Senja berulang kali memakasa Aras pulang, tetapi cowok itu tetap bersikeras menunggu Tiana keluar dari kafe. Sungguh, dia tidak mempermasalahkan lagi gosip yang mengatakan bahwa dia selingkuh. Untuk masalah Tiana, Senja lebih memilih mengabaikan. Dia takut Aras malah membuat masalah lebih besar.
Aras sudah membuat Farhana di-scorsing, juga membuat Inggrid dilengserkan secara tidak hormat dari jabatan sebagai bendahara OSIS. Sekarang apa lagi yang akan diperbuat Aras? Dia tidak mau pacarnya memiliki banyak musuh seperti dirinya.
"Ras, udah. Kita pulang aja. Kita cari target yang lain, gak usah Tiana. Gue gak suka tipe cewek penyebar gosip murahan kayak dia. Paling jug--"
"Gak, Senja. Gak ada satu pun manusia yang lo tulis di buku harian lo boleh terlewat. Semua. Semua harus gue periksa." Aras masih belum mau mengalah.
Senja membuang napas panjang. Ditatapnya Aras sambil berpikir ini semua salahnya sebab melibatkan Aras. Jadilah sekarang pacarnya begitu sulit dihentikan.
"Lo kenapa peduli banget sama gue?"
Aras membersit hidung yang tiba-tiba saja berair, matanya pun terasa panas, seperti jidatnya sehingga dia sedikit pusing. "Lo bego? Ada orang yang bunuh lo dan gue sebagai sahabat dan pacar cuma diam kek orang tolol?" Meski jengkel, Aras tetap menjelaskan dengan suara diredam, takut ketahuan berbicara sendiri.
Senja tertunduk lesu. Dia mulai menyalahkan orang yang melakukan pembunuhan terhadapnya. Entah dia salah apa sampai harus dibunuh? Dia kembali menghadap Aras yang terus-terusan menatap pintu kafe.
Senja menggeleng pelan. "Ras, lo pasti sakit lagi, kan? Mata lo merah, ingusan pula. Pulang, yuk." Tidak ada respons, dia kembali melapangkan dada, berusaha sabar. "Besok-besok kita selesain masalah Tiana. Lo istirahat dulu. Akhir-akhir ini lo sering demam."
Aras tetap bergeming, sama sekali tak peduli sakit yang terus menusuk-nusuk kepala. Selintas pikiran tentang sakit yang dia rasakan akhir-akhir ini membuatnya curiga. Mungkin saja kekebalan tubuhnya menurun semenjak bertemu arwah Senja. Namun, itu hanya teori belaka, belum tentu benar.
Tak perlu menunggu lagi, orang yang sedari tadi Aras tunggu akhirnya menampakkan batang hidung. Dia menunggu gadis itu melewatinya dan tepat ketika Aras berdiri dari duduknya, Daren, pacar Tiana datang dari arah parkiran tanpa melihat keberadaannya. Aras tersenyum miring, sepertinya hari ini akan jadi hari merepotkan.
"Hai, Ayang. Kamu dari tadi?" sapa Tiana begitu riang.
Aras hampir meludah tepat di depan mereka, tetapi dia masih tahu sopan santun. Tiana ini licik sekali.
"Enggak, baru aja datang," balas Daren sambil merangkul Tiana.
Sebelum mereka menghampiri motor Daren, Aras bergegas cepat menghadang dua makhluk itu. Sambil berkacak pinggang, Aras tersenyum miring.
"Hai, Tukang selingkuh, eh Tukang gosip juga. Gimana kabarnya hari ini?" Aras semakin melebarkan senyum ketika melihat wajah Tiana yang kebingungan.
"Maksud lo apa ngatain pacar gue tukang selingkuh?" Daren melepaskan rangkulannya dan maju selangkah di depan Aras.
Bukannya gentar, Aras juga maju selangkah sehingga posisi mereka sangat dekat. "Mandirilah, Bro. Emang lo gak bisa nanya sendiri sama pacar lo?"
Tiana mulai kelihatan pias, tetapi tetap berusaha terlihat angkuh. "Idih, palingan iri karena pacarnya udah gak ada. Pengen balas dendam, kan, lo?"
"Balas dendam? Ide yang bagus. Gimana kalau Senja aja yang balas dendam ke lo?"
Mendengar Aras, Senja sontak menepuk belakang kepala cowok itu. "Jangan ngomong aneh-aneh, Ras."
"Tapi Senja gak akan balas dendam karena dia gak seperti lo." Aras tertawa sumbang lalu melihat Daren dengan tajam. "Pacar lo seling--"
Sebelum ucapan Aras lengkap, Daren langsung melayangkan tinju ke wajah Aras hingga berhasil membuat cowok itu mundur beberapa langkah, bibirnya pun langsung mengeluarkan darah. Bukannya membalas, Aras malah tertawa kencang dan menepis tangan Senja yang mau menyentuh lukanya.
"Lo gak percaya? Gak masalah. Mungkin sekarang gue belum bisa buktiin, tapi nanti. Liat aja nanti."
Daren tidak percaya dan kembali meninju wajah Aras. Senja yang melihat kejadian itu langsung mendorong punggung Daren. Kesempatan itu Aras gunakan untuk membalas pukulan tadi, tetapi belum sempat kepalannya melayang, Senja langsung menahan pundak cowok itu.
"Udah! Udah, Ras. Kita pergi sekarang, gue mohon," lirihnya sambil memeluk lengan cowok itu.
Aras menurunkan tangannya sambil tetap menatap wajah bingung Daren. Tanpa berkata apa pun lagi, Aras pergi begitu saja dan berjanji akan membalas semua rasa sakit yang dia rasakan dan amarah yang Senja rasa hari ini.
"Ras, luka lo diobatin dulu, ya?" bujuk Senja.
Ponsel di dalam sakunya bergetar dan tak sempat membalas ucapan Senja. Ada telepon dari Haifa, sepertinya ada berita penting.
"Halo, Fa. Kenapa?"
"Itu Haifa?" Senja ikut menempelkan telinga ke ponsel Aras, mau tidak mau Aras harus berhenti.
"Ada petunjuk tentang Senja?" Aras memastikan ucapan Haifa sambil menatap Senja.
"Gue ke sana sekarang." Setelah sambungan terputus, Aras segera memegang tangan Senja agar segera bergegas. Sepertinya pentunjuk ya g Haifa maksud sangat penting.
Senja membiarkan Aras menarik tangannya. Dia bahagia, tetapi juga sedih. Setelah dia mengetahui alasannya meninggal, Senja tidak akan pernah seperti ini lagi.
"Ras, lo harus ingat kalau gue adalah orang yang selalu bahagia dan bersyukur kenal sama lo, Ras," bisiknya. Dia yakin Aras tidak mendengar ucapannya barusan.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, Aras dan Senja tiba di mini market tak jauh dari rumah Haifa. Gadis itu langsung menyambut Aras juga Senja.
"Halo, Senja. Eh, Senja ikut, kan?" Haifa menggaruk-garuk kepala karena bingung, mungkin saja Senja tidak ada.
Aras tersenyum sambil mengangguk. "Ada, kok, di samping gue."
"Fa, tolong obatin lukanya Aras, dong. Kalau gue yang obatin di sini bisa-bisa pengunjung pada shock liat barang-barang beterbangan." Senja tidak bercanda saat mengatakan itu, dia benar-benar khawatir melihat luka di wajah Aras.
Aras mengabaikan ucapan Senja meski gadis itu terus mengomel karena ucapannya tidak disampaikan kepada Haifa. Haifa pun kaget melihat luka itu, tetapi Aras tidak membiarkan Haifa fokus kepada lebam-lebamnya.
"Udah gak pa-pa. Nanti gue obatin sendiri, gak parah, kok. Sekarang ada informasi apa?"
Haifa mengangguk tidak yakin, tetapi tangannya tetap saja merogoh ponsel di dalam tas. "Ini, aku inget kalau Senja pernah nanya akun Facebook aku. Itu tandanya dia punya akun, kan? Terus aku periksa dan nemu akun ini, namanya Twilight, artinya Senja, kan?"
Aras memperhatikan akun itu dan menggeser linimasanya. Dia bisa saja mengatakan ini bukan milik Senja, tetapi ketika mendapatkan sebuah foto dengan dua laki-laki di sana, dia terdiam cukup lama.
***