Malam harinya setelah pertemuanku dengan Kak Ira. Hatiku merasakan damai dari hari-hari sebelumnya. Aku lebih mudah tersenyum. Kaishar tetap setia menemaniku di rumah sakit lengkap dengan setumpuk pekerjaan yang terpaksa harus dia bawa pulang. Kaishar menghampiriku saat aku sedang menulis di buku harian kesayanganku.
“Kamu tahu Reyhan ada di sini?” tanyaku pada Kaishar yang mulai berdiri di sampingku. Memperhatikan gerakan tanganku yang sedang menggoreskan tinta pena di atas kertas putih.
“Tahu.” Ucapnya singkat.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku?”
“Reyhan yang minta,”
“Kamu gak keberatan aku masih nulis di buku ini? Padahal buku ini isinya kebanyakan soal Reyhan. Ini bukuku dari jaman SMA sampai aku sudah lulus kuliah dan akhirnya menikah dengan kamu.”
“Engga. Aku gak keberatan.” Katanya.
“Kenapa?”
“Aku malah seneng kalau udah lihat kamu nulis kaya gini, sayang.” Ucap Kaishar sambil mengelus lembut rambutku. Aku terkekeh dibuatnya. “Kenapa ketawa?” tanyanya. Kali ini dia memilih untuk ikut berbaring di sampingku. Lalu perutku dia elus-elus. Sepertinya semenjak aku hamil, mengelus perutku menjadi sebuah hobby baru buatnya.
“Gak apa-apa, kok, Tuan Kaishar di negeri dongengnya Pemaisuri Ayyanaaaa.” Kataku sambil mencubit gemas pipinya. Lalu aku menutup buku harianku. “Buku harian ini akan selesai aku tulis saat anak kita lahir nanti.” Ucapku. Kaishar langsung mengelus lembut pipiku yang mulai tembam karena efek dari kehamilan.
“Setelah anak kita lahir, aku akan menulis di buku baru. Di mana isinya hanya akan ada Tuan Kaishar, Permaisuri Ayyana dan Tuan Putri kecil kita.” Kaishar mengangguk.
“Kai, kalau boleh, aku ingin buku harian ini aku kasih buat anak kita nanti.”
Kaishar tersenyum. “Boleh dong, apa sih yang gak boleh buat permaisuriku ini.” katanya. “Kapan kamu akan memberikan buku ini?”
Aku sedikit menerawang ke langit-langit ruangan. Seakan memikirkan sesuatu. “Di umur tujuh belas! Aku yakin, di saat seperti itu, dia sudah mulai merasakan yang namanya bumbu-bumbu cinta dalam hidup.”
“Oke. Deal!” Kaishar mengangguk setuju. Aku tersenyum bahagia.
“Kai, aku titip ini di kamu aja ya. Kalau kamu mau baca isinya juga silahkan. Siapa tahu kamu kepo kan soal masa lalu aku.” Dia terkekeh saat menerima buku harianku yang aku serahkan padanya.
“Emangnya gak apa-apa kalau aku baca?”
Aku mengangguk yakin. “Palingan kamu langsung ilfil, Kai, kalau udah baca ini. He he he.”
Dia terkekeh lagi. “Baiklah, aku terima mandat dari kamu ini. Tapi, bagaimana saat anak kita berumur tujuh belas nanti, kamu juga ceritain ke dia soal kisah ini langsung?” dan aku mengangguk setuju.
***
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Kirana menutup buku harian yang sedang dia baca itu dengan perasaan haru dan bahagia. Tinggal halaman-halaman terakhir yang tersisa di buku itu dan dia akan membacanya esok hari. Sebenarnya Kirana ingin menuntaskan membaca kisah itu malam itu juga, tapi kantuk lebih kuat menggerogoti matanya dari rasa penasarannya.
Beberapa kali juga, Kirana sudah terlihat menguap. Matanya berkaca-kaca, sepertinya mulai kelelahan.
“Baiklah, baiklah. Aku akan mulai tidur sekarang, pemalas ulung!” ucap Kirana menggerutu pada dirinya sendiri, kemudian menyerbu ke atas tempat tidurnya.
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2