1. Tak Ingin Terulang
"Semanis-manisnya perpisahan, yang namanya perpisahan akan tetap terasa menyakitkan."
Seorang gadis remaja sedang duduk di teras kelas. Dia adalah Ayunda Syabila, anak broken home yang sedang menata kehidupannya. Memiliki dua teman yaitu, Gracia Salsabila dan juga Anindya.
Sejak kelas 6 SD, Yunda sudah tidak pernah merasakan kasih sayang ibu. Yah, orang tuanya bercerai pada saat itu. Masa yang sebenarnya dia sangat butuh perhatian lebih. Perpisahan kedua orang tuanya hanya sebatas karena ekonomi. Ibunya tidak tahan tinggal dengan ayahnya yang kesulitan ekonomi. Dia pun memilih untuk bersama dengan lelaki berdompet tebal.
Flashback empat tahun lalu
"Yun, hari ini aku ke rumahmu ya, kita kan mau kerja kelompok," ujar teman sebangku Yunda dengan sangat riang.
Yunda tidak langsung menjawab, sebab sejak semalam orang tuanya tidak pernah bertegur sapa. Dia takut jika orang tuanya masih seperti itu dapat membuat temannya risih.
"Keyla, sepertinya lain kali aja ke rumahku soalnya teman Ibu mau datang," ujarnya dengan penuh kebohongan.
Mau tidak mau gadis bernama Keyla itu menganggukkan kepala. Mereka pun keluar dari kelas dan pulang ke rumah masing-masing. Keyla dengan jemputan bundanya, sedangkan Yunda berjalan kaki. Kebetulan sekolahnya dengan rumahnya hanya berjarak 500 meter, sehingga Yunda masih bisa berjalan kaki.
Sepanjang jalan dia bersenandung riang, tak sabar ingin bertemu ibunya. Dia ingin memperlihatkan hasil ujiannya yang sangat sempurna. Dirinya memang anak yang pintar dan selalu menjadi juara kelas maupun umum di sekolahnya.
Salah satu yang membuatnya termotivasi untuk terus belajar adalah ibunya. Wanita itu pernah berbicara kepada Yunda, bahwa jika ingin mengubah nasib, maka dia harus belajar dengan giat. Hal itulah yang menjadi mantra setiap kali Yunda malas membaca.
Peluh sudah bercucuran di dahinya membasahi anak-anak rambut. Namun, dia tidak mengeluh sedikitpun, sebab rasa senang sudah mengambil alih segalanya. Walau terkadang punggung tangannya mengelap keringat tersebut.
Setibanya di depan rumah, Yunda langsung masuk tanpa salam. Namun, begitu terkejutnya dia saat melihat keadaan di dalam sana. Ada beberapa beling yang berserakan, ditambah lagi meja yang tidak berada di tempatnya.
Yunda masih belum tahu apa-apa, dia berjalan mencari keberadaan orang tuanya. Ternyata orang tuanya sudah ada di dapur dengan benda yang mengerikan di tangan masing-masing.
Ibunya memegang pecahan beling, hendak menggores badan ayahnya. Begitu juga ayahnya yang memegang pisau lancip yang sewaktu-waktu dapat menusuk perut ibunya.
Netranya berair dan badannya langsung limbung. Cukup lama Yunda terisak hingga suaranya dapat keluar. Dia berteriak sekencang-kencangnya, berharap kedua orang dewasa itu mendengarnya.
"Ayah dan Ibu sedang apa?"
Setelah berteriak kencang, hanya kalimat itu yang dapat keluar dari mulutnya. Benda tajam di tangan orang tuanya juga sudah dijatuhkan ke lantai. Sang ibu datang memeluknya yang dibalas pelukan erat oleh Yunda.
"Yunda, maafkan Ibu ya karena harus pergi dari rumah ini," tukas ibunya yang seolah tidak paham dengan penderitaan sang anak.
"Ke mana, Bu? Yunda bisa ikut?" tanya anak itu dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes.
"Ke tempat yang jauh, Yunda sama Ayah aja ya."
Setelah mengatakan itu, pelukan pun terhenti. Wanita itu langsung berdiri dan menarik kopernya ke luar rumah. Yunda juga ikut berdiri dan berlari mengejar ibunya, berharap segalanya bisa dihentikan.
Namun, takdir seolah bermain-main dengannya. Di depan sana sudah ada mobil SUV hitam. Yunda tidak tahu sejak kapan mobil itu ada di sana. Padahal saat sampai rumah belum ada, padahal jaraknya hanya beberapa menit.
Dengan mata kepala sendiri, dia melihat ibunya naik ke mobil itu. Duduk di kursi paling depan. Sayangnya Yunda tidak melihat jelas wajah sang sopir, walau dia sangat yakin jika dia seorang pria.
Lagi-lagi air mata bercucuran, dia meraung-raung sejalan dengan menghilangnya mobil itu dari pandangan. Dari dalam rumah ayahnya berjalan ke arahnya. Pria itu juga melihat istrinya pergi dengan pria lain. Jelas hatinya sangat sakit dan cukup membuatnya murka.
"Yunda masuk ya, gak enak di sini diliatin tetangga," pungkas sang ayah sambil memegang pundak anaknya yang gemetaran.
Begitu hebatnya sang ibu melukai hati putrinya. Sampai ingin berdiri pun dia tidak sanggup. Mau tidak mau, dia harus digendong agar cepat masuk. Kedekatan Yunda dengan ayahnya tidak terlalu baik, sebab ayahnya jarang tinggal di rumah.
"Ayah, Ibu marah ya sampai harus pergi dari rumah?" tanya Yunda saat sudah berada di dalam rumah.
Ayahnya sibuk membersihkan lantai bekas perkelahian tadi. Pria itu tidak menjawab pertanyaan anaknya sebab masih kebingungan. Dia juga tidak paham kenapa hal itu terjadi. Lebih parahnya dia tidak tahu sejak kapan istrinya tertarik dengan pria lain.
"Ayah, apa ini salah Yunda sampai Ibu harus pergi?" tanya Yunda lagi karena tidak mendapatkan jawaban.
"Bukan, ini bukan salah Yunda. Jadi, Yunda sekarang ke kamar ya, Ayah mau bersih-bersih dulu," tukas ayahnya dengan nada tegas tetapi tidak menakutkan.
"Gak mau, Yunda mau sama Ibu," ujar anak itu sambil menendang barang yang ada di depan kakinya.
"Nanti ya kita cari Ibu," jawab ayahnya masih mencoba untuk sabar di tengah gejolak amarah.
"Gak mau Yah, Yunda maunya sekarang. Nanti Ibu makin jauh sama Om itu," balasnya dengan nada tinggi melengking.
"Kalau Ayah bilang ke kamar, ya ke kamar. Jadi anak jangan bebal. Sekarang masuk kamar, jangan membatah," tukas ayahnya dengan nada naik dua oktaf.
Yunda terperanjat dan langsung masuk ke kamarnya. Sesampainya di sana dia menangis dengan sangat kencang. Berharap dengan begitu ayahnya ingin segera mencari ibunya. Dia masih percaya dan yakin, ibunya akan pulang jika dibujuk lebih keras lagi.
Namun, harapan itu tidak terjadi. Ayahnya hanya duduk di depan rumah sambil melamun. Sementara Yunda masih menangis dan membuat matanya membengkak hebat. Dia tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"Apa Ayah memang senang kalau Ibu pergi. Kenapa Ayah tidak mau mencari Ibu?" tanyanya pada diri sendiri sambil menatap langit kamarnya yang berdebu.
"Aku rindu Ibu. Nanti Yunda sama siapa di rumah ini kalau Ayah pergi kerja?" tanyanya lagi dengan tatapan kosong.
Sebab tidak mendapatkan apa-apa, dia keluar kamar. Namun, sebelum keluar dia menyeka air matanya. Tujuannya untuk mencari ayahnya. Kaki dia langkahkan ke teras rumah. Dia tahu ayahnya di sana sebab kepulan asap berasal dari luar.
Dia melihat ayahnya sedang merokok dan di sampingnya sudah ada kopi. Pria itu tak menghiraukan kehadiran anaknya. Dia hanya menatap lurus ke depan seolah ada hal menarik di depan sana.
"Ayah, ayo kita pergi cari Ibu, ini sudah sore nanti Ibu gak pulang," pungkas Yunda masih dengan kegigihan yang dia miliki.
"Mulai sekarang Yunda sudah tidak bisa bertemu dengan Ibu. Tempat kita sudah berbeda."
"Kenapa begitu, Yah?"
"Karena sekarang ibumu sudah ada di luar negeri. Om yang ada di dalam mobil itu tadi adalah pacar ibumu," ujar sang ayah dengan nada parau.
Yunda tidak bisa berkata-kata, dia tidak paham situasi tersebut. Mengingat ibunya sudah tidak berada di negara yang sama membuat air matanya jatuh bercucuran.
"Ibu selamat, karena kau telah menorehkan luka yang begitu dalam. Aku tak tau apakah masih bisa disembuhkan."