Read More >>"> AKSARA (Sama-sama Menguatkan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Dalam ramainya orang yang tengah menikmati malam yang panjang, Lengkara tenggelam dalam kesedihan yang tak bisa ia tahan. Air mata terus mengalir meski dirinya tak terisak. Tangis itu seakan mewakili hatinya yang tercabik-cabik. Hancur melebur semenjak penyakit yang tak pernah ia bayangkan bersemayam dalam tubuhnya. Semua harapan, mimpi-mimpi yang telah ia rangkai, momen-momen yang ingin ia rasakan bersama orang-orang tersayang, kini hanya sebuah angan yang tak akan pernah tercapai.

Lengkara tak sanggup menahan sesak dalam dada. Menahan isakan yang kemudian pecah melawan bisingnya suasana taman. Ia menangis di antara orang-orang yang tengah tertawa. Di antara orang-orang yang berupaya mengukir kenangan indah bersama orang tersayang. Dia semakin terjerembab dalam kesedihan tak berujung, membayangkan suatu hari nanti harus meninggalkan orang-orang yang ia sayangi. Ayah, bunda, Kinara, Fera, terutama Aksa. Punggungnya gemetar hebat mengikuti intonasi tangis yang semakin pecah. Dadanya sesak, sampai Lengkara sulit mengambil nafas. Banyak orang yang melihat dengan berbagai pandangan pada gadis yang kini duduk di kursi taman seorang diri.

Kala matanya memejam, bayangan mereka hadir dalam benak. Berkelebatan kenangan indah yang pernah ia lalui bersama mereka semua. Tertawa bahagia bersama keluarganya, bercanda tawa di meja makan dan ruang keluarga. Kemudian mengingat betapa indahnya persahabatan dengan Fera, mengalami suka duka bersama. Mengikuti berbagai perlombaan dan organisasi bersama. Hingga bersedih bersama saat tak bisa masuk ke universitas impian.

Dan satu orang lagi yang baru saja masuk ke dalam hidup Lengkara, seorang pemuda dengan penuh perjuangan untuk memilikinya. Seorang pemuda yang sering disebut sebagai kulkas dua belas pintu, nyaris tak pernah mendekati perempuan itu habis-habisan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan hatinya. Pemuda yang mengakui bahwa ia sangat mencintai Lengkara, bahkan saat mengetahui Lengkara mengidap kanker otak, ia tak keberatan dan tak memilih meninggalkannya.

Orang itu Aksa, yang kini berada di hadapannya. Memeluknya dan membiarkan tangisnya pecah semakin dalam pada pelukan Aksa yang hangat. Aksa menenangkan Lengkara dengan sentuhannya pada punggung kekasihnya itu. Menyalurkan energi positif agar tangis gadis itu mereda. Mengatakan berulang kali bahwa ia selalu ada untuk Lengkara dan tak akan meninggalkan gadis itu dalam keadaan apapun. Namun karena rasa takut yang sebelumnya menyeruak pada diri Lengkara, menyebabkan Lengkara berubah dan menjauhi orang-orang terkasihnya, kini ia lakukan kembali. Kala Lengkara mendorong Aksa, melepas pelukan itu secara paksa dan terang-terangan mengatakan—

“Kita harus putus, Sa.” Katanya. Aksa tertegun.

........

Aksa putus asa. Sudah satu jam menyusuri kota Bandung, ia tak juga menemukan Lengkara. Bahkan gadis itu sangat sulit dihubungi. Aksa frustasi sampai membantingkan ponselnya sendiri. Rasa khawatir benar-benar menghantui pikirannya mengenai Lengkara. Ia takut terjadi sesuatu dengan Lengkara. Takut gadis itu kembali melakukan hal berbahaya seperti di rooftop tempo lalu.

Memutuskan untuk memarkirkan mobil di depan supermarket, Aksa mencari Lengkara dengan berjalan kaki. Hal itu memudahkannya untuk menemukan Lengkara di tempat-tempat yang tak bisa dijangkau dengan mobil. Aksa berlari kecil seraya mengedarkan pandangan. Berulang kali ia salah orang saat dia rasa itu adalah Lengkara. Aksa mengacak-acak rambutnya, Lengkara tak juga ditemukan. Namun saat ia melihat ke arah taman, tepat di mana kursi taman dekat dengan air pancuran berada, ada seseorang yang begitu ia kenali. Gadis itu tengah menunduk sambil memeluk lutut. Pundaknya terlihat gemetar seperti menangis. Pelan-pelan Aksa mendekat untuk memastikan itu Lengkara atau bukan. Dan benar saja, ternyata itu Lengkara. Dari baju, sepatu, dan rambutnya, Aksa yakin itu adalah kekasihnya.

Mengetahui Lengkara tengah menangis, hati Aksa gemetar. Layaknya sebuah aliran listrik, Aksa dapat merasakan kesedihan yang kini mendekap erat gadis itu, meresahkan hatinya dan membuatnya pergi sejauh ini. Aksa perlahan berjongkok dan memeluk kekasihnya dengan erat. Menepuk-nepuk punggung gadis itu berharap tangis Lengkara sedikit mereda. Namun tiba-tiba Lengkara mendorongnya dan menatapnya sendu. Kesedihan dan keputusasaan yang ia lihat sama percis seperti kejadian di rooftop waktu itu, makin membuat Aksa yakin jika Lengkara tidak baik-baik saja.

“Kita harus putus, Sa.”

Lengkingan suara yang entah dari mana asalnya mendengung di telinga Aksa. Sebuah panah menghujam dadanya membuat rasa sakit yang tak terkira. Sebuah keputusan yang Lengkara layangkan sepihak membuat Aksa untuk sesaat tak bereaksi apapun.

“Kita gak bisa lanjutin ini lagi.” lanjutnya.

Aksa berusaha meraih tangan Lengkara, namun ditepisnya. “Kenapa, Kar? Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku?”

Lengkara mengusap air matanya yang kian mengalir. “Kamu harus bahagia sama yang lain, Sa, jangan sama aku.” Alih-alih menjawab, Lengkara malah mengatakan itu.

Aksa makin tak mengerti. Jantungnya berdegup begitu cepat diiringi rasa takut yang muncul dalam dada. “Kar, jelasin ke aku, ada apa? Kenapa kamu pergi sejauh ini dan tiba-tiba mutusin aku?”

“Aku gak bisa, Aksa..” gadis itu kembali terisak. Tangisnya terdengar pilu memecah malam yang seharusnya indah untuk Aksa dan Lengkara.

“Gak bisa apa, Kar? Cerita sama aku.”

Lengkara menunjukkan surat check-up dari dokter kepada Aksa. Ia menyuruh Aksa untuk menyimpulkan sendiri mengapa ia mengambil keputusan itu. Saat membaca dengan seksama, Aksa seketika diam. Dunia yang kini ia pijak berhenti berotasi. Waktupun berhenti maju. Matanya memanas, jantungnya semakin berdegup dengan kencang. Ia lemas, benar-benar lemas. Kenyataan yang memukulnya secara kejam. Semesta seakan tak mengizinkan dirinya untuk membahagiakan Lengkara dengan waktu yang lama. Bersamaan dengan itu, kenangan pahit masa lalu berkelebat dalam kepala. Mentertawakan Aksa, bahwa ia akan mengalami hal yang sama. Akankah kini berakhir dengan penyesalan?

Tapi, setiap waktu yang membersamai dirinya dengan Lengkara, Aksa selalu berharap kali ini orang yang ia cintai harus sembuh. Meski mustahil.

“Kita udah gak bisa lanjutin hubungan ini, Sa. Aku gak mau kamu terluka suatu saat nanti karena kehilangan aku.” Suara Lengkara terdengar parau, bahkan sedikit tidak jelas karena ia berbicara sambil menangis.

“Kar,” air matanya menitik, membayangkan sesuatu hal buruk yang langsung ia tepis. “Kar—“ Aksa tak sanggup. Berulang kali ia berusaha mentralisir kesedihan yang mulai menguasai jiwanya. Ia kembali meraih tangan Lengkara, namun Lengkara menepisnya lagi. “Kar, kamu percaya sama ini? Dokter bukan Tuhan, Kar.”

“Terus aku harus gimana, Aksa?”

“Aku yakin kamu sembuh. Kamu harus percaya keaja—“

“Keajaiban kata kamu? Di saat penyakit ini udah nyebar ke mana-mana, apa aku harus ngarepin keajaiban yang mustahil itu?!” suara Lengkara meninggi.

Orang-orang makin penasaran dengan apa yang terjadi. Ada beberapa dari mereka yang sengaja menonton dan ada beberapa juga yang tak peduli. Beruntung taman ini tidak terlalu disinggahi banyak orang. Hanya ada beberapa saja yang sengaja ingin mencari ketenangan di sini.

“Kara—“

“Keajaiban apa, Aksa!” tangisnya semakin pecah.

Aksa berusaha memeluk Lengkara yang terus memberontak. Hingga gadis itu akhirnya melemah dan berpasrah dipelukan Aksa.

“Keajaiban apa yang harus aku harapkan?” suaranya melemah bersama dengan tenaga yang sudah terkuras.

Aksa mencoba menahan isak tangisnya. Ia tak ingin membuat Lengkara semakin takut. Ia harus kuat di hadapan Lengkara, meski sebenarnya ia tak sanggup akan hal ini.

“Kita pulang ya?”

“Keajaiban apa, Sa—“ suara Lengkara tak lagi terdengar. Gadis itu tak sadarkan diri dipelukan Aksa. Buru-buru Aksa menggendongnya menuju mobil dan berniat membawa Lengkara ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Aksa tak henti menangis. Berulang kali ia melihat kaca spion untuk melihat Lengkara yang masih belum sadar. Ia tak sanggup lagi menghadapi kehilangan seseorang yang ia cintai.

Kenapa Tuhan selalu cepat menjemput orang-orang yang ia cintai?

.........

Bayangan demi bayangan masa lalu berkelebatan. Menghantui pikiran Aksa secara kejam tanpa memberinya celah untuk tenang. Rentetan kejadian di masa lalu seakan menunjukkan diri kepada Aksa yang harus menghadapi rasa takut ini lagi. Sepi kembali terasa mengerikan, mengingatkannya akan kematian yang telah lalu. Nalar dalam diri terasa kacau, tak memberi kesempatan sedikitpun untuk dirinya berpikir dengan jernih. Rasa takut seakan mendekap paksa, tak ingin lepas darinya kali ini setelah dirinya berjuang untuk melarikan diri dari rasa takut itu.

Aksa menangis di atas ranjang, menutup telinga dan matanya rapat-rapat. Namun bayangan terus berputar dalam benak, membuat Aksa berteriak dan terjatuh ke lantai. Ada rasa sesal saat dirinya menjatuhkan hati kepada Lengkara. Ia takut tak mampu menghadapi kehilangan yang seperti membunuh jiwanya. Merampas kebahagiaan yang ia rancang sebaik mungkin dan segala rencana yang harus hancur lebur sebab orang yang ia maksud harus pergi meninggalkannya.

Semenjak kejadian kemarin, kala Lengkara dirawat dalam rumah sakit, rasa takut kembali menghantuinya tanpa ampun. Memberi bayang-bayang kematian sang kakak beberapa tahun lalu yang disebabkan olehnya. Aksa frustasi, ia merutuki diri seharusnya tak jatuh hati kepada Lengkara. Seharusnya ia tak pernah mencintai Lengkara sedalam ini, jika akhirnya ia harus tersiksa sebab tak bisa lagi bersama. Dihapusnya kenangan demi kenangan dengan Lengkara dalam ingatan setelah ia memutuskan untuk pergi lebih dulu dari Lengkara. Menjauhinya adalah salah satu cara agar tidak tersiksa sebab kehilangan. Mungkin Aksa terlalu egois, namun ia tak ingin lagi merasakan sakit yang bertahun-tahun ia rasakan sendiri.

Akan tetapi, kala jemarinya mulai merayapi kenangan yang tersimpan abadi dalam bentuk gambar dengan menekan tombol hapus, Aksa berhenti. Nurani membentaknya untuk jangan melanjutkan apa yang hendak dilakukan. Nurani seakan kembali membangkitkan cinta yang begitu besar dalam dirinya dan menghempas egois yang hampir menguasai seluruh Aksa. Lantas, Aksa kembali menangis. Ia bingung harus berbuat apa. Meninggalkan atau bertahan untuk Lengkara?

Haruskah ia menyetujui keegoisan yang sedari tadi menyuruhnya untuk meninggalkan Lengkara? Atau lebih baik tunduk pada nurani? Aksa hanya bisa menangis malam itu. Memecah sepi dengan rintihan yang menyakitkan. Ingin sekali rasanya Aksa mengubah takdir untuk membuat Lengkara sembuh dari penyakitnya dan merasakan tahun demi tahun yang begitu lama dengannya. Merangkai indah masa depan bersama dan hidup bersama sampai menua. Namun kala kenyataan menamparnya berulang, Aksa tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya manusia biasa yang berencana dan berharap, sementara Sang Pencipta Alam Semesta yang menentukan.

.......

Kali ini, selepas pagi yang menyongsong semangat dalam jiwa-jiwa manusia, Aksa mengambil keputusan untuk menjauhi Lengkara. Meski nurani terus memberontak, merutuki dirinya yang egois, melempari diri dengan sumpah serapah yang merendahkan, Aksa tetap teguh dalam keputusannya. Ia tak ingin merasakan apa yang dirasakan olehnya dulu. Ia ingin hidup tenang dan damai tanpa harus menanggung beban yang tak akan hilang dalam waktu yang singkat. Meski ia tak tahu rasa apa yang akan mendekapnya kala Lengkara telah pergi dari dunia.

“Aksa?”

Seseorang yang hampir saja menggoyahkan pendiriannya itu memanggilnya dengan lembut. Setelah dua hari tak jumpa sebab Lengkara harus menjalani pengobatan, ia kembali bertemu dengan gadis yang masih menjadi kekasihnya itu. Namun Aksa tak menggubris. Pemuda itu tak menoleh sama sekali dan memutuskan untuk pergi dari gadis yang nampak kebingungan dengan perubahan Aksa. Meski sebenarnya Aksa sendiri ingin berbalik dan mendekap Lengkara begitu erat.

Sudah seharian ini Aksa diam di rooftop tanpa mengikuti perkuliahan. Ia hanya melamun sembari memetik gitarnya asal. Meski Aksa berulang kali mengalihkan semua tentang Lengkara dalam pikiran, semua itu percuma. Hingga Aksa merasa frustasi dengan semua ini. Cinta sudah sepenuhnya menguasai, menghempas luruhkan egosentris yang menggeroti nurani dalam diri. Dan bayangan-bayangan indah yang telah dilaluinya dengan Lengkara seakan mengingatkan Aksa akan perasaannya yang begitu dalam terhadap gadis itu. Aksa merasa bersalah, merasa bodoh dan mulai merutuki diri seperti yang dilakukan nurani tadi pagi. Tak seharusnya ia bersikap seperti ini. Mengabaikan Lengkara dan berniat meninggalkan gadis yang selama ini membutuhkan dirinya. Membutuhkan cintanya serta kasih sayang sebagai bentuk semangat untuk Lengkara.

Lantas Aksa berlari, mencari sang gadis serta tak lagi dan tak akan pernah memiliki niat untuk pergi meninggalkannya. Aksa telah berikrar, akan terus menemani Lengkara dalam keadaan apapun, meski suatu hari nanti ia akan kehilangan, Aksa akan terus bersama Lengkara.

“Kara!”

Lengkara yang tengah membaca puisinya yang ditempel oleh UKM Jurnalistik di papan mading, menoleh kala seseorang memanggilnya. Ia tersenyum sendu, meski dalam hati menangis. Sebab ia tahu perubahan Aksa karena takut kehilangan dirinya. Namun Lengkara tak bisa melakukan apapun. Ia mengerti perasaan Aksa. Maka daripada itu mengapa ia hanya bisa diam dan memaksakan diri untuk bertahan tanpa Aksa sampai akhir. Dan membiarkan pemuda itu melakukan yang seharusnya ia lakukan.

Aksa berlari dan menghambur dalam pelukan. Menangis sejadi-jadinya dan menyerukan kata maaf secara berulang. Seakan penyesalan telah ia rasakan meski baru beberapa hari saja ia memutuskan untuk menjauhi Lengkara. Rasa bersalah pun tak ayal hinggap dalam diri. Mencaci maki Aksa yang berani mengambil keputusan bodoh dalam hidupnya.

“Maafin aku, Kara. Maafin aku.”

Lengkara menepuk-nepuk punggung Aksa, memberikan sejuta kasih sayang yang ia punya untuk Aksa. Mencoba memaklumi keputusan Aksa sebelumnya dan kembali menyambut kepulangan Aksa. Pemuda itu tetap merintih, menangis dalam pelukan yang semakin erat ia gelorakan.

.........

Ini kali pertama Aksa menemani Lengkara untuk menjalani kemoterapi. Berbincang mengenai banyak hal secara santai seraya menunggu pengobatan selesai. Aksa melihat Lengkara yang begitu kuat menjalani hal yang seharusnya membebani dirinya.

“Aku tunggu di sini ya?” ujarnya pada Lengkara yang duduk di kursi roda.

“Gak ikut masuk?” tanya Lengkara polos.

Suster yang berada di belakangnya menjawab, “Hanya pasien yang bisa masuk, mba.” Lantas Lengkara mengerucutkan bibirnya.

Aksa tersenyum, ia berjongkok dan menyentuh punggung tangan Lengkara. “Aku nunggu di sini aja, kebetulan aku juga lagi pengen ke kamar mandi. Nah kalau udah kemo, mau makan eskrim?”

Mendengar itu Lengkara mengangguk penuh semangat.

Alih-alih buang air, Aksa malah menangis untuk menumpahkan rasa sedih yang ia tahan kala melihat berbagai alat dan obat yang tak ia ketahui diberikan oleh dokter kepada Lengkara. Gadis itu lemah, namun  di hadapan Aksa, Lengkara masih menunjukkan senyuman yang membuat Aksa tak tahan untuk tidak menangis.

Sementara Lengkara merasa memiliki kesempatan untuk menangis kala Aksa memutuskan untuk pamit sebentar. Ia tak terisak, namun air mata memaksa keluar. Rasa takut menghantui diri, ia tak siap untuk pergi dan masih berharap memiliki keajaiban untuk kesembuhannya. Ia tak siap jika harus pergi meninggalkan orang-orang terkasih. Ia memalingkan wajah ke arah lain, agar sewaktu-waktu saat Aksa tiba-tiba datang, pemuda itu tak akan menyadari bahwa ia menangis. Sebelum akhirnya dokter meminta Lengkara untuk tetap tenang karena proses pengobatan akan segera dilakukan.

Namun apa yang dilakukan Lengkara tetap diketahui oleh Aksa. Saat pemuda itu mengintip dari jendela pintu, ia melihat Lengkara tengah berusaha mengelap air mata yang terus nakal untuk keluar. Aksa menunduk, merasakan sesak yang kembali menjalar dalam dada.

Setelah melalui kebimbangan dan melakukan keputusan yang salah serta kembali pada nurani yang seharusnya sedari awal menang, hubungan Aksa dan Lengkara kian merekat. Keduanya selalu melakukan sebuah momen yang indah untuk dikenang. Seakan rasa takut tak bisa menguasai diri mereka. Terhempas dan dikuasai sepenuhnya oleh cinta dalam diri masing-masing.

Hubungan Lengkara dan keluarganya pun kian membaik. Mereka kembali melakukan hal-hal yang dulu dilakukan untuk mengisi waktu luang sebelum masing-masing disibukkan dengan kegiatan. Meja makan kembali menghangat, ruang televisi kembali diramaikan oleh suara tawa dan canda, halaman belakang rumah kembali dihebohkan dengan tingkah Lengkara dan ayahnya yang membuat Kinara dan bunda terbahak-bahak. Meski begitu, diam-diam Lengkara menangis. Merasa sedih dengan apa yang menimpanya. Berusaha tak ia tunjukkan kesedihan ini pada keluarganya, sebab yang kini akan Lengkara lakukan adalah membuat keadaan rumah terasa seperti dulu. Saat penyakit belum tinggal dalam tubuhnya.

Namun satu hubungan yang belum Lengkara perbaiki. Yakni hubungan persahabatannya dengan Fera. Lengkara bingung harus memulai darimana, bahkan Fera sendiri malah terus menghindarinya saat Lengkara berusaha menjelaskan. Ingin rasanya Lengkara melalui hari-hari indah bersama sang sahabat sebelum akhirnya Yang Kuasa menjemputnya pulang. Dan meminta maaf atas segala kekeliruan yang pernah ia lakukan sampai Fera sakit hati dan memusuhinya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Our Different Way
3605      1517     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
420      300     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Just For You
4119      1620     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
The DARK SWEET
398      329     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Mysterious Call
439      283     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Sahabat Selamanya
1154      693     2     
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Kungfu boy
2288      886     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Seperti Cinta Zulaikha
1777      1151     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Snow White Reborn
564      315     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
A Day With Sergio
1165      569     2     
Romance