang ruang tamu dan Fani duduk di sofa tunggal. Perempuan paruh baya itu terlihat begitu penasaran dengan apa yang ingin Agus jelaskan.
Dengan perlahan, Agus menjelaskan kejadian yang menimpa Dira. Fani yang mendengar hal itu hanya bisa diam dengan mata yang memerah.
"Jadi, anak saya menjadi korban pelecehan?" tanya Fani setelah satu tetes air mata lolos membasahi pipinya.
Agus mengangguk pelan walau agak berat meng-ia-kan apa yang disampaikan oleh Fani. "Iya, Bu. Dan pelakunya, satu sekolah dengan Dira."
Tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada anaknya, Fani menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Perempuan itu berusaha menutupi wajahnya yang kini menangis dalam diam.
Agus dan beberapa pria yang bersamanya hanya dapat menghela napas juga saling bertatapan saat melihat Fani yang terus menangis. "Saya turut berduka cita ya, Bu. Atas kejadian ya menimpa anak ibu. Tapi, saya sudah bantu Dira untuk melaporkan jadian ini dan secepatnya pelaku akan diperiksa."
Tangan Fani perlahan menjauh dari wajah. Sebelum membalas, perempuan paruh baya itu mengusap sisa air mata di pipinya." Terima kasih, Pak. Terima kasih, sudah bantu anak saya. "
" Iya, Bu. Sama-sama. Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk Dira." Agus kemudian saling bertatapan dengan warga yang dia bawa. "Karena sudah sore, saya dan warga saya pamit pulang dulu ya, Bu. Saya juga sudah ngasih nomor telepon saya ke Dira. Kalau ada apa-apa, ibu atau Dira bisa hubungi saya."
"Baik, Pak. Makasih."
Setelah Agus dan warganya pulang, Fani segera pergi ke kamar Dira dan mengetuk pintu putrinya itu beberapa kali. "Dir, buka pintunya, Nak," ucap Fani.
Karena tidak mendapat jawaban dari Dira, Fani mencoba untuk membuka pintu putrinya itu. Namun sayang, pintu itu terkunci dari dalam. Walau begitu, Fani terus memanggil Dira beberapa kali hingga akhirnya perempuan paruh baya itu menyerah.
Saat malam tiba, Adil, ayah Dira mencari keberadaan putrinya itu yang tidak ikut makan malam bersama mereka. "Dira kemana? Kok nggak ikut makan?"
Fani yang tidak bisa menjawab pertanyaan suaminya mencoba untuk melakukan aktivitas lain dengan memberi lauk untuk kedua anak kembarnya. Melihat hal itu, Adil mengerutkan dahinya. "Kamu kenapa sih? Ada masalah?" tanya Adil seakan tau apa yang ada dipikirkan istrinya.
"Nggak kok, nggak ada," sanggah Fani yang terlihat begitu aneh di mata Adil.
"Terus, Dira sekarang dimana?"
"Ada di kamarnya, Mas."
"Terus, kenapa nggak ke sini?"
"Dia lagi nggak enak badan, sudah makan kok tadi dianya."
Tidak merasa curiga dengan jawaban sang istri, Adil mengangguk pelan dan kembali fokus pada hidangan makan malamnya.
Pagi harinya, Dira tiba-tiba demam dan tak sanggup untuk sekedar bangun dari tidurnya. Perempuan itu memutuskan untuk kembali tidur dan tidak turun bersekolah hari ini.
Saat bangun untuk kedua kalinya, Dira langsung keluar dari kamarnya dengan langkah tertatih. Matanya masih bengkak, bekas menangis semalam.
Sesampai di dapur, Dira segera mengambil segelas air putih dan meminumnya sampai habis. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa begitu haus.
Sebelum kembali ke kamar, Dira tak sengaja bertemu dengan ibunya yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Sama seperti sikap Dira, Fani juga begitu terkejut saat melihat kondisi putrinya. "Gimana keadaan kamu, Nak?" tanya perempuan paruh baya itu dengan wajah khawatir.
Kresek di tangan Fani langsung dia lepaskan ketika bertemu dengan putrinya yang akhirnya dapat dia lihat lagi.
Belum sempat Dira menjawab, Fani menyadari bahwa suhu tubuh putrinya terasa hangat. "Kamu sakit?"
Tidak ada tenaga untuk menjawab, Dira hanya mengangguk pelan dan tiba-tiba pingsan. Untungnya, sang ibu dengan cepat menahan tubuh putrinya sehingga tidak langsung jatuh ke lantai.
Karena hanya Fani yang ada di rumah, perempuan paruh baya itu harus memapah Dira sampai ke kamarnya.
Sembari menangis, Fani mengurus Dira yang masih belum sadar setelah beberapa menit yang lalu pingsan. Dia mengompres dahi Dira dengan menggunakan air hangat dan mengganti baju putrinya itu yang belum juga berubah sejak kemarin.
Menunggu Dira sadar, Fani melakukan beberapa pekerjaan rumah. Walau begitu, dia beberapa kali terus melihat kondisi putrinya dan mengganti kompres yang ada di dahi Dira jika sudah tidak hangat lagi.
Sebelum kembali ke dapur, Fani duduk di sisi tubuh Dira. Tangan perempuan itu mengusap pipi putrinya yang semakin tirus. "Cepat sembuh ya, Nak," cicit Fani yang tiba-tiba membuat wajah Dira sedikit bergerak.
Fani terkejut akan hal itu dan perlahan mata Dira terbuka. "Ibu," panggil perempuan itu dengan pelan.
Air mata pun lolos dan membasahi bantal yang Dira gunakan. "Maafin Dira, Bu. Maafin, Dira," ucap Dira dengan penuh penyesalan.
Mendengar hal itu, Fani langsung memeluk tubuh putrinya dan berbisik, "enggak, Nak. Ini bukan salah kamu."
"Maafin Dira, karena nggak bisa jaga diri. Maafin," lanjut Dira di sela tangisnya.
"Nggak, Nak. Kamu nggak salah. Kamu nggak salah, Nak."
Keduanya hanyut dalam suasana haru. Dira yang begitu merasa bersalah terus meminta maaf pada ibunya. Dia tau, sang ibu pasti kecewa padanya.
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?