Geboy mengambil pintasan bebas lampu merah. Ia menyusuri jalanan dengan kecepatan tinggi, membiarkan angin Jakarta beradu dengan rambutnya yang basah. Panas hari ini enggak seberapa menyengat dibanding gemuruh di dada. Enggak cukup untuk mengeringkan luka lama yang digores lagi juga. Malah, kalau mengingat raut muka papanya di parkiran tadi, cengkeraman Geboy pada setir mengencang dan menyebabkan laju motor makin enggak karuan.
Track daerah sini memang bebas polisi tidur dan jauh dari rumah warga. Geboy lantas berteriak dan membiarkan air matanya menuruni pipi. Persetan, bodo amat, ia sungguh lelah. Kalah dari Randu bukan penyebab utama, melainkan kedatangan Abi yang entah dari mana dan sontak memporak-porandakan suasana. Randu memang paling pintar memainkan hati. Seharusnya Geboy enggak perlu memikirkan perasaan sepupunya itu mengenai Kira. Karena sejak awal, ia enggak diperlakukan dengan sama.
"Bangsat!"
Umpatan itu mengiringi kecepatan 80km/jam. Tangan kiri Geboy berkali-kali memukul setir, membayangkan kalau itu Randu dan lekas menghajar habis-habisan. Tapi sayang, yang ia dapat hanya rasa sakit yang bertambah banyak, sementara Randu belum tentu mendapat ganjaran juga.
Ia pun berniat mengurangi kecepatan dan berhenti di warung pojok, langganannya bersama Komal saat mau merokok--kalau stres atau iseng main. Anehnya, saat menuju tikungan, Geboy baru sadar enggak bisa mengontrol rem sama sekali. Ia terus mencoba, tapi enggak ada hasil. Motornya tetap berjalan, bahkan oleng ke tengah karena ia sempat panik dan kurang fokus. Geboy lekas menggeleng dan mengatur napas. Ia harus tenang.
"Shit, padahal tadi nggak apa-apa. Kenapa tiba-tiba blong?"
Geboy terus menjalankan CB-nya sambil mencari lapangan atau tempat serupa. Ia mesti menepi guna menghindari kecelakaan lalu lintas. Segala macam saran untuk mematikan mesin dan mencabut kontak enggak akan berhasil. Justru yang ada motornya makin kacau karena mesin tiba-tiba mati.
"Sial!"
Geboy enggak punya pilihan. Ketika sampai pertigaan, ia mengambil jalur kiri karena ada tong besar di tengah jalan. Mungkin ada perbaikan atau acara warga yang membuat kendaraan beroda dilarang melintas. Padahal, ia tahu daerah sini termasuk sempit dan banyak hambatan--kanan kirinya terdiri dari hunian kumuh.
Lelaki itu makin terbelalak saat tiba-tiba ada anak kecil berlari menyeberang. Ia pun refleks menekan klakson hingga lima kali.
"Minggir! Minggir!"
Kecepatan abnormal yang belum bisa diimbangi membuat Geboy terpaksa membanting setir. Ia berusaha menghindari si bocah dengan mengarahkan diri ke sisi yang berlawanan. Honda CB itu pun berhenti dalam keadaan roda masih berputar cepat. Suara mesin dan runtuhan genteng sontak bersahutan sampai mengagetkan siapa pun di sekitar sana.
Geboy menabrak tiang rumah. Ia juga tertimpa motornya sendiri.
"Ya Allah, ada kecelakaan!"
Sayup-sayup Geboy masih mendengar suara itu. Tapi, kepalanya pening dan sekujur tubuh kaku. Bahkan membuka mata saja enggak sanggup. Berat, lengket, dan perih rasanya. Nyeri yang berpusat di area leher, kaki dan dada sangat mendominasi sampai ia memilih memejamkan mata.
"Angkat motornya, Pak. Kasihan."
"Iya, pindahin anaknya."
Para warga yang tersentak segera bergerombol. Beberapa ada yang menonton di pinggir, cuma tiga orang yang mendekat. Salah satu di antara mereka hendak memindahkan Geboy. Tapi, lelaki berjaket sama--masih sebaya--dengan si korban lekas menahan niatnya sampai enggak berkutik.
"Jangan, Pak. Ini teman saya."
Itu Komal. Ia berkata dengan suara bergetar yang langsung diiyakan oleh bapak-bapak penolong. Kemudian ia segera menghampiri Geboy dan menelepon ambulans. Dengan pelan dan telaten Komal juga menjelaskan kalau memindahkan pasien kecelakaan tanpa penyangga bisa memperparah kemungkinan cederanya. Jadi, lebih baik menunggu petugas medis dulu. Meski kalut dan takut, ia terus menarik napas lalu membuangnya perlahan.
Motor Geboy sudah dipinggirkan. Komal bisa leluasa mendekat dan menekan sumber luka sahabatnya yang terus mengeluarkan darah--kepala bagian kiri. Ia tadi menyobek bajunya karena enggak punya kain sama sekali. Apa pun Komal coba lakukan, selagi bisa.
"Kenapa lo nggak pake helm sih, Boy?"
Air mata Komal makin deras. Melihat kawannya terbujur kaku sangat enggak menyenangkan. Kulit Geboy tampak memucat, bibirnya biru, dan tubuh pun dingin. Komal terus menyesali dalam hati karena tadi enggan menyalip dan menghentikan Geboy dari ajang pelampiasan sakit hati. Andai itu dilakukan, hal ini enggak akan terjadi, bukan?
"Nasib lo kok buruk mulu sih, elah. Perlu ganti nama kali, ya?"
Lelaki itu mencoba menertawakan diri sendiri. Ia baru bisa bernapas lega saat sirine ambulans makin dekat dan berhenti tepat di sampingnya. Warga lekas menyingkir, begitupun Komal. Setelah memberi pertolongan pertama, mereka membawa Geboy ke rumah sakit terdekat.
"Terima kasih, Pak, Bu. Ini kartu siswa dan nomor hape saya. Saya titip motor temen dulu. Nanti insyaallah ke sini lagi. Sama ngomongin masalah kerusakan juga. Saya mewakili temen saya minta maaf banget atas kejadian ini. Kalau ada apa-apa bisa telepon di nomor itu, ya."
"Nggak apa-apa, Nak. Namanya juga musibah. Cepat kamu susul itu temenmu. Semoga nggak kenapa-kenapa."
"Aamiin, terima kasih. Saya permisi."
Komal menghapus ingusnya lalu menyusul Geboy yang dilarikan ke IGD. Sesampai di sana dan menunggu di luar, ia baru ingat untuk menghubungi Aco dan anak Geng Senter lain. Enggak bisa dipungkiri kalau Komal perlu teman, khususnya yang lebih dewasa dan bisa mengurus bagian administrasi nanti. Ia sudah berusaha menghubungi orang tua Geboy, tapi enggak ada yang menjawab panggilan.
"Mal!"
Sang empunya nama itu sontak menoleh. Ia berlari menuju Aco yang juga berjalan cepat ke arahnya. Refleks, lelaki itu memeluk sang senior dan menumpahkan tangis.
Aco dapat melihat lumuran darah di tangan Komal. Raut muka yang semula biasa saja seketika berubah 180 derajat. Ia enggak menyangka kalau separah ini.
"Dokter belum keluar?"
Komal menggeleng. "Gue takut, Bang."
"Udah telepon Om Abi?"
"Nggak diangkat."
"Tante Tyas?"
"Sama aja."
"Randu?"
Hening. Komal menatap Aco lekat-lekat. "Ngapain hubungin dia?"
"Ya barangkali dia bisa kontak keluarga Geboy di rumah, Mal."
"Kayaknya dia udah baca grup sih, Bang," ucap salah satu anggota geng yang turut datang.
Komal segera mengecek keterangan terbaca pada pesannya yang terakhir. "Read."
"Oke, at least dia udah tau, jadi kita nunggu aja." Aco menghela napas. "Gimana kejadiannya? Lo sempat lihat, nggak?"
"Jelasnya gimana gue nggak tahu, Bang, soalnya ketinggalan di belakang. Dia bawanya kenceng banget. Mungkin karena emosi atau gimana. Gue nggak paham, lah, pokoknya. Tapi …."
Aco menunggu. "Tapi apa?"
"Kayak ada yang aneh."
"Maksudnya?"
"Gue lihat beberapa kali motor Boy oleng, kayak lost control gitu. Ada tikungan sama peringatan aja main ditrabas, nggak ngurangin kecepatan. Bukan dia banget nggak sih, Bang?"
Sang senior pun manggut-manggut. "Sekarang motornya di mana?"
"Masih di TKP."
"Oke, lo di sini aja kalau gitu. Gue sama Rendra ke sana. Kang Mus lagi otw kok, lo nggak usah khawatir."
Komal lekas menahan tangan Aco. "Lo mau ngapain, Bang?"
"Ngecek, sekalian ngambil motornya."
"Nggak nanti aja? Nunggu dari Om Abi. Perlu hitung-hitungan ganti rugi. Rumah yang ditabrak Boy agak remuk."
"Gue mikir ada sabotase, jadi mending buru-buru dilihat. Masalah warga entar biar gue dan senior lain yang urus."
Senyum tipis Komal pun muncul. Ia langsung bersyukur dalam hati.
"Makasih, Bang. Kabari gue kalau udah ada hasilnya."
"Iya, lo juga."
***