Abimanyu
"Baik anak-anak, sampai di sini pelajaran kita. Silahkan kerjakan soal selanjutnya di rumah. Kita akan membahasnya dalam pertemuan berikutnya." Aku baru saja kembali ke tempat dudukku ketika bel pulang berbunyi. "dan..., kalian boleh tanya Abi jika ada sesuatu yang kurang mengerti" ia tersenyum padaku yang baru saja menyelesaikan soal akutansi yang ada di buku paket.
Seketika, semua siswa di kelas memandangku. Aku tidak tau apa arti tatapan mereka semua. Tapi aku hanya fokus membereskan mejaku. "selamat siang anak-anak!" guru akutansi itu meninggalkan kelas setelah kami menjawab salamnya.
Setelah itu, kelas seperti sarang lebah. Mereka berdengung sambil sesekali melirikku. Beberapa malah ada yang tersenyum padaku.
"Bro, sekali-kali ajarin gue ngitung beginian dong!" Fandi memukul bukunya dengan pena, wajahnya memelas menatapku.
"iya, beres!" Jawabku singkat, sambil bersiap pulang.
"Gimana soal tawaran gue tadi?" Gilang berbisik di dekatku sebelum aku berjalan lebih jauh.
Aku berpikir sebentar, mencoba memahami sesuatu yang ia maksud, lalu menggeleng. "Tidak!" yang ia maksud pasti pemilihan ketua osis yang kami bicarakan beberapa jam lalu. Keputusanku tidak akan berubah. Tujuanku di sini hanya belajar. Aku baru akan melangkah keluar kelas ketika seseorang menghampiriku.
"Lo Abimanyu 'kan? Anak baru itu?" tanyanya sambil terengah-engah. Aku mengangguk dan mengerutkan dahi, bingung. ada apa lagi ini? "gue dengar lo suka sepak bola," ia menarik napas dengan cepat. Aku masih mengerutkan dahi, menunggunya bicara lagi. "kita kekurangan orang untuk pertandingan minggu depan. Kita butuh lo buat cadangan, lo mau nggak?" katanya dengan cepat.
Di sampingku sudah berdiri Fandi dan Gilang, mereka saling pandang kemudian memandang lawan bicaraku. Aku memandang mereka berdua, dan mereka mengangguk. Aku mengikutinya "oke." Ketika kami menuruni tangga dan menuju lapangan, Gilang menjelaskan padaku, bahwa yang barusan mengajakku adalah Kak Dimas, siswa kelas 12 yang juga kapten sepak bola sekolah. Katanya lagi, sebuah keistimewaan kalau aku diajak langsung olehnya. Aku tidak tau apakah keputusanku benar atau tidak, tapi aku merindukan sepak bola.
"Minggu depan ada pertandingan persahabatan dengan SMA Bhayangkara," Kata Kak Dimas sambil memberiku seragam agar aku bisa memakainya. "sebenarnya anggotanya sudah ditetapkan, tapi mendadak ada satu orang yang tiba-tiba sakit. Gue takut hari H nanti dia belum sembuh," ia memandangku dengan seksama. "lo mau kan jadi cadangan sementara?" ia memegang bahuku.
Aku mengangguk "santai saja, kak!"
Ia kemudian tersenyum lega. "tenang aja, setelah ini gue rekomendasiin lo untuk masuk ke tim kita"
"nggak perlu kak, saya cukup nyaman seperti ini saja. Saya cuma mau fokus ke pelajaran" jawabku tegas.
Ia mengangguk ragu, kemudian menuju lapangan. Aku mengikutinya.
Sudah lama aku tidak melatih otot-otot kakiku. Aku juga sudah lama tidak berlari dan melatih fisik. Kejadian belakangan ini benar-benar mengubah fokusku. Kak Dimas memperkenalkanku dengan anak-anak lain di lapangan. Aku meminta izin untuk melakukan pemanasan sebentar. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melemaskan otot tangan dan kakiku untuk berolahraga. Aku juga lupa kapan terakhir kali aku memainkan bola. Mungkinkan ketika kejadian sial itu terjadi? Aku memejamkan mata rapat - rapat agar bayangan menakutkan kejadian itu tidak melintas di kepalaku. Tapi aku tidak bisa semakin aku mencoba melupakannya, kelebatan kejadian itu malah tergambar jelas di kepalaku. Kakek, anak-anak berengsek itu, dan rumah sakit, tangisan Mama, nenek, dan Adi. Teriakan mereka kepadaku bahkan bisa kudengar jelas kali ini.
"Bi!" sebuah lengan terulur membangunkanku dari lamunan! "lo nggak apa-apa kan?" Kak Dimas bertanya padaku. Aku melihat sekeliling. Mereka semua menatapku dengan bingung.
"Kak Dimas tadi nanya elo, biasanya posisi lo apa?" kata seseorang di sebelahku.
Aku menatap Kak Dimas dan meminta maaf "Maaf kak, saya melamun. Saya biasanya gelandang, di sayap kanan atau kiri, tapi bisa striker juga." kataku menjelaskan.
"Oke, sementara elo striker ya! Yang sedang sakit tadi striker kita, makanya gue agak bingung kalau posisi itu kosong." ia menjelaskan.
Sebelum menempati posisi yang ia katakan, Kak Dimas menjelaskan strategi apa yang akan kita pakai untuk pertandingan pekan depan. Ia juga menekankan kepada beberapa anak dengan posisi tertentu agar menjaga lawan dengan lebih teliti. Setelah pengarahan selesai kami menempati posisi masing-masing. Ketika pertandingan dimulai, aku sempat melihat gadis itu. Gadis itu berjalan ke sebuah bagian dari sekolahan. Sepertinya itu kantor ekskul. Perasaan aneh itu muncul lagi. Aku merasa semangatku bertambah. Apakah aku senang bisa melihatnya lagi? Entahlah, aku tidak tau. Peluit panjang ditiup, dan bola sedang mengarah padaku. Okay, let's play!
Renata
"menurut kamu Ren? Siapa yang bakal jadi ketua osis?" Almira, siswa mipa 1 yang juga merupakan partnerku di ekskul jurnalis membuka percakapan. Ia sedang merapikan rak buku kantor kami.
"jangankan ketua osis, aku membayangkan kandidatnya saja sudah nggak sanggup." Aku yang sedang memilah konten mading menjawab tanpa mengalihkan perhatianku dari kertas-kertas didepanku.
Dia tertawa "apa se-menakutkan itu" ia mengernyit.
"yang kudengar seperti itu. Apalagi Daniel.." aku menggeleng keras dan mengenyahkan wajahnya yang sombong dari pikiranku. "amit-amit kalau anak itu beneran jadi ketua osis" aku berkata kesal.
"tapi nih, ya!" suara Almira mulai memelan. Ia menghentikan aktifitasnya dan beralih duduk di depanku. "kalau bukan Daniel, siapa lagi yang punya kuasa besar untuk mengatur kita semua? Guru-guru aja udah tutup mata, kelakunnya udah jadi rahasia umum di sekolah kita!" Almira mulai menggebu-gebu, wajahnya terlihat sangat kesal.
"nggak tau lah Al, aku ngeri membayangkannya." aku tidak memperhatikan Almira dan kembali menekuri kertas-kertas di depanku, meski pikiranku tidak lagi di tempat ini. Menyebut nama Daniel membuatku teringat kejadian ketika kelas 10, karena aku memarahinya yang membuat ribut di perpustakaan, aku dijadikan dompet belanjanya selama sebulan. Aku kena marah bunda karena uang spp tidak juga kubayarkan. Aku benar-benar tidak ingin hal itu terjadi lagi.
"Ren!" Almira tiba-tiba berteriak kepadaku. "kamu mikir apa sih?" tanyanya kesal.
"Apa? kamu tadi bilang apa?" aku bertanya gelagapan.
"aku tadi tanya, bukannya kamu juga pernah jadi korbannya waktu kelas 1?"
Aku menarik napas panjang "iya. Itu kejadian buruk dan aku tidak mau memikirkannya lagi." jawabku singkat lalu pergi keluar kantor. Aku melihat anak-anak sedang berlatih sepak bola untuk pertandingan pekan depan ketika aku akan melintasi lapangan.
Apa sih yang sedang dipikirkan Almira, kenapa anak itu terus-terusan membahas pemilihan ketua osis. Kalau dia sudah tau aku pernah bermasalah dengan Daniel, kenapa dia terus bertanya? Membuat kesal saja.
"Awas!"
sebuah teriakan membuatku mendongak. Aku bertanya - tanya kenapa mereka berteriak padaku, sebelum sadar apa yang terjadi, tubuhku sudah terjungkal dengan bola yang menggelinding di dekat kakiku.
"kamu nggak apa-apa?" seseorang bertanya kepadaku yang masih tersungkur di lapangan berpaving. Aku merasakan perih yang menyengat di betisku.
"iya, aku baik-baik saja." jawabku sambil membersihkan telapak tanganku.
Seorang pemain sepak bola membantuku berdiri. Ketik kami berhadapan, aku baru sadar bahwa dia adalah laki-laki ingin meminta puisiku tadi. "bukankah tadi sudah saya ingatkan, kenapa kamu tidak berhati-hati?" aku terkesiap dengan kata-katanya. ia menatapku dengan kesal sambil melihat luka di betisku. "apa kamu tidak melihat bola yang menggelinding di dekatmu?" Ia masih menatapku kesal ketika menuntunku ke tepi lapangan dan menyuruhku duduk di bench terdekat. Aku semakin terkejut ketika dia menunduk dan memeriksa lukaku. "tunggu sebentar di sini!" katanya setelah beberapa lama.
Aku masih termenung dengan kejadian yang baru kuualami. Ada apa dengan anak itu? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Kenapa dia membentakku? Aku korbannya di sini, kenapa terlihat seolah aku yang bersalah? Dan sikapnya tadi, kenapa dia repot-repot menyuruhku duduk di sini, dan lalu.... dia datang lagi dengan membawa beberapa obat darurat. Dia membersihkan lukaku lalu memplesternya dengan rapi.
Aku masih menatapnya dengan bingung ketika ia mengamati lukaku dan mengusapnya dengan lembut, lalu beralih menatapku. "berhati-hatilah! Jangan sampai terluka lagi" katanya lembut dengan tatapan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Dia kembali ke lapangan, melanjutkan pertandingan sambil sesekali menoleh padaku. Aku masih termenung beberapa menit sebelum akhirnya tersadar dan kembali melanjutkan aktifitasku. Aku mengganti konten mading yang perlu diganti dan kembali ke kantor. Kali ini, aku tidak melintasi lapangan, melainkan berjalan di teras bangunan. Aku berjalan cepat agar mereka tidak bisa melihatku. Kalau dipikir-pikir, aku merasa malu dengan kejadian tadi. Semoga besok atau besoknya lagi aku tidak akan bertemu dengan pemain sepak bola yang saat ini bermain di lapangan.
Ketika memasuki kantor ekskul jurnalis, aku melihat Kak Salman, Kak ilham dan Almira sedang membicarakan sesuatu.
"kamu kemana aja Ren, kok lama banget?" Almira bertanya padaku
"ada kejadian sedikit tadi," kataku sambil nyengir.
"duduk sini, Ren! kita lagi bahas buat pertandingan persahabatan pekan depan" kak Ilham menunjuk kursi di sebelah Almira.
Aku segera menuju ke sana dan membuka catatanku.
"untuk liputan pekan depak, saya serahkan kalian berdua, ya!" Kak Salman bicara dengan menatap aku dan Almira. "Seperti biasa, Almira akan mendokumentasikan pertandingan besok, sementara Renata akan mewawancarai salah satu dari tim lawan. Syukur-syukur kalau kamu bisa ngobrol sama kaptennya." ia menatap penuh harap padaku sambil tersenyum.
"pertandingan besok adalah tugas terakhir kita sebelum domisioner. Seperti yang kalian lihat, LPJ sudah siap, tinggal menambahkan laporan untuk liputan pekan depan." Kak ilham menambahi.
"tapi untuk buletin semester ini belum dibahas kak!" Aku mengungkapkan kekhawatiranku.
"Tenang, Ren! Kami masih akan bantu kalian, kok. Bu Rika nanti juga bantu buat konten buletin kita. Nanti setelah Domisioner
akan ada rapat tentang pembuatan buletin sekolah, sekalian pendaftaran untuk anggota baru." Kak Salman menjelaskan.
Aku mengangguk mengerti dan kembali mencatat poin2 yang harus aku tanyakan ketika pertandingan besok. Kak Ilham juga menyarankan agar aku mewawancarai kapten tim kita atau pemainnya, terutama striker sekolah kita.
"striker tim kita siapa kak?" celetuk Almira tiba-tiba.
"biasanya Adit." Jawab Kak ilham singkat.
Setelah pembicaraan mengenai liputan pertandingan persahabatan selesai, Almira bertanya tentang LPJ ekskul kita. Dia bertanya apakah ada yang bisa kami bantu untuk menyelesaikannya. "sementara ini, aku dan Ilham bisa menghandle-nya, tapi jika sewaktu - waktu kami butuh bantuan kalian, aku akan memberitahu kalian." jawab Kak Salman.
"Hampir selesai, hanya tentang keuangan, kami perlu kerja sama Rani, tapi dua hari ini dia masih di luar kota." kak Ilham menambahkan. Aku dan Almira mengangguk mengerti.
"oh iya, Ren!" Kak Salman memanggilku ketika aku akan bangkit dari kursiku. "kamu kenal Adi, anak pindahan itu yang katanya mirip artis korea itu? Denger-denger dia sekelas sama kamu ya?"
Aku berpikir sejenak, tidak ada yang namanya Adi di kelasku, selain anak baru itu, tapi kenapa Kak Salman bertanya "iya.... Kenapa kak?"
"dia pernah bilang kalau mau gabung sama ekskul kita, karena dia suka fotografi. Katanya hari ini mau ke sini, tapi kok nggak kelihatan." Kak Salman memandangi area sekolah yang hampir sepi, menyisakan tim sepak bola di tepi lapangan.
Aku ikut menatap lapangan dengan pikiran kosong. "kalau dia nggak ke sini hari ini, tolong bilangin kalau dia kuminta untuk mendokumentasikan pertandingan pekan depan, ya!" katanya sambil menatapku.
Aku mengangguk mengerti. Aku tidak sabar untuk menunggu pekan depan. Oh sebelum itu, aku harus searching tentang sepak bola, agar aku tahu apa yang harus aku tanyakan dan bagaimana memancing pembicaraan supaya narasumberku antusias. Aku sepertinya juga harus membaca beberapa tulisan tentang sepak bola agar aku tahu bagaimana cara membuat liputan pertandingan yang baik. Aku agak gugup karena ini pertama kalinya aku meliput pertandingan kesukaan anak laki-laki. Biasanya aku hanya menulis biografi atau liputan kegiatan lomba di dalam ruangan. Apa aku juga harus browsing tentang SMA lawan ya, supaya kau bisa tau kehebatan tim sepak bola mereka? Wah, sepertinya aku harus mencatat poin-poin yang ingin aku ketahui di buku catatanku.
Abimanyu
Aku baru saja menyelesaikan catatan matematikaku, ketika ponselku berdering. Gambar wajah Gilang yang memenuhi foto profilnya muncul di layar. Aku beranjak dari kursi belajarku di kamar, membuka pintu beranda, dan melihatnya sedang mengamati sekitar rumahku bersama Fandi. Aku segera turun. Sepulang sekolah tadi, ternyata mereka ka belum pulang, mereka sedang menongkrong dengan anak kelas lain di warung indomie di dekat sekolahan. Mereka berdua mengatakan bahwa ingin belajar bersama malam ini.
Aku membuka pintu depan dan mengajak mereka masuk.
"sepi banget!" kata Gilang ketika kami memasuki rumah.
Fandi mengangguk disampingnya. "lo punya saudara kan? Dia nggak di rumah?" tanyanya ketika aku membawanya ke kamarku. "sepi amat!" gumamnya lirih.
"Saya jarang ngobrol sama Adi, meskipun kita serumah" aku berusaha tersenyum senormal mungkin.
Fandi dan Gilang saling melirik, kemudian diam kembali. Fandi tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Gue kagum banget sama lo waktu bisa ngerjain soal tadi."
Aku duduk di kasurku dan mereka berdua mengikuti.
"biasanya, Fandi yang langganan ditunjuk Bu Kuni untuk menyelesaikan soal begituan" Gilang menyahut di sampingku. Dia meletakkan tasnya di kasur, lalu duduk di karpet. Ia sedang melihat-lihat majalah sepak bola di bagian bawah rak buku.
"ya... Bukan cuma gue sih, masih ada Ana, Shinta, sama Amel yang sering ditunjuk Bu Kuni juga" Fandi coba mengeles.
"harusnya saya yang harus belajar sama kamu dong!" aku mengernyit menatap anak itu. Dia tersenyum salah tingkah. Dia lalu membuka buku catatannya, bertanya padaku beberapa materi yang kita pelajari tadi siang. Gilang masih asyik menekuri salah satu majalah sepak bola milikku, sampai ia menoleh dan terkejut kami sudah saling berhadapan sambil menyimak penjelasan Fandi soal materi semester lalu. Dia buru-buru membuka bukunya dan mengikuti arah pembicaraan kami
"gue nggak nyangka materinya akan berjalan secepat ini" kata Fandi ketika kami menyelesaikan 3 soal berturut-turut.
"mungkin Bu Kuni ingin memfokuskan kita untuk lebih cepat mempelajari cara menghitung" aku menimpali.
Gilang masih sibuk mencatat penyelesaian soal yang barusan kami kerjakan. Aku melihat jam yang hampir menunjukkan jam 9 malam.
Fandi tersenyum miring. "gue nyantai karena masih ada materi sejarah dan konsep dasar akutansi."
Aku ikut tersenyum menatapnya. Perlahan, aku mulai bisa akrab dengan mereka. Aku tidak terbiasa berbicara banyak dengan orang lain, jadi aku tidak tau apa yang harus aku katakan ketika berhadapan dengan mereka.
"gue nggak paham kenapa kita harus belajar soal beginian" kata Gilang sambil menutup bukunya. "kita kan nggak sedang sekolah di sekolah bisnis seperti Ciputra" ia bersungut-sungut.
Fandi hanya tersenyum, dan aku mengikutinya. "ngomong2 pemilihan ketua osis masih berapa hari lagi sih?" ia bertanya sambil mencomot biskuit yang telah kuletakkan di meja bersama seteko minuman sebelum kita menyelesaikan soal.
"tanggal di poster itu masih sebulan lagi" Gilang ikut mencomotnya. Mengunyahnya sebentar, lalu bicara lagi, "tapi kalau show off-nya mungkin 2 minggu lagi, kenapa?" Gilang menatap Fandi sambil menuang minuman ke gelasnya. Ia melihat Fandi yang sedang mengernyit.
"enggak, tadi gue ada pertemuan PMR, tumben-tumbenan Alessi ikut," ia menatap Gilang. "sejak diklatsar waktu kita kelas satu, dia cuma ikut sekali sebelum kita ikut lomba se-kecamatan, setelah itu," fandi menggelengkan kepala. "nope"
"pencitraan tuh pasti!" Gilang berseru sambil mencomot biskuit kembali. Fandi mengangguk, ikut menyetujui ucapan Gilang. "gue bilang juga apa, mereka pasti nggak tinggal diam! Apalagi ada Daniel. Mereka nggak akan rela kalau cuma anak donatur bisa jadi ketua OSIS di sekolah kita."ia menatapku dengan penuh keyakinan.
"gue cuma nggak mengira kalau mereka akan segitunya menggebu untuk jadi ketua OSIS." Fandi melihtku dengan senyum polos.
"Alessi siapa?" aku berusaha mengikuti arah pembicaraan mereka.
"anak kepala sekolah. Cuma anak itu doang yang bebas keluar masuk kantor kepala sekolah, ruang guru, dan ruang-ruang privat di sekolah kita. Hebat 'kan?!"
Aku mengangguk.
"terus gue tadi lihat Jasmin di perpustakaan, waktu ngembaliin buku gue yang udah terlambat. Dia sok-sok bantuin petugas perpus ngerapihin buku di rak gitu. Petugas perpus cuma geleng-geleng aja lihat tingkahnya."
"tapi Daniel kayak nggak ada perubahan sama tingkahnya, dia tetep jadi preman gitu!" Fandi berkata lagi dengan nada sedikit rendah. Gilang menyimak dengan seksama, aku mengikutinya. "pulang sekolah tadi, di ujung jalan dia tetep nongkrong sama temen - temennya dan mintain uang jajan anak-anak. Istirahat tadi gue lihat dia juga tetep di dekat taman air mancur, sama aja!" ia mengangguk pada aku dan Gilang.
"dia nggak ada niatan tobat gitu ya!" balas Gilang dengan suara rendah juga. Wajahnya memelas. "gue ogah deketan sama dia barang semeter aja" dia begidik.
"lo pernah?" tanya Fandi datar. Gilang melihat kami berdua, lalu mengangguk.
Fandi terkejut, "kapan?"
ia mencomot biskuit lalu meminum minumannya. Kami menunggu ceritanya, tapi sepertinya dia sedang menyiapkan mental. "lo ingat waktu kita dapat tugas geografi, yang tugas proyek itu?"
"yang kelompok lo nggak bisa ngumpulin tugas karena nggak selesai itu?" Fandi menunjuk.
"sial banget gue ketemu Daniel di toko buku dekat sekolah. Gue kira dia nggak ngenalin gue, tapi waktu gue hampir ke kasir, dia tiba-tiba deketin gue dan lo pasti tau apa yang terjadi."
Fandi menarik napas panjang, tapi aku belum faham dengan ceritanya. "dan apa?" tanyaku memperjelas.
Dia melirikku "dompet gue diambil, semua uang yang ada di saku juga diambil. Mereka hampir make atm punya bapak gue, tapi ternyata saldonya habis."
"parahnya, yang diambil itu uang iuran temen-temen dan uang gue. Gue pikir besok paginya gue bisa selesaikan tugas itu, ternyata waktunya nggak keburu."
"sial banget lo, Lang!"
"waktu itu temen-temen gue tanya, kenapa bisa uangnya nggak ada. Gue cuma jawab gue ketemu Daniel, dan mereka semua paham." dia memandangku ketika menyelesaikan ceritanya.
"Daniel itu bener-bener legend di sekolah kita." Fandi menyimpulkan.
"kita juga angkatan tersial nggak sih?" Gilang bertanya lagi, atau lebih tepatnya mempertanyakan pernyataannya. Aku melirik Fandi yang mengangguk sambil tersenyum miris.
"gue nggak bisa bayangin gimana nasib kita kalau dia jadi ketua OSIS beneran" Fandi menggelengkan kepalanya.
"apa maksud kalian ini Daniel yang sama yang sering kalian bicarakan sebagai calon ketua OSIS?" aku ingin memperjelas dugaanku. Fandi dan Gilang mengangguk pasrah.
"kenapa tidak ada yang melapor ke guru?" aku bertanya lagi karena ada yang membuatku resah.
"sudah!" jawab Gilang singkat.
"berkali-kali" tambah Fandi.
"tapi mereka bilang kita tidak punya bukti." lanjut Gilang.
"masalahnya, semua anak buahnya tidak ada yang mau mengaku, ditambah, korban-korbannya tidak mau mengaku bahwa mereka pernah dipalak oleh Daniel."
"kenapa bisa begitu?" tanyaku menggebu.
Fandi diam. "kalau aku jadi mereka," Gilang berkata lagi, "aku mungkin akan melakukan hal yang sama." ia memandang aku dan Fandi. "ketika uang kami diambil waktu itu, aku cuma berharap waktu bisa diputar dan aku tidak akan ke toko buku itu waktu itu. Aku cuma tidak ingin mengulangi hal yang sama." wajahnya sangat sedih ketika aku melihatnya.
"kudengar, Daniel bahkan pernah mengambil uang spp murid perempuan, hingga orang tuanya dipanggil karena tidak membayar uang sekolah waktu itu." Fandi menambahkan. Aku mengernyit mendengar cerita Fandi. "katanya, anak perempuan itu pernah memarahi Daniel ketika mereka berisik di perpustakaan." lanjut Fandi.
"aku pernah mendengar juga, kalau anak yang melaporkan dia, malah akan semakin menderita" Gilang menambahi.
Entah kenapa aku semakin kesal mendengar cerita mereka. Kalau cerita ini dibuat-buat, tidak mungkin. Aku yakin Fandi dan Gilang bukan orang yang seperti itu. Aku memperhatikan wajah mereka yang sangat polos.
Terdengar suara ribut di bawah. Dad pasti sudah pulang, artinya ini sudah pukul 10 malam. "ini sudah sangat malam, bagaimana kalau kalian menginap di sini? kalian bisa pulang ke rumah besok pagi-pagi sekali" aku menawarkan karena ini sudah sangat malam. Aku tidak yakin jalanan Surabaya pada malam hari akan aman untuk siswa SMA seperti mereka.
Mereka berdua mengangguk. Lalu aku menjelaskan kamar mandi di sudut kamarku dan di lantai bawah yang bisa mereka pakai. Aku juga menjelaskan bahwa Dad datang dan mereka bisa menyapanya.
"Malam, Om! Kami temannya Abi, kami mau izin menginap di sini." Fandi berkata dengan sopan.
Dad terkejut. Dia menatapku dengan seksama seolah bertanya apakah ini benar. Aku hanya tersenyum melihat tatapan Dad.
"kalian menginap?" Dad balik bertanya seolah memastikan. Fandi dan Gilang mengangguk. Kurasa mereka takut Dad tidak mengizinkan mereka menginap. "tentu saja boleh. Kalian boleh pilih kamar mana yang mau kalian pakai." Jawab Dad dengan sumringah. Kedua kawanku itu pun ikut bersorak.
"tidak, Om. Kami akan tidur di kamar Abi saja." jawab Fandi sopan. Mereka masih terkikik senang ketika pintu depan kembali terbuka.
Adi datang dengan wajah sumringah sambil memainkan kunci motornya. Aku ingat tidak mendengar suara motornya tadi, mungkin karena aku terlarut dengan kesenangan Fandi dan Gilang.
"Adi?" Dad memanggilnya sebelum ia menaiki tangga menuju kamarnya.
Dia berbalik dengan malas, lalu menatapku dengan kesal. "Apa?" tanyanya pada Dad dengan malas.
Dad bergeleng sebentar sambil menarik napas. "kamu sudah makan?"
"peduli apa aku sudah makan atau belum." Aku masih bisa mendengar gumamannya sebelum ia melangkah .
"setidaknya jawab dulu pertanyaan Dad," aku menahan lengannya tepat sebelum ia menaiki tangga pertama. Ia melepaskan lengannya dari tanganku dengan kasar. Matanya masih tajam menatapku dengan kesal.
"baiklah, ada makanan di kulkas kalau kamu masih lapar." Dad berkata sabar sambil menatap Adi dengan penuh perhatian. "Panaskan sendiri sesuai seleramu. Ramen dan makanan lain sudah ada di laci jika kamu bosan makan masakan Mas Doni."
Adi kembali melangkah setelah puas memandangku penuh kemarahan.
"kami ke kamar Abi dulu, Om!" aku mendengar suara Fandi di belakangku.
"kita ke kamar lo duluan, ya?" Gilang berbisik di dekatku sambil berjalan bersama Fandi melewatiku. Aku hanya mengangguk. Mereka pasti canggung mendengar pertengkaran kami kali ini.
"Jangan terlalu keras pada adikmu," kata Dad lembut setelah teman-temanku menghilang dibalik pintu kamarku.
"dia berkata kasar pada Dad!" jawabku kesal.
Lelaki di depanku ini mengangguk mengerti, "Dad tau, tapi dia pasti masih butuh penyesuaian diri di sini. Kamu juga tau, dia tidak setuju kita pindah ke Indonesia tanpa Mom." Dad menjelaskan lagi.
"Maaf, Dad. Aku hanya tidak suka dia bersikap seperti itu pada Dad." akuku pada Dad.
Dad tersenyum mendengar perkataanku. "kembalilah ke kamarmu, teman-temanmu pasti sudah menunggumu." katanya sambil mengusap ujung kepalaku.
"Dad juga beristirahatlah," kataku sambil meraih tangannya dan menciumnya.
Di kamar, aku melihat Gilang sudah merebahkan diri di kasurku. Sementara Fandi sedang berdiri sambil membaca buku di dekat rak buku.
"kalian mau tidur di mana?" tanyaku pada mereka.
"dimana aja boleh bi" Fandi menoleh,
"kalau kita mau tidur di sini bareng lo, boleh nggak?" Tanya gilang dengan santai. Sontak aku melihat Fandi mengedip-ngedipkan mata padanya.
"tapi kalau lo nggak suka tidur bareng-bareng, nggak apa-apa sih, kita bisa tidur di mana aja." Gilang melanjutkan sambil tersenyum kikuk.
"kalian mau tidur bersamaku? Kalian yakin?" aku menatap Fandi dan Gilang bergantian.
"boleh?" tanya Fandi dan Gilang hampir bersamaan.
"tempat tidurku besar, pasti muat buat kita bertiga, ya meskipun nanti agak berdesakan" jawabku dengan riang.
Kulihat Gilang bersorak senang, semantar Fandi hanya tersenyum lebar. Ia meletakkan buku yang ia baca dan membuka buku lainnya. Ia sepertinya suka dengan buku-bukuku.
Gilang berpamitan ke kamar mandi duluan, ia berkata sudah lelah dan ingin tidur. Tersisa aku dan Fandi di ruangan itu. Lelaki berkulit sawo matang dengan rambut lurus ini bertanya padaku kenapa banyak buku - buku tentang bisnis di rak bukuku. Aku kemudian bercerita bahwa aku ingin belajar bisnis dan membantu Dad ketika pendidikanku sudah selesai. Lalu dia bertanya tentang Adi. Aku bercerita sedikit karena aku masih belum terbiasa bercerita tentang keluargaku pada orang lain.
Aku bercerita banyak pada Fandi tentang alasanku pindah ke sini dan kenapa aku tidak terlalu ramah pada anak lain. Dia juga bercerita tentang kehidupan sekolah yang belum terlalu aku ketahui. Malam ini rasanya malam paling indah yang aku miliki. Baru pertama kali ini aku merasakan bahagianya memiliki teman yang bisa diajak berbagi.
Jam menunjukkan pukul 11.30 ketika aku bertanya tentang Daniel. "cerita kalian tentang Daniel tadi, kenapa tidak ada guru yang bertindak." Fandi menyimak pertanyaanku dengan seksama. "kalau banyak anak yang melapor, bukankah harusnya mereka mencari tau atau paling tidak mencari kebenaran dari laporan anak-anak?"
Fandi tersenyum miring. "orang tua Daniel itu orang berada. Mereka terhitung orang paling kaya di Surabaya ini. Dan mereka bukan crazy rich yang merakyat seperti yang sering kita lihat di televisi. Lo pasti tu bagaimana sikap orang kaya seperti itu 'kan?"
"tapi itu tidak adil untuk murid biasa seperti kita." kataku dengan emosi.
"gue tau, pasti anak-anak lain juga paham itu. Tapi mereka lebih menginginkan kenyamanan dalam belajar setelah terkena badai, daripada memulai badai baru." Fandi menjelaskan dengan serius.
Aku menarik napas panjang. "lalu apa yang bisa kita lakukan?" tanyaku akhirnya.
"tidak ada." jawab Fandi tenang. "berusaha sebisa mungkin menjauh dari Daniel, atau berusaha tidak berurusan dengan anak itu lebih menenangkan daripada apapun." lanjutnya.
"itu bukan solusi" aku menggumam pada diriku sendiri. Kulirik Gilang di sebelah Fandi yang sudah pergi ke alam mimpi. Dia tidak terganggu sama sekali dengan obrolan kami yang mulai merambah ke mana-mana.
"itulah kenapa, Gilang maksa banget supaya lo nyalonin diri sebagai ketua OSIS." Fandi berkata padaku lagi.
"apa hubungannya?" aku menyimak dengan serius.
"ada. Banyak." jawabnya singkat, lalu melanjutkan, "kalau Daniel jadi ketua OSIS, kita pasti lebih sengsara. Bisa jadi satu kelas harus setor uang setiap hari ke dia. Itu dugaan terburuknya. kalau lo jadi ketua OSIS, kita bisa sedikit lega, Daniel nggak akan bisa seenaknya. Setidaknya lo akan membatasi ruang geraknya selama lo jadi ketua OSIS. Harapan kita cuma itu."
Aku kembali menarik napas panjang. "niat saya ke sini hanya untuk belajar dan segera mewujudkan apa yang saya inginkan." aku mengatakan isi hatiku pada Fandi. "kamu tahu sendiri saya punya pengalaman buruk dalam hal berteman"
"konteksnya beda, bi! Lo sedang bersama dengan teman-teman yang mendukung lo. Kalaupun ada dari mereka yang berkata buruk tentang lo, ada gue dan Gilang yang bakal berhadapan dengan mereka" Fandi menjelaskan dengan tenang.
Aku menatapnya dalam sambil menarik napas.
"kita butuh lo, yang berani bilang kalau yang terjadi pada kita ini salah" kata Fandi lagi.
Aku masih menatapnya dan beralih menatap barisan buku di rak buku yang ada di ujung ranjang. "akan saya pikirkan dulu," kataku kemudian, lalu menatap Fandi yang menjawab dengan anggukan. Tak lama kemudian, ia membetulkan posisi tidurnya, dan tertidur dengan cepat. Aku memandangnya lama sebelum kepalaku penuh dengan berbagai macam suara.
Dalam kondisi seperti ini, Mom sangat tepat untuk diajak bertukar pikiran. Dia pasti punya berbagai macam sesuatu untuk dipertanyakan padaku. Dia akan bijak memberikan saran dan nasehat yang bisa membuatku berkembang, meskipun itu membuatku berpikir keras dan kadang membuatnya emosi. Tiba-tiba aku merindukannya. Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana keadaan grandma di sana? Aku tidak bisa menahan diri untuk membuka ponsel. Membuka email yang beberapa hari lalu ia kiriman. Untung mereka sempat mengambil foto. Dedaunan warna oranye menjadi latar belakang mereka berfoto. Pasti ini di pekarangan rumah milik grandpa di Jerman. Setelah grandpa meninggal, tiba-tiba grandma ingin pulang ke rumah mereka di Jerman. Dia bilang ingin mengenang kehidupan mereka dahulu sebelum pindah ke korea. Aku memandangi lama foto itu. Grandma terlihat lebih tua dari terakhir kali aku melihatnya beberapa bulan lalu. Dia cepat renta sejak grandpa tiada. Untung Mom masih baik-baik saja, meski terlihat sedikit lelah. Pasti dia banyak memikirkan Adi. Apa anak itu masih tidak mau membalas pesan Mom? Kadang aku ingin menjitaknya karena sikapnya yang terlalu kekanakan. Tapi Dad bilang aku harus sedikit sabar dengannya.
Andai Mom ada di sini, pasti kami tidak akan kesulitan seperti ini. Tapi ini semua terjadi juga karenaku. Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan menuruti perkataan Mom untuk tidak bermain sepak bola dan tidak berteman dengan anak-anak nakal itu.