Kirana tak bisa tidur malam ini. Matanya terus terjaga semalaman. Beberapa kali dia mencoba mengantukkan diri dengan cara membaca buku-buku sejarah yang bagi Kirana memang membosankan. Tapi hal itu ternyata tak cukup jitu. Yang ada kepalanya malah menjadi sakit!
Kirana menghela napas panjang! Dia kemudian mengobrak-abrik isi tasnya. Hal apa lagi yang akan Kirana ambil selain buku kesayangannya. Buku harian Ayyana. Mamahnya.
Ada hal gila yang membuat aku tak habis pikir dengan cowok rese itu.
Kalian tahu apa yang dikatakannya? Dia bilang, dia ingin berperang!
Kirana tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Aku sempat bingung, apa maksudnya dia ingin mengajakku berperang? Apa itu tandanya dia mengajak kami bermusuhan?
Tapi pemikiranku salah! Bukan perang itu yang dia maksud melainkan ...
***
Jurnal Ayyana.
Aku terlelap tidur untuk beberapa menit atau bahkan puluh menit. Entahlah, aku tak begitu memperhatikan jam berapa aku sudah mulai mengantuk dan memutuskan untuk tidur di ruang UKS. Yang jelas aku ketiduran. Ketidurannya yang nyaman. Karena sehabis terbangun, badanku rasanya ringan sekali!
Aku membuka mataku dengan keterkejutan yang luar biasa. Saat aku melihat sosok lelaki yang bahkan aku tak ingin melihatnya. Dia Reyhan. Sedang bersandar di tembok samping ranjangku dengan melipat tangan di depan dadanya, sambil melihat ke arah aku yang baru saja bangun tidur.
Aku bingung dan tak habis pikir, untuk apa cowok itu ada di ruang UKS? Ada keperluan apa? Apa dia juga sedang tak enak badan?
“Lo?” kataku dengan penuh keterkejutan. Tapi dia tak meresponku dan terus saja memperhatikan aku.
“Lo ngapain di sini? Ada keperluan apa? Ada urusan apa?” aku segera bangkit dan terduduk di atas ranjang. Pandanganku mengarah tajam kepadanya dengan segala pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban darinya.
Dia melepas lipatan tangan di dadanya itu. Lalu mulai melangkah sedikit demi sedikit ke arahku. Dia mendongokkan wajahnya ke wajahku. Mataku dan matanya saling bertemu. Jaraknya hanya tinggal menyisakan beberapa sentimeter saja di antara mata kami. Jujur, hal itu membuatku menjadi sangat gugup. Dan sangat gila, saat aku harus menerima kenyataan kalau, jantungku tak bisa menerima begitu saja tatapan tajam itu. Jantungku tiba-tiba saja berdetak dengan sangat cepat. Bagai menguji adrenalinku.
“Lo sakit?” tanyanya.
“Hah?”
Tangannya tiba-tiba saja menyentuh keningku beberapa detik. Lalu dia tempelkan ke keningnya kemudian. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, bagaikan menyimpan pemikirannya sendiri dalam otaknya.
“Tapi lo gak panas,” katanya lagi. Aku menelan salivaku sendiri. Lalu mencoba menjauhkan wajahnya dari wajahku. Dia terdorong dengan perasaan terkejut saat aku melakukan ‘tindakan’ pendorongan itu padanya. Namun kemudian tersenyum kecil. Entah apa maksud dia dengan senyuman itu. Yang jelas, aku merasa tidak nyaman.
“Gue emang sehat! Kata siapa gue sakit?”
“Kata temen lo!” katanya.
“Hah?”
“Gue tadi ke kelas lo, buat ketemu nona Ayyana. Tapi katanya, lo lagi sakit jadi lo istirahat di UKS.”
“Terus lo beneran ke UKS buat cari gue?” kataku mencoba berasumsi. Namun beberapa detik kemudian dia mengangguk. Huft, aku menghela napas berat. Lalu kembali melanjutkan kata, “Jadi, buat apa lo nyariin gue? Ada keperluan apa?”
Dia kemudian melangkah lagi ke arahku. Dan lalu duduk di ranjangku. Sambil kepala mengarah kepadaku.
“Pengen mastiin lo baik-baik aja!” katanya.
“Emangnya gue kenapa?”
Tanpa permisi, dia meraih tanganku. Lebih tepatnya, meraih tanganku yang tadi terluka terkena pecahan beling mangkok bergambar ayam jago. Dia lalu memperhatikan perban di lenganku dengan seksama.
“Gue mau mastiin kalau ternyata ini gak parah!” ucapnya sambil mengangkat-angkat lenganku yang diperban ini.
“Ih!” aku segera melepaskan tangannya dari tanganku. “Lo apaan sih, gak jelas banget! Mending lo jujur deh, lo ada urusan apa ke sini?”
“Gue?” dia menunjuk pada dirinya sendiri.
“Ya iyalah Yong-Lex!” aku sedikit gemas dengan dia.
“Ishhh,” dia memutar bola matanya, nampak kesal mendengar aku yang menyebutnya dengan nama Yong-lex itu. Tapi tanpa aku sadari, aku tersenyum melihat dia yang memperlihatkan ekspresi muka seperti itu. Sampai aku menyadari kalau aku sudah tersenyum karena dia. Itu adalah hal yang sia-sia dan tak pantas! Buat apa juga aku senyum? Gak penting banget kan?!
“Kayanya, gue mau ajakin lo perang!”
“Perang? Apaan sih lo. Ngomong lebih spesifik, mas!”
“Iya lo mau?”
Aku bertambah tak mengerti dengan kata-katanya itu. “Maksud lo, lo mau ajakin gue musuhan? Jadi rival lo? Atas dasar apa?”
“Atas dasar gue suka sama lo!”
“A... Apa?” aku terhentak mendengar ucapannya yang semakin gila dan di luar nalar itu.
“Gue mau ajakin lo perang. Perang perasaan maksudnya, mau?” dia mengucapkan itu dengan sangat santai tanpa rasa canggung ataupun perasaan bersalah! Dari sini aku sudah bisa menebak, kalau dia benar-benar sudah sakit jiwa!
Aku terkekeh setelahnya.
“Heh. Kok lo malah ketawa sih?” dia nampak protes melihat responku yang mungkin menurutnya di luar perkiraan.
“Terus gue harus ngapain buat bales kata-kata lo yang aneh itu?” aku masih terus berusaha menahan tawaku melihat tampangnya yang kebingungan itu.
“Ya apa kek, ‘Oke gue terima perang lo’ kek, atau ‘gue juga suka sama lo’ kek. Atau apa lah gitu. Jangan ketawa gitu!”
“Emang harus banget?” dia mengangguk. “Ih, aneh!”
“Aduh jangan kata-kata itu. Yang lain!”
“Maksa banget sih!”
“Biarin!”
“Kak, kayanya lo musti periksain diri lo! Gue punya feeling lo gila!”
“Kalau gilanya karena tergila-gila sama lo, gimana?” ucapnya sambil tersenyum. Alisnya nampak terangkat jelas. Dan aku secara tak sadar mendadak terdiam mendengar kata-katanya barusan. Aku menatap matanya beberapa saat, saat aku meyadari kalau jantungku benar-benar tak bisa lagi diajak untuk berkompromi.
Tuhan, kenapa aku berdebar-debar? Mungkinkan ini pengakuan pertama dari seorang cowok padaku? Pengakuan yang membuat dadaku berdetak cepat?
Wow spechless
Comment on chapter Bab 6 : Bagian 1